Kurban Atau Aqiqah Dulu, Begini Penjelasan Ulama’

 Kurban Atau Aqiqah Dulu, Begini Penjelasan Ulama’

Penyembelihan hewan halal di Belgia (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Kurban dan aqiqah adalah dua ibadah sunnah yang memiliki tujuan berbeda. Kurban bertujuan mensyukuri nikmat hidup sekaligus bentuk penebusan kepada diri sendiri.

Sedangkan tujuan aqiqah adalah mensyukuri kelahiran anak, sekaligus tebusan untuk sang buah hati. Dengan harapan anak ini akan tumbuh menjadi generasi yang salih dan berbakti kepada kedua orang tuanya.

Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan perbedaan persepsi ulama empat mazhab tentang hukum berkurban sebagai berikut:

Mazhab Hanafi

Menurut imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama’ mazhab Hanafi, berkurban hukumnya adalah wajib bagi orang Islam yang berakal, baligh dan mampu secara finansial sekali dalam setiap tahunnya. Ukuran mampu secara finansial menurut mazhab ini adalah jika seseorang memiliki kekayaan minimal 200 dirham atau telah mencapai ukuran minimal nisab zakat.

Namun menurut dua murid senior imam Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani, hukum berkurban adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan untuk menyempurnakan ibadah).

Mazhab Maliki

Bagi mazhab Maliki, berkurban memiliki nilai sunnah mu’akkadah, dan menjadi makruh bagi orang yang mampu secara finansial, tetapi ia tidak melakukannya. Mampu dalam mazhab ini adalah memiliki uang yang lebih untuk membeli hewan kurban, dan ketika digunakan untuk berkurban, sisa uang tersebut tidak mengganggu kebutuhan pokok dalam satu tahun.

Mazhab Syafi’i

Dalam mazhab Syafi’i, berkurban adalah sunnah muakkadah sekali seumur hidup bagi orang Islam yang baligh, berakal dan mampu. Mampu yang dimaksud dalam mazhab Syafi’i adalah adanya kelebihan harta untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya. Pun bagi keluarga yang wajib ditanggungnya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq setelah digunakan untuk membeli hewan kurban.

Dalam mazhab ini, sunnah mu’akkadah berkurban terbagi menjadi dua. Pertama, sunnah ain (personal) yaitu sunnahnya berkurban secara personal atau individu bagi yang memiliki kemampuan secara finansial. Kedua, sunnah kifayah (kolektif), yaitu jika dalam satu keluarga, ada yang berkurban, maka kurban satu orang tersebut telah mewakili semua keluarganya.

Mazhab Hanbali

Berkurban dalam mazhab ini hukumnya adalah sunnah mu’akkadah. Meski seseorang harus berhutang untuk bisa membeli hewan kurban dan ada keyakinan ia mampu membayar hutangnya. Berkurban tidak disunnahkan bagi anak kecil yang belum dewasa (baligh).

Hukum Aqiqah Menurut Empat Mazhab

Dalam mazhab Hanafi – sebagaimana keterangan dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu – hukum aqiqah adalah mubah (boleh; tidak sampai sunnah). Alasannya, karena dalil-dalil tentang syari’at berkurban telah menghapus semua dalil tentang anjuran aqiqah, rajbiyyah dan ‘atirah.

Rajbiyyah adalah kambing yang disembelih di bulan Rajab, dan ‘atirah merupakan anak unta atau anak kambing yang disembelih di bulan Rajab. Ini adalah tradisi yang dilakukan untuk melaksanakan nazhar di zaman Jahiliyyah.

Sedangkan menurut selain mazhab Hanafi, aqiqah bernilai sunnah mustahabbah (sunnah mu’akkadah) bagi orang tua untuk anaknya. Artinya, orangtua yang dianugerahi anak, dianjurkan menyembelih hewan aqiqah di hari ketujuh dari kelahiran anaknya.

Jika yang bersangkutan memiliki kemampuan secara finansial untuk sekadar berbagi dalam rangka mensyukuri kelahiran anak. Dalam mazhab Syafi’i, jika anak lahir pada malam hari, maka dihitung mulai keesokan harinya.

Terkait tentang aqiqah, ulama memberikan kelonggaran bagi orang tua hingga si bayi tumbuh dewasa (baligh). Jika anak sudah baligh, maka aqiqah tidak lagi dibebankan (disunnahkan) kepada orangtua, tetapi diserahkan kepada si anak untuk tetap melaksanakan aqiqah atau tidak.

Dalam hal ini, tentu melaksanakan aqiqah lebih baik, guna membayar (qadha’) apa yang telah terlewat di waktu kecilnya (tadarakan lima fata). Demikian keterangan dalam kitab Fath al-Qarib karya Ibnu Qasim al-Ghazi.

Niat Berkurban Sekaligus Diniatkan Aqiqah

Jika seseorang hanya memiliki satu ekor kambing, sementara ia belum melaksanakan aqiqah. Bolehkah orang tersebut menggabungkan niat kurban dengan aqiqah?

Dalam hal ini, ulama’ mazhab Syafi’i berbeda pendapat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra pernah ditanya tentang masalah ini. Beliau menjawab, “Dalam mazhab kami sejak dulu, menggabungkan niat berkurban dengan aqiqah tidak diperbolehkan (hanya menghasilkan pahala salah satunya).

Alasannya, karena kurban dan aqiqah adalah kesunahan yang niat dan tujuannya berbeda. Berkurban tujuannya untuk menebus jiwa orang yang berkurban, sedangkan aqiqah tujuannya sebagai tebusan anak. Harapannya, anak akan tumbuh menjadi baik, mendapat kebaikan dan memperoleh syafa’at.

Sementara menurut imam Romli – sebagaimana keterangan dalam kitab Tausikh – meniatkan satu ekor kambing untuk berkurban dan aqiqah hukumnya boleh (mendapatkan dua pahala sekaligus).

Berkurban Dulu atau Beraqiqah Dulu

Jika mengikuti pendapat imam Ibnu Hajar, lalu mana yang lebih utama, berkurban dulu atau beraqiqah dulu?

Dalam Fatawa al-Syabakah al-Islamiyyah no. 44768 disebutkan bahwa jika seseorang mampu untuk berkurban dan beraqiqah, maka itu lebih baik. Namun jika ia hanya mampu membeli satu ekor kambing atau sapi atau sejenisnya, maka mendahulukan kurban lebih utama daripada aqiqah.

Alasannya karena waktu berkurban bersifat mudhayyaq (terbatas dan tertentu waktunya), sedangkan aqiqah waktunya muwassa’ (luas dan bisa dilakukan kapan saja). Selain itu, berkurban pada tanggal 10-13 Dzulhijjah disebut ada’, sedangkan aqiqah setelah si anak dewasa (baligh) disebut qadha’. Sesuatu yang dikerjakan secara ada’ lebih utama dibanding apa yang dikerjakan secara qadha’.

Dalam kitab Mawahib al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil karya Muhammad bin Muhamamd al-Maghribi menyampaikan pendapat Ibnu ‘Urfah. Barangsiapa yang ingin melaksanakan aqiqah namun waktunya mendekati hari raya kurban, sementara ia hanya memiliki satu ekor kambing, maka ia disilahkan untuk aqiqah.

Ibnu Rusyd menambahkan, “Dengan catatan, jika ada harapan hari raya kurban tahun depan ia bisa berkurban. Jika tidak ada harapan, maka berkurban dulu lebih kuat (utama). Wallahu a’lam

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *