Mentasawufi Lingkungan

 Mentasawufi Lingkungan

Tarbiyah Ruhiyyah Melalui Puasa Ruh, Akal, dan Jiwa (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sekali waktu teman saya pernah bertanya ihwal kaitannya Islam dengan lingkungan. Menurutnya, kenapa hanya Islam yang datang dari sisi tasawuf saja yang sekiranya relevan dalam merespon isu-isu lingkungan di era dewasa ini.

Saya lantas merespon, dengan mengatakan bahwa, di dalam tasawuf, ada konsep yang melihat setiap ciptaan-Nya itu berada pada status yang sama.

Baik hewan, tumbuhan, makhluk tak kasat mata, dan manusia sekalipun yang dinilai sebagai khalifah di Bumi, statusnya juga sama; sama-sama makhluk atau hamba.

Maka tidak pas kiranya jika salah satunya merasa paling berkuasa atas yang lain, seperti manusia berkuasa atas alam lingkungan.

Memang, manusia dianugerahi dengan akal yang bisa memproduksi sekian pengetahuan, kecanggihan teknologi, sampai aktivitas produktif lainnya.

Hanya saja, manusia kerap lepas kontrol dalam mendayagunakannya sehingga berdampak pada perusakan lingkungan, perubahan iklim, punahnya entitas hewan dan atau tumbuhan tertentu, sampai pada penurunan kualitas hidup yang paripurna.

Sedangkan di tasawuf sendiri, konsep hidup semacam zuhud, legowo, cukup dengan yang dipunyai, dan sekian konsep lainnya bisa dikatakan pas dan proporsional untuk merespon isu-isu, utamanya tentang lingkungan.

Seperti misalnya laku tasawuf yang ditunaikan oleh Mbah Munawar.

Pria paruh baya yang lahir di Desa Gumawang, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan ini, mengabdikan hidupnya pada pelestarian lingkungan.

Ia menilai bahwa manusia yang dilahirkan di muka bumi memiliki tugas untuk merawat dan memelihara titipan dari-Nya

Prinsipnya ini ia peroleh setelah belajar ajaran Islam dari Mbah Nur. Seorang kyai kampung yang mukim di Kecamatan Moga, Kabupaten Pekalongan.

Sepulangnya mendalami ajaran Islam, Mbah Munawar membuat padepokan yang dinamai ‘Rumah Pengabdian Kepada Allah’ yang letaknya di Desa Karanggondang, Kecamatan Karanganyar, Pekalongan. Lokasi baru yang terbilang jauh dari tanah kelahirannya.

Lamat-lamat padepokan tersebut banyak dikunjungi oleh orang dengan berbagai tujuan. Beberapa dari mereka malah bersedia mukim (menjadi santri), belajar, dan mendedikasikan hidupnya seperti yang diajarkan Mbah Munawar.

Bagi Mbah Munawar, menunaikan amal saleh tidak mesti hanya di masjid, berlama-lama duduk dengan mendaras sekian ayat-ayat di kitab suci, atau berdzikir dengan khusyuk.

Bahwa hal-hal tersebut adalah ibadah, memang benar adanya. Tetapi amal saleh dalam persepsi Mbah Munawar lebih luas dari itu.

Baginya, setiap kebaikan yang memiliki dampak pada orang lain, maka itu termasuk amal saleh.

Amat Zuhri dalam artikelnya Mbah Munawar; Tasawuf dan Kelestarian Lingkungan (2010) memberi contoh yang diambil dari hasil wawancaranya dengan Mbah Munawar:

‘Nasi yang berada di tangan kita tidak akan mengenyangkan perut, jika tangan tidak digerakkan untuk menyuapkannya ke mulut.’

Kita bisa memaknai contoh tersebut sebagai semacam ikhtiar. Jika menghendaki hidup yang baik, kebutuhan pangan tercukupi, tidak tercemar, maka langkah pertama mesti berupaya untuk menjaga lingkungan.

Laku ini bagi Mbah Munawar tidak hanya akan berdampak pada diri sendiri, tetapi minimal juga akan dirasakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya sekaligus, nanti generasi yang datang kemudian.

Maka dari itu, di Rumah Pengabdikan Kepada Allah, Mbah Munawar mengajak santri-santrinya untuk turut aktif menanam berbagai tanaman buah dan sayur serta pepohohan yang berumur panjang.

Selain itu, santrinya juga diajak beternak. Dari situlah kebutuhan keseharian diambil dan tercukupi.

Amat Zuhri menemukan alasan lain ihwal kenapa Mbah Munawar memilih mengabdikan hidupnya pada pelestarian lingkungan.

Kutipan di artikel:

“… karena itba’ (mengikuti) Nabi Adam. Menurutnya, Nabi Adam adalah seorang khalifah Allah di muka bumi, maka ia hidup sebagai pemelihara alam dengan bercocok tanam. Di samping juga tidak melupakan ibadahnya kepada Allah.”

Kita memang bisa berdebat panjang tentang kaitannya Nabi Adam dengan lingkungan.

Tetapi terlepas dari itu, saya rasa dengan konsepsi yang kemudian diterjemahkan ke dalam laku-laku sederhana pada pelestarian lingkungan, Mbah Munawar berhak peroleh apresiasi yang positif. Begitu. []

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *