Ijtihad Ilmu Sosial Profetik
HIDAYATUNA.COM – Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW menjadi salah satu hal menarik untuk diperhatikan. Terutama dalam konteks memahami basis teologi profetik yang dibangun seorang intelektual Muslim.
Ketersediaan Nabi Muhammad untuk turun kembali ke bumi, tidak terjebak pada kenyamanan spiritualitas dengan Tuhannya adalah contoh kongkrit dari kepedulian terhadap realitas masyarakat.
Kuntowijoyo salah satu intelektual yang mencoba menafsiri kejadian tersebut bukan hanya semata-mata wahyu Tuhan yang harus diamini. Tetapi bagi Kunto hal itu merupakan misi kerasulan Muhammad untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang riil.
Berangkat dari inilah Kuntowijoyo mengkritik pendahulunya yang cendrung menjadikan Islam sebagai ideologi. Hal ini bisa kita lihat ketika penafsiran para intelektual Muslim ditempatkan pada posisi kebenaran absolut. Tidak boleh dikritisi, dibantah dengan argumentasi dan penafsiran baru bahkan tafsir para ulama menjadi sakral dan seakan-akan sama dengan wahyu Tuhan.
Bangunan tradisi berpikir semacam ini bisa dijumpai dalam perjalanan keilmuan umat Islam. Maka Kuntowijoyo menghadirkan gagasan baru dengan mencita-citakan satu metodologi yaitu pengilmuan Islam.
Dasar Lahirnya Ilmu Sosial Profetik
Gagasan Ilmu Sosial Profetik tidak murni lahir dari perenungan Kuntowijoyo. Ia terinspirasi oleh tulisan-tulisan Roger Garaudy dan Muhammad Iqbal.
Dari pemikiran Garaudy yang menganjurkan filsafat kenabian dengan mengakui wahyu inilah yang bagi Kuntowijoyo menemukan korelasinya. Lalu untuk gagasan Muhammad Iqbal, Kuntowijoyo mengambil ilmu etika profetik.
Seperti yang dikatakan oleh Heru Nogroho bahwa etika profetik seperti gagasan Muhammad Iqbal tersebut sudah mengilhami Kuntowijoyo melahirkan Ilmu Sosial Profetik. Ilmu Sosial Profetik dimunculkan sebagai suatu gagagsan alternatif.
Di saat ilmu sosial yang cendrung positivistik dan hanya jadi patokan untuk memahami dan menjelaskan realitas secara deskriptif dan dimanfaatkan keberadaanya. Di sini Kuntowijoyo berupaya merombak pemahaman lama yang menjadikan ilmu sosial sebatas kerangka pemahaman dan ide.
Untuk lebih hadir menjawab persoalan-persoal nyata dalam kehidupan masyarakat sehingga diperlukan ilmu sosial berbasis trasfromatif, bergerak dan ada keberpihakan.
Ilmu Sosial Profetik dalam Alquran
Dalam gagasan Ilmu Sosial Profetik, Kuntowijoyo merumuskan tiga pilar penting yaitu; humanisasi, liberasi dan transendensi. Cita-cita profetik dinisbatkan terhadap misi historis Islam yang terkandung dalam Alquran surah Ali Imran (3): 110 yang artinya:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.
Kuntowijoyo mamaknai ayat ini dengan tiga spesifikasi tertentu, yaitu amar ma’ruf dalam bahasa ilmunya dikatakan humanisasi. Untuk nahi mungkar diartikan sebagai liberasi dan tu’minuna billah adalah transendensi.
Menurut Kuntowijoyo (2001: 364-365), bahwa humanisasi yang ditawarkan mirip dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja jika humanisme Barat lahir dan bertumpu terhadap humanisme antroposentris, konsep humanismenya Kuntowijoyo berakar dan berpijak pada humanisme teosentris.
Humanisme
Humanisasi mempunyai arti memanusiakan manusia, melepas kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanism teosentris Kuntowijoyo adalah objetifikasi antara iman dan amal.
Hal ini dianggap sebagai gebrakan untuk menemukan makna iman dalam kehidupan manusia. Dalam artian, bahwa manusia tidak lagi diukur dari rasionalitas belaka, lebih jauh manusia ditempatkan pada trandensental.
Di sini Kuntowijoyo mengatakan bahwa manusia sudah berada dalam fase lupa akan dirinya sendiri. Awalnya menciptakan produksi untuk mengkonsumsi barang hasil buatannya, malah larut terhadap perbudakan oleh hasil produksi manusia sendiri.
Di antaranya adalah teknologi, kebudayaan konsumerisme, hedonisme, dan memperparah persoalan-persoalan alih fungsi lahan akibat adanya perusahaan dan alat-alat produksi lainnya. Dampak dari hal itu adalah kealpaan manusia pada lingkungan sekitar.
Inilah yang bagi Kuntowijoyo sebagai dehumanisasi yang menyebabkan banyak persoalan kemanusiaan di dalamnya. Lebih lanjut Kuntowijoyo mengajak untuk menghadirkan konsep transendensi sebagai dasar dari cara memahami humanisasi secara utuh.
Liberasi
Tujuan dari konsep ini merupakan pembebasan bangsa dari ketimpangan, kemiskinan, perampasan hak-hak bangsa, dan belenggu teknologi. Seperti yang dikatakan Kuntowijoyo (1991: 289), bahwa;
“Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokrasi, dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri”.
Di sini ilmu sosial profetik Kuntowijoyo sejalan dan searah prinsipnya dengan faham sosialisme. Hanya saja Kuntowijoyo dalam ilmu sosial profetiknya tidak menjadikan liberasi sebagai ideologi untuk membebaskan dari belenggu kapitalisme.
Melainkan liberasi ilmu sosial profetik dalam konteks ilmu adalah ilmu yang didasari pada nilai-nilai luhur transendental. Kuntowijoyo mengajak ilmu sosial profetik dipahami dan dipadukan dalam konteks ilmu sosial.
Konteks yang mempunyai tanggung jawab profetik untuk melepas diri manusia dari keangkuhan pemodal, korporasi, pemerasan, penggusuran, domisasi hak-hak. Serta struktur yang memberikan legitimasi palsu pada manusia.
Liberasi adalah pendekatan revolusioner, yang dalam konteks Indonesia masa kini biaya sosialnya terlalu mahal. Dengan begitu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dari umat Islam (Kuntowijoyo, 1997: 38).
Ilmu Untuk Kebajikan
Dalam Ilmu Sosial Profetiknya, Kuntowijoyo menempatkan ilmu sebagai dasar dari gerakan pembebasan atau melakukan kebajikan. Kebajikan itu terhadap lingkaran penindasan, kemiskinan dan belenggu kebodohan.
Inilah perbedaan dengan konsep pembebasan ala Marxis yang dijadikan alat pembedah gerakan uamat Katolik abad 19 awal di Amerika Latin. Oleh sebab itu, Kuntowijoyo membedakan antara ilmu dan ideologi.
Bagi Kuntowijoyo, ideolgi melihat kenyataan yang ditafsiri sesuai dengan kaidah-kaidah yang diyakin sebagai kebenaran. Lebih lanjut, liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik menawarkan transendental.
Nilai-nilai liberatif ini dipahami dalam konteks ilmu sosial yang mempunyai andil besar. Ialah terhadap pembebasan manusia dari kekejaman dominasi ruang, kekuasaan, politik, kemiskinan dan dilema kesadaran.
Lebih tepatnya jika Marxisme menolak agama yang dianggap konservatif. Maka Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo justru sebaliknya, menghadirkan nilai-nilai transendental dari agama untuk menjawab permasalah faktual dari masyarakat.
Transendental dalam Kebudayaan
Untuk memahami humanisasi dan liberasi menjadi satu gerakan dalam sosial masyarakat perlu melengkapinya dengan transendensi. Transendensi sendiri bertujuan untuk menambahkan sisi transendental dalam kebudayaan.
Hari ini kita sudah dikepung dari berbagai arah, terutama kebudayaan, di mana manusia sudah dijajah arus hedonisme, materialisme dan budaya yang dekaden.
Maka perlu untuk kembali percaya terhadap sesuatu yang ada di luar kekuatan manusia, mencari jalan membersihkan diri. Dengan cara menghadirkan dimensi transendental yang menjadi hal pokok sebagai fitrah manusia.
Dalam pandangan umat Islam, transendensi berarti beriman pada Tuhan. Menempatkan Tuhan sebagai pemegang otoritas paling atas melebihi kekuatan lain.
Maka, transendensi ini merupakan penuntun jalan dari humanisasi dan liberasi umat manusia yang tidak hanya dikonsumsi oleh umat Islam sendiri. Tetapi juga untuk umat manusia sehingga apa yang dilakukan oleh Kuntowijoyo dalam Ilmu Sosial Profetik adalah uapaya menerapkan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin.
Daftar Pustaka
Fahmi, Islam Transendental: Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 29.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 289.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dan Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 364-365.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 38