Pengalaman Perempuan Sebagai Sumber Otoritatif Keulamaan Perempuan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beberapa waktu lalu, viral sebuah video yang berisi tentang seorang perempuan haid, tidur di kereta, kemudian ditegur oleh petugas.
Sebenarnya tidak ada yang salah dalam peristiwa itu. Namun, terdengar jelas orang yang mengambil video menertawakan peristiwa tersebut.
Tidak hanya tertawa, ia juga mencaci maki dengan kalimat yang kurang sopan untuk didengar. Padahal, dirinya juga sesama perempuan yang, beberapa waktu dalam pengalaman haidnya mengalami kesakitan dan pengalaman serupa.
Video yang tersebar itu viral. Banyak kritik dan komentar kepada perempuan yang menertawakan peristiwa tersebut.
Padahal, seharusnya bukan sikap semacam itu yang ditampilkan. Akan tetapi, sikap empati sebagai sesama perempuan, yang memiliki pengalaman sama perlu diperhatikan.
Women support women harus terus disuarakan bersama dan sangat perlu menjadi dasar perjalanan seorang perempuan.
Sebab tidak semua perempuan memiliki sikap empati terhadap pengalaman biologis perempuan.
Ada banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, apakah semua perempuan memiliki empati terhadap korban? Tentu tidak.
Sesederhana contoh kecil peristiwa haid di atas. Meski setiap perempuan memiliki rasa sakit yang berbeda-pada, sikap mencemooh dan menertawakan rasanya tidak pantas ditampilkan
Haid adalah pengalaman riil semua perempuan. Mengapa kesakitan akibat haid justru dicemooh? Begitulah kira-kira kita menggambarkan relasi sesama perempuan yang saling menindas.
Pengalaman biologis perempuan terkadang dianggap tabu (meski bagi sesama perempuan).
Fenomena di atas menjadi wajar apabila masyarakat juga menganggap tabu pengalaman perempuan.
Ancaman atas keselamatan tubuh dan nyawa perempuan terus berlangsung selama hidupnya.
Hal ini terjadi karena bertolak dari anggapan dasar konstruksi sosial masyarakat yang menganggap perempuan makhluk kedua, lemah, dkk. sehingga mengabaikan keselamatan perempuan yang juga merupakan bagian dari manusia.
Mubadalah dan Keadilan Hakiki Perempuan
Berangkat dari pengalaman di atas, perempuan memiliki pengalaman biologis yang berbeda dengan laki-laki.
Maka menjadi penting untuk melihat tersebut melalui kacamata agama. Hal itu yang dibahas oleh keulamaan perempuan Indonesia dalam menghasilkan fatwa-fatwa keagamaan yang adil gender.
Setidaknya, ulama perempuan Indonesia memiliki dua strategi dalam merespon pengabaian perempuan yang menciptakan kemudaratan, pengetahuan agama yang berdampak buruk. Strategi tersebut, di antaranya:
Pertama, strategi memberikan fokus perhatian pada persamaan antara laki-laki dan perempuan melalui perspektif mubadalah.
Persamaan yang dimaksud adalah persamaan eksistensi sebagai manusia.
Bahwasanya laki-laki dan perempuan adalah sama-sama makhluk Allah yang memiliki peran sama di bumi yakni sebagai khalifah fil ardh dan memiliki peran untuk mewujudkan kemaslahatan bumi.
Perspektif mubadalah diterapkan untuk memastikan perempuan terjangkau oleh kemaslahatan Islam dan terlindungi dari kemungkaran yang tidak dikehendaki oleh Islam.
Artinya, makna Islam sebagai rahmat bagi semesta, juga termasuk sosok perempuan. Atas dasar ini, maka kemungkaran, penindasan yang dialami oleh perempuan, bisa perbaiki dengan fatwa keagamaan yang diciptakan berdasarkan strategi tersebut.
Kemaslahatan yang dalam konsepnya ada 6 (al-kulliyat as-sittah), selanjutnya menjadi maqashid asy-syari’ah harus menjangkau pengalaman khas perempuan.
Maqashid asy-syari’ah yang dimaksud, di antaranya: Menjaga agama (hifzh ad-din) termasuk menjaga perempuan untuk tidak direndahkan kualitas agamanya karena pengalaman reproduksi yang dialaminya.
Menjaga jiwa (hifzh an-nafs) termasuk menjaga perempuan dari kematian akibat melahirkan.
Menjaga akal (hifzh al-‘aql) termasuk mendorong perempuan untuk berpendidikan tinggi.
Sebab selama ini masih banyak sekali fenomena perempuan tidak mendapatkan kesempatan berpendidikan tinggi hanya karena peran dan jenis kelamin yang dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan yang layak.
Menjaga kehormatan (hifzh al-irdh) termasuk menjaga kehormatan perempuan untuk tidak melecehkan, tidak melakukan kekerasan seksual ataupun aktivitas yang merendahkan perempuan.
Menjaga keturunan (hifzh an-nasl) termasuk menjaga sistem reproduksi perempuan dari tindakan yang membahayakan.
Menjaga harta (hifzh al-mal) termasuk membuka akses perempuan untuk memperoleh dan memiliki harta.
Kedua, strategi yang memberikan fokus perhatian pada perbedaan perempuan dan laki-laki sebagai manusia melalui perspektif keadilan hakiki perempuan.
Prinsip dasar yang dijadikan acuan untuk keadilan hakiki adalah tidak menjadikan standart dominan sebagai asas tunggal kemaslahatan.
Melihat perempuan sebagai manusia utuh, berarti melihat aspek yang dimiliki perempuan, seperti: Pengalaman biologis melahirkan, haid dan menyusui tidak boleh menciptakan rasa sakit yang berlipat.
Akan tetapi bagaimana menciptakan kenyamanan atas pengalaman biologis tersebut, tidak hanya pengalaman biologis, pengalaman sosial perempuan mengalami stigmatisasi, marginalisasi, kekerasan dan beban ganda sebagai perempuan, perlu diperhatikan. Kerentanan ini akan menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan.
Dengan demikian, maka kemaslahatan Islam juga mencakup kemaslahatan perempuan dengan melihat pengalaman biologis dan pengalaman sosial yang dimiliki oleh perempuan.
Strategi ini akan memberikan pemahaman kepada kita bahwa laki-laki dan perempuan adalah subjek penuh atas kehidupan.
Sehingga ketika melihat Islam, tidak hanya melihat laki-laki, akan tetapi juga perempuan yang sama-sama manusia. Wallahu a’lam. []