Ibu Kartini dan Pemahaman Spiritualitas yang Melampaui Usia

 Ibu Kartini dan Pemahaman Spiritualitas yang Melampaui Usia

Ibu Kartini (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sebagian orang, mungkin akan bertanya-tanya, mengapa RA Kartini diperingati secara khusus di Indonesia?

Padahal terdapat beberapa pahlawan perempuan yang dulu juga berjuang, seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia yang turun ke medan peran melawan Belanda. Ada pula nama Dewi Sartika yang telah membangun sekolah untuk perempuan lebih dulu daripada Ibu Kartini.

Ibu Kartini disebut-sebut sebagai perempuan bangsawan Jawa yang revolusioner dalam memperjuangkan pendidikan kaum perempuan pribumi. Tapi akhirnya dia sendiri tidak melanjutkan sekolah dan malah memutuskan menerima perjodohan orang tuanya.

Yayasan Ibu Kartini juga sebenarnya juga bukan RA Kartini yang mendirikan, tetapi teman-temannya dari Belanda yang bekerjasama mendirikan sekolah-sekolah di seluruh pulau Jawa. Lantas mengapa ia layak diperingati secara khusus dan istimewa?

Pemikiran Revolusioner

Ibu Kartini merupakan seorang perempuan yang tidak setuju dengan tradisi pingit yang ada dalam tradisi Jawa. Sebab menurutnya, pingit membuat seorang perempuan tidak memiliki cita-cita, tidak bisa mengenal dunia luar, dan tidak mampu mengenyam pendidikan.

Berbeda dengan kaum laki-laki yang pada saat itu bisa bebas mengenyam pendidikan. Meskipun sebenarnya hanya kaum bangsawan saja yang mampu mengaksesnya.

Tapi berbeda dengan Ibu Kartini, meskipun dia juga dipingit, namun dia berwawasan luas dan dikenal cerdas. Sebab ia memiliki akses untuk berhubungan dengan orang di luar berkat peran sang kakak yang sekolah di Belanda.

Ia memiliki sahabat pena di Belanda dan kerap berkirim surat berisi kegelisahan dan pemikirannya yang revolusioner. Menentang pemahaman patriarki yang masih kental di bumi pertiwi.

Namun meski berjuang keras menyampaikan pemikirannya, pada akhirnya Ibu Kartini tak kuasa melawan kodratnya dan tak mampu menentukan masa depannya.

Berbeda dengan Cut Nyak Dien dan Cut Meutia yang ikut bergabung dengan pasukan berperang melawan Belanda. Ibu Kartini justru berperang melawan dogma dan tradisi yang dianggap tidak memihak kaum perempuan pada saat itu.

Ia mengidamkan perempuan mampu setara dengan laki-laki dalam hal akses menuju pendidikan, melawan aksi kekerasan terhadap perempuan dan menentang poligami.

Pandangan Kartini Terhadap Agama

Selain pemikirannya tentang perlawanan terhadap dogma patriarki, yang menjadikan Ibu Kartini istimewa adalah kebijaksanaan spiritualitas Kartini yang melampaui usianya. Ia menulis panjang lebar tentang pandangannya terhadap agama dalam suratnya yang ia kirimkan untuk sahabatnya, Stella di Belanda.

Ia memahami bahwa agama diturunkan sebagai rahmat untuk manusia, sebagai penghubung silaturahmi antar manusia. Namun ia mempertanyakan kenapa manusia tak mampu bersatu hanya karena perbedaan agama.

Ia menyebut agama justru menjadi tembok penghalang antara orang yang saling mengasihi. Fenomena ini kerap terjadi pada masyarakat bahkan hingga kini.

“Orang yang berkasih-kasihan dengan amat sangatnya, dengan amat sedihnya bercerai-cerai. Karena berlainan tempat menyeru Tuhan, Tuhan yang itu juga, terdirilah tembok membatas hati yang berkasih-kasihan. Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!”

Tentu saja seorang Ibu Kartini yang dipingit namun luar biasa cerdas dalam memahami substansi agama tersebut layak diperhatikan. Itu terbukti, betapa banyak orang sekarang yang berbuat dosa justru atas nama agama.

Saling mencela, menghina umat agama lain, bahkan sesama agama sendiri. Inilah yang perlu direnungkan oleh umat muslim dan umat beragama lainnya. Padahal dalam Alquran sudah dijelaskan tentang perintah untuk saling mengasihi sesama manusia.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan akherat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas: 77)

Promosi Toleransi Beragama

Maka dari itu, Ibu Kartini berupaya menggaungkan toleransi antarumat beragama. Ia berharap akan tercipta kedamaian antar sesama penyembah Tuhan di bumi ini.

Ungkapan surat yang perlu direnungkan bersama tentang spiritualitas ini adalah bahwa Kartini menyebut “agama yang paling indah dan paling suci ialah kasih sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.”

Itulah yang menurut saya RA Kartini memang layak diperingati secara khusus dan istimewa. Meskipun pada akhirnya ia meninggal di usia muda yakni 25 tahun, namun pemikiran-pemikirannya masih relevan hingga sekarang.

Maraknya isu poligami, perjodohan, pernikahan dini, kekerasan rumah tangga, subordinasi perempuan, dogma agama serta tradisi yang kerap membelenggu perempuan masih hangat menjadi kajian di masa sekarang.

Jadi memahami pemikiran Kartini tidak sebatas menolak tradisi, sehingga dengan mudah mengatakan tradisi ini tradisi itu adalah salah. Tidak, tidak sedangkal itu! Namun memahami bagaimana sebuah tradisi mampu beradaptasi dengan tidak mengesampingkan hak-hak kesetaraan antar sesama manusia.

Arini Sa’adah

Freelance Writer

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *