Mengenal KUPI, Perempuan Ulama dan Ulama Perempuan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Persoalan kekerasan, pelecehan, dan juga diskriminasi pada perempuan di negeri ini masih kerap terjadi. Satu kasus muncul lantas diatasi, kasus lainnya menunggu untuk ditindaklanjuti.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, konsepi beserta aksi yang dilakukan oleh lembaga maupun aktivis pemberdaya perempuan gaungnya sudah mulai terdengar.
Mereka saling membahu guna menemukan formula ampuh demi terwujudnya manusia yang setara dan berkeadilan.
Salah satu konsepsi tersebut pernah dirumuskan dalam kegiatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Konsepsi yang saya rasa menjadi wujud solusi konkret dari sekian kasus ihwal perempuan dan relasinya pada lingkungan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Kalis Mardiasih dalam bukunya, Muslimah Yang Diperdebatkan (2019) mencatat di tahun 2017 pada kongres pertama, KUPI memproduksi konsepsi dengan istilah baru; perempuan ulama dan ulama perempuan.
Perempuan ulama mencakup sekian perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan otoritatif dalam bidang-bidang tertentu.
Konsepsi tersebut muncul lantaran dewasa ini, tidak sedikit perempuan yang telah berhasil peroleh sekian apresiasi dan reputasi di bidang akademik maupun non-akademik, baik di kancah lokal, nasional, bahkan internasional.
Konsepsi ini bisa kita interpretasikan dalam dua hal. Pertama, kiprah perempuan yang menjadi rujukan bagi masyarakatnya.
Perempuan tersebut dinilai berhasil menjadi prototipe perempuan yang berdaya.
Kemudian yang kedua, kiprah perempuan yang tidak hanya berdaya secara personal, tetapi juga bisa memberdayakan lingkungannya.
Kendati dalam konteks tertentu, kesadarannya dalam berelasi gender masih kurang-untuk mengatakan tidak ada sama sekali.
Sedangkan ulama perempuan merupakan semua perempuan yang memiliki otoritas keilmuan apa saja.
Tetapi tidak hanya itu, perempuan pada konsepsi ini juga memiliki kesadaran dan memandang persoalan dengan perspektif keadilan dalam relasi gender.
Dari sini, kita bisa melihat titik beda antara perempuan ulama dengan ulama perempuan yang terletak pada kepekaannya dalam memandang realita berbasis relasi gender yang berkeadilan.
Yang satu barangkali akan bersikap biasa saja dalam merespon isu-isu perempuan, tetapi satunya bisa lebih kritis dalam mengurai problem perempuan beserta solusi yang akan ditawarkan.
Hanya saja, kutipan di buku: “Meskipun para ulama perempuan ini optimis pada masa depan basis sumber daya dan pusat dokumentasi kajian keperempuan berkeadilan hakiki, tentu saja perjalanan masih sangat panjang.”
Tetapi konsepsi tersebut bagi Kalis Mardiasih juga penting dan sangat diperlukan. Hal ini lantaran di masyarakat kita, dua konsepsi tersebut masih tabu untuk digunakan.
Misalnya saja dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melulu didominasi oleh tokoh laki-laki. Tidak hanya dari sisi strukturalnya saja, tetapi fatwa-fatwa yang dikemukakan kerap abai pada pertimbangan perempuan.
Pun begitu ruang fatwa dua ormas Islam terbesar di negeri ini, Nahdlatul ‘Ulama (NU) dengan Lajnah Bathsul Matsail (LBM) dan Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih, juga didominasi oleh tokoh laki-laki.
Sedangkan posisi Muslimat NU serta Aisyiah berada pada subordinat dari organisasi induk. Keduanya belum memiliki ruang fatwa yang memungkinkan mereka untuk bersuara secara leluasa.
Padahal ada banyak rekomendasi yang lahir dari sayap organisasi perempuan baik dari Muslimat NU maupun Aisyiah, tetapi pengarusutamaan gagasannya seringkali masih terhambat.
Lebih jauh lagi jika melihat gelaran Musabaqah Kitab Kuning, semacam ajang untuk membaca referensi Islam klasik yang diikuti pesantren se-Indonesia, santri-santri perempuan kerap peroleh juara. Hal ini mengindikasikan bahwa, perempuan juga mempunyai kapasitas penguasaan kitab-kitab ulama klasik yang setara dengan laki-laki.
Maka dari itu, keberadaan KUPI dapat menjawadi wadah bagi perempuan yang memproduksi sekian gagasan pemberdayaan perempuan sekaligus, juga bisa menunaikan gerak-gerak kemanusiaan yang setara dan berkeadilan. Begitu. []