Mengapa Sunat Perempuan Tidak Perlu?

Mengapa Sunat Perempuan Tidak Perlu? (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Saya pernah bertanya kepada ibu, apakah sewaktu kecil saya disunat? Ibu menjawab sebagaimana dugaan saya, iya, jawab ibu dengan tegas. Persoalan sunat perempuan bagi kalangan masyarakat, semacam persoalan yang pelik untuk dipecahkan.
Tidak hanya tentang persoalan sunat kaitan dengan agama yang katanya, perlu dilakukan kepada perempuan, akan tetapi juga tradisi yang mengakar dari masyarakat untuk mewajibkan sunat perempuan.
Makanya, tidak heran perdebatan tentang sunat perempuan ini selalu menjadi topik yang diperbincangkan oleh pemuka agama.
Jauh daripada pembahasan sunat perempuan yang menjadi salah satu topik utama oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2022 lalu, Musdah Mulia menyatakan bahwa praktik sunat perempuan dilakukan untuk melangsungkan identitas budaya.
Setidaknya ada beberapa faktor, di antaranya yakni pertama, menurut masyarakat umum, menjalankan ritual tradisi atau budaya merupakan tahap inisiasi yang penting bagi perempuan untuk memasuki tahap kedewasaan dan menjadi bagian resmi dari sebuah kelompok masyarakat.
Kedua, praktik ini juga dilanggengkan untuk menjaga status quo relasi gender yang timpang dan tidak adil.
Praktik sunat perempuan dilakukan untuk membentuk kepatuhan dan menegaskan kelemahan perempuan.
Hal ini dilakukan untuk menegaskan peran perempuan di masyarakat.
Ketiga, praktik ini juga dilanggengkan untuk menjaga dan mengontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan.
Masyarakat meyakini bahwa sunat perempuan dapat digunakan sebagai mekanisme kontrol hasrat seksual perempuan.
Saya pernah membicarakan soal sunat perempuan kepada seorang ibu, yang baru saja menolak anak perempuannya untuk disunat.
Baginya penolakan yang dilakukan tersebut adalah sebuah keberaniaan baru dalam lingkungan keluarganya, karena pertama kali dilakukan.
Di satu sisi, keputusan tersebut ditentang oleh keluarga besar, termasuk dari orang tuanya.
Namun, di sisi lain keputusan tersebut tentu harus diterima dengan sangat terpaksa mengingat bahwa otoritas dia sebagai orang tua, menjadi salah satu pertimbangan utama.
Macam-macam Sunat Perempuan
Menolak untuk melakukan sunat perempuan adalah keputusan yang tepat bagi setiap orang tua.
Hal ini karena, praktik ini merupakan bagian dari penyiksaan kepada anak perempuan yang tidak disadari oleh masyarakat.
Argumen ini berdasarkan macam-macam sunat yang dilakukan kepada perempuan, di antaranya: pertama, klitoridektomi yakni memotong sebagian atau seluruh klitoris (tonjolan kecil yang sensitif terhadap rangsangan).
Kedua, memotong sebagian atau seluruh klitoris dan labia (bibir bagian dalam dan luar yang mengelilingi vafina).
Ketiga, infibulasi yaitu menjahit labia kanan dan kiri menjadi satu agar lubang vagina menjadi lebih kecil.
Keempat, semua prosedur yang dilakukan untuk merusak alat kelaim perempuan baik itu menusuk, memotong mengikis atau membakar.
Sementara itu, WHO (World Health Organization) pada tahun 2014 mendefinisikan sunat perempuan dalam beberapa hal, yakni: pertama, menghilangkan klitoris dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian/seluruh klitoris.
Kedua, pengangkatan sebagian atau seluruh bagian genital. Ketiga, pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian/seluruh organ klitoris. Keempat, menusuk atau melubangi klitoris.
Kelima, merusak jaringan disekitar jaringan vagina. Keenam, memasukkan bahan-bahan atau tumbuhan yang merusak vagina.
Membaca jenis sunat ini, seketika bulu kuduk merinding. Membayangkan betapa sakitnya tindakan yang tidak manusiawi dan jelas-jelas membahayakan bagi perempuan.
Salah satu dampak yang terlihat dari pemotongan bagian vagina tersebuta adalah daera erogen akan berpindah dari muka (klitoris vagina), dan oleh karena itu, rangsangan perempuan akan berkurang, gairah lemah dan susah memperoleh kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual.
Pandangan KUPI terkait Sunat Perempuan
Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang diadakan pada 2022 silam, turut prihatin dengan praktik sunat perempuan.
Hal ini karena berdasarkan pada berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perempuan ketika disunat serta alasan mengapa sunat ini dilakukan dan dilestarikan oleh masyarakat.
Menurut KUPI, praktik sunat perempuan hukumnya haram karena membahayakan tubuh perempuan.
Meskipun demikian, keharaman ini perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat agar memiliki awareness yang tinggi untuk melindungi harkat dan martabat perempuan sebagai manusia.
Selama ini praktik sunat perempuan yang sudah dilakukan bersinggungan langsung dengan politik pengakuan atas kelompok budaya dan agama yang berkembang di masyarakat.
Pro dan kontea selalu terjadi tentang pembahasan sunat perempuan.
Namun, sebagai calon orang tua, kita perlu mengetahui tentang praktik sunat perempuan supaya tidak meneruskan budaya yang secara nyata, membahayakan tubuh perempuan. []