Konstruksi Fikih Kiri, Sebuah Paradigma Alternatif

 Konstruksi Fikih Kiri, Sebuah Paradigma Alternatif

Khazanah Keilmuan dalam Ilmu Fikih (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pertama yang harus ditegaskan sejak dini adalah pengakuan bahwa Islam memang tidak pernah bisa dipisahkan dari konstruksi fikih.

Instrumen yang menghiasi perjalanan Islam tidak lain adalah fikih itu sendiri. Kendati bukan satu-satunya, setidaknya fikih masih menjadi representasi dari wajah Islam.

Jika dikomparasikan dengan cabang pengetahuan Islam yang lain, tentu fikih menang secara hierarkis. Tetapi secara fungsional setiap hal-hal yang berhubungan dengan dinamika intelektual di dalam Islam tentu saling berkelindan erat.

Kesemuanya tidak dapat dipisahkan dan dipecah-pecahnya. Hanya saja tujuan dari dikemukakannya posisi fikih di sini untuk menunjukkan bahwa konstruksi fikih memegang posisi yang sentral.

Intinya, fikih memang entitas yang tidak akan pernah tercerabut dari Islam. Ia sebagai sebuah instrumen kuat kalau tidak paling kuat yang mewarnai perjalanan agama ini.

Persoalan-persoalan yang dibahas juga sering berkelindan erat dengan problematika seputar ibadah, muamalah, hingga siyasah (politik). Hak-hak yang dibahas di dalam fikih kerap menyinggung hak-hak Tuhan dan juga hak manusia.

Artinya, selain meneguhkan dan memandang hak yang punya relasi langsung dengan Tuhan, fikih juga memandang relasi antara manusia.

Demikianlah domain fikih secara hakiki, kendati dalam tahap implementasi dan realita yang dihadapi saat ini berbeda.

Semakin rumit musabab ada anggapan bahwa fikih hanya melingkupi bahasan halal-haram dan hukum teknis lainnya.

Pada puncaknya yang paling naif, fikih seringkali hanya membahas apa yang telah termaktub di dalam kitab klasik. Sedangkan ihwal pembahasan kontekstual dan nyata dihadapi umat sering tidak dilihat.

Sedikit sekali (untuk tidak mengatakan tidak ada) perhatian yang diberikan fikih terhadap keadaan kelas sosial dan ketertindasan umat yang lemah.

Malahan ulama-ulama yang punya kepakaran di bidang tersebut kerap bungkam di hadapan ketimpangan.

Lebih kencang mana suara pemuka agama ketika memberi fatwa kelompok yang diklaim ‘sesat’ dan ketika berhadapan dengan eksplotasi lahan habis-habisan?

Tentu suaranya tidak sama dan lebih lantang ketika hanya membahas ihwal sesat-menyesatkan.

Untuk itulah fikih kiri bisa unjuk gigi yang berorientasi untuk  membela kaum yang lemah. Lema kiri pernah dipakai Hassan Hanafi untuk menggambarkan pihak yang tertindas dan dikuasai, bahkan (di) miskin (kan).

Secara historis dan teologis, orang-orang yang lemah memang harus senantiasa dibela. Kita memahami bahwa nabi sepanjang perjalanan dakwahnya selalu memihak kepada kaum yang tertindas.

Bahkan beberapa sahabatnya adalah budak yang kemudian ditebus dan dibebaskan. Demikian jika ditilik secara historis dari sejarah perjalanan dakwah nabi.

Secara teologis, hal ini selaras dengan prinsip syariat yang memang menjunjung tinggi keadilan dan kekemaslahatan.

Kata dhuafa (orang-orang kecil) dan mustadafiin (orang yang teraniaya) dipakai di dalam al-Quran. Dan kitab suci umat Islam itu dengan lantang meminta agar mereka dibela.

Dengan demikain rumusan yang diakomodir fikih tidak lebih berat ke dalam hubungan yang vertikal dan mengabaikan yang horizontal.

Dalam gagasan konstruksi fikih kiri ini yang menjadi titik penting dan tonggaknya adalah realitas masyarakat yang terpinggirkan dan bahkan juga dilemahkan (mustadafiin).

Selama ini lemah dan miskinnya umat dianggap hal yang alamiah. Di titik ini banyak orang yang terjatuh pada sikap fatalistik.

Padahal itu semua tidak pernah terlepas dari yang namanya desain yang terstruktur.

Alih-alih natural, kemiskinan dan ketertindasan kaum saat ini, semestinya dipandang sebagai hal yang struktural.

Keberpihakan fikih ini dimaksudkan agar dapat memantik nalar banyak orang yang kerap diam melihat kesenjangan yang terstruktur itu.

Musabab fikih adalah bagian dari Islam, tentu hal tersebut dapat merasuki sisi terdalam hati pemeluknya.

Gagasan ini penting untuk dikemukakan secara lebih serius. Terhadap realitas konkret yang dihadapi masyarakat, fikih harus terus-terusan melihat dengan konsisten.

Sehingga tidak ada anggapan bahwa bagian terpenting dari problem yang harus diselesaikan hanyalah soal fatwa tentang yang halal dan haram, yang sesat dan tidak.

Manakala masih terdapat anggapan bahwa problem paling genting saat ini karena banyak orang yang tidak beribadah, tentu hal tersebut tidak salah dan tidak sepenuhnya benar.

Ada hal lain yang butuh untuk diperhatikan, ketertindasan ini di antaranya. Jika fikih hanya memerhatikan problem yang melangit, maka ia bisa diklaim ‘gagal’ sebagai sebuah produk yang semestinya membela kaum Bumi. []

 

M Rofqil Bazikh

Mahasiswa jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis di berbagai media cetak dan online. Bisa dijumpai di surel mohrofqilbazikh@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *