Meneladani Sisi Wara’ Imam Dawud Azh-Zhahiri

 Meneladani Sisi Wara’ Imam Dawud Azh-Zhahiri

Kisah Kebaikan Seorang Sufi kepada Seekor Kucing (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ada baiknya, ketika mengkaji profil atau pemikiran seorang tokoh, kita berusaha melihat dan meneladani dari berbagai sisi.

Sehingga kalaupun ada yang tidak kita sukai dari sisi tertentu ada yang kita sukai dan bisa meneladani dari sisi yang lain. Hal ini pada gilirannya akan membantu kita untuk bisa menilai sosoknya secara lebih objektif.

Tidak sedikit pandangan-pandangan fiqih Imam Dawud azh Zhahiri yang ditolak para ulama.

Bahkan sebagian menilai bahwa khilaf (perbedaan) yang datang dari Dawud azh Zhahiri tidak perlu digubris karena tidak semua pendapat berbeda yang boleh dipertimbangkan.

Namun demikian, dari segi kepribadian Imam Dawud azh Zhahiri dikenal sebagai seseorang yang sangat wara’ dan zuhud.

Abu Abdullah Al Muhamili Al Qadhi menceritakan:

Setelah shalat Idul Fitri di masjid Jami’ saya datang bertamu ke rumah Dawud bin Ali (azh Zhahiri) untuk mengucapkan selamat hari raya.

Saya melihat sebuah mangkok berisi sayur layu yang tak laku. Ia makan dengan ridha.

Saya menyampaikan selamat hari raya lalu pulang dalam keadaan tertegun. Seolah dunia ini tak ada nilainya.

Saya kemudian datang menemui seorang dermawan bernama Al Jurjani.

Ketika tahu saya datang ia segera keluar dalam keadaan kepala terbuka dan tanpa alas kaki.

Ia berkata, “Ada apa gerangan Tuan Qadhi datang?”

Saya berkata : “Tentang tetanggamu; Dawud bin Ali. Engkau tahu bahwa ia seorang yang alim dan engkau seorang yang suka berderma. Bagaimana mungkin engkau mengabaikannya?”

Ia menjawab : “Dawud seorang yang kurang berakhlak. Malam kemarin aku sudah kirimkan padanya seribu dirham tapi ia menolaknya dan ia berkata pada pembantuku: ” Katakan pada tuanmu, bagaimana diriku dalam pandanganmu? Apa info tentang diriku yang sampai kepadamu sehingga engkau mengirimkan uang ini padaku?”

Al-Muhamili melanjutkan:

Saya heran bercampur takjub. Saya berkata pada Al-Jurjani: “Serahkan pada saya dirham-dirham itu, biar aku yang akan menyerahkannya padanya.”

Ia lalu menyerahkan seribu dirham itu dan menambahnya seribu dirham lagi.

Ia berkata: “Seribu yang pertama itu dari kami dan seribu dirham yang kedua demi Tuan Qadhi.”

Saya segera menuju rumah Dawud bin Ali. Setelah duduk beberapa saat saya lalu meletakkan dua ribu dirham itu di hadapannya.

Melihat itu, Dawud berkata :

“Inikah balasannya aku sudah mempercayaimu terhadap rahasia diriku (kemiskinanku)? Aku mengizinkanmu masuk ke rumahku semata karena amanah ilmu (karena Al Muhamili juga seorang alim). Sekarang pulanglah. Aku tidak butuh pada apa yang ada di tanganmu.”

Aku pun pulang, dan dunia pun tampak sangat kerdil dalam pandanganku.

رحم الله علماءنا ؛ من اتفقنا معهم ومن اختلفنا

[]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *