Membincang Islam, Tuhan, dan Humanisme

 Membincang Islam, Tuhan, dan Humanisme

Islam, Tuhan, dan Humanisme (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Mengapa sebagian manusia kerap merasa absah melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan?

Pergumulan perasaan manusia yang tiada henti. Humanisme sebagai cerminan atas sifat Tuhan Ar-Rahman dan Ar-Rahim terasa sirna, tanpa bekas di hati seorang manusia. Mengapa?

Gagalnya Akal dalam Pemaknaan atas Agama

Adalah kesalahan besar pemahaman atas pemaknaan nilai-nilai Islam sebagai agama berasal dari Tuhan yang secara normatif tertuang di dalam Al-Qur’an dengan buah-buah pemikiran manusia melalui aktivitas ijtihadnya.

Mestinya, sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan yang absolut, yang tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan berkarakter sakral, harus diyakini bahwa agama itu benar secara keseluruhan, sempurna, tidak dipengaruhi oleh manusia, bersifat tetap.

Soroush pernah memberi penjelasan bahwa agama sebagai pengetahuan Ilahi yang bersifat tetap.

Sementara pengetahuan keagamaan sebagai bagian dari pengetahuan manusia mengalami perubahan.

Agama tidak bimbang dalam memberi penjelasan atas baik dan buruk.

Sebaliknya, pemahaman manusia tentang maksud agama itu bisa bimbang, ambigu, bahkan salah.

Agama tidak membutuhkan perbaikan. Sementara ilmu agama yang bersifat manusiawi, tidak sempurna, dan tetntu mempunyai kemungkinan benar atau pun salah.

Sehingga perlu untuk terus diperbaiki. Nah, kesalahan pemaknaan itu, hari ini tampaknya terinternalisasi dalam menjustifikasi ideologi agresi mereka, dengan bahasa-bahasa agama, misalnya jihad fi sabilillah, dst.

Padahal kata Al-Maududi dalam Aksin Wijaya (2018) Istilah Jihad yang mempunyai makna “usaha sungguh-sungguh” adalah sinonim dengan istilah stuggle dalam bahasa inggris yang bermakna perjuangan.

Jihad secara padat-makna meliputi setiap upaya dan pengarahan segala kemampuan untuk menggapai tujuan dan cita-cita Islam dengan meruntuhkan rezim lama yang tidak berkeadilan, dan menggantikannya secara revolusioner dengan ajaran Islam yang berkeadilan.

Baik melalui tulisan, pedang, dana, bersabar menghadapi kesulitan, dan berani menanggung penderitaan yang menyertai perjuangan tersebut.

Oleh sebab itu, sebagai manusia yang dibekali akal pikiran, mestinya memfungsikan rasionalitasnya dengan baik, berfikir dengan tulus, sehingga kemudian melahirkan logika sehat.

Bahwa tidak ada argumen atau pun dalil yang membenarkan atau mendukung kekerasan sebagai bentuk pembelaan kepada agama maupun tuhan.

Agama dan Tuhan tidak perlu dibela, sebab, Agama dilahirkan oleh Tuhan justru untuk membela kemanusiaan manusia.

Kedamaian sebagai bagian asasi dari Islam.

Konsep kemanusiaan ini telah selaras dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Rasulullah telah konsisten mengajarkan akhlak mulia melalui wilayah-wilayah agama. kalau dulu zaman pra-Islam di Arab dinamakan dengan Humanisme Suku.

Karena kondisi pada waktu itu adalah lebih berkesukuan. Maka, ketika ditarik pada zaman kini yang notabennya telah hilang atas kesukuanya, maka harus saya sika humanisme ini harus tetap dilahirkan dan dilestarikan pada wilayah kemanusiaan.

Hal ini, sangat selaras dengan apa tujuannya Tuhan melahirkan Agama Islam, yakni membawa ajaran yang berwatak humanisme manusia, tanpa disekat-sekat apa pun.

Kalau melihat analisis semantik terhadap istilah Islam dan derivasinya menandakan betapa Islam sebagai agama tidak hanya mengajarkan kedamaian, tetapi juga menjadikan kedamaian sebagai bagian asasi dari Islam.

Dr. HM. Zainuddin, MA (uin-malang.ac.id, 11/11/13) Mengatakan bahwa, Sebagai sebuah ajaran, Islam dikenal sebagai agama yang sangat humanis, bahkan konsep tauhid -sebagai dimensi ideal-transendental dalam ajaran Islam- tidak boleh dipisahkan dari kehidupan sosialnya.

Tetapi sayangnya, secara empiris dalam masyarakat, ajaran yang humanis dan menekankan nilai-nilai sosial ini tidak lagi nampak kental dalam masyarakat muslim. Justru yang terjadi adalah sebaliknya.

Padahal, agama Islam telah memberikan memberikan tuntunan hidup dari berbagai persoalan yang paling kecil hingga kepada urusan yang paling besar, semua ada, hitam dan putih jelas, misalnya mulai dari urusan rumah tangga, tidur, makan dan minum sampai pada urusan bangsa dan negara pun di atur oleh agama.

HAR. Gibb menandaskan dengan statmentnya, bahwa “Islam tidak hanya sekedar berisikan ajaran teologi, tetapi ia sarat dengan peradaban.”

Selaras dengan ungkap Ali (1993: 89), bahwa ketika al-Qur’an secara tegas mengutuk penindasan dan ketidakadilan, maka perhatiannya terhadap wujud sosial yang baik dari masyarakat yang egaliter tidak bisa disangkal lagi.

Ali menguatkan lagi, terlepas dari signifikansinya, istilah-istilah Al-Qur’an  juga mempunyai konotasi-konotasi sosial-ekonomi.

Sehingga, term kafir dalam Al-Qur’an tidak hanya berkutat atas pemaknaannya atas ingkar terhadap Tuhan, malainkan secara tidak langsung juga menentang terhadap keadilan dan kejujuran yang seharusnya diwujudkan dalam suatu masyarakat secara nyata.

Orang yang mengaku  beriman kepada Allah, lazimnya ia menunjukkan keberpihakannya (komitmen) terhadap orang-orang yang lemah (al-mustadh’afin) seperti misalnya: anak-anak yatim, orang miskin dan orang terlantar, sehingga ia secara praktis telah beraktivitas menegakkan keadilan di muka Bumi ini.

Humanisme Islam dan Kemajuan Peradaban

Humanisme dalam pemaknaannya, dapat diartikan sebagai sebuah jalan manusia untuk memahami eksistensinya dalam hubungan dengan seluruh kehidupan.

Bahkan juga pemahamannya atas nilai-nilai kemanusiaan, termasuk nilai-nilai religius-spiritual.

Humanisme dalam Islam sendiri, merupakan sebuah bentuk konsekuensi dari kemajuan peradaban, humanisme Islam melahirkan studia adabia yang meliputi berbagai kegiatan ilmiah yang terkait dengan filsafat moral (akhlak).

Melihat fakta yang ada, perkembangan sosial masyarakat tampak kurang mengoptimalkan tujuan daripada humanisme Islam itu, sehingga wajar saja humanisme Islam belum tercapai ide dan pokoknya, yang sebenarnya hal itu dapat melahirkan nilai-nilai ketauhidan, sikap toleransi dan rasa keadilan dalam sistem sosial kemasyarakatan.

Menurut Baedhowi (2008) humanisme Islam melarang keras mendewakan manusia atau mahluk-mahluk lain, namun tidak juga merendahkan manusia sebagai mahluk yang hina dan berdosa.

Humanisme dala ajaran Islam didasarkan pada hubungan antar sesama manusia,baik itu hubungan sesama muslim maupun dengan umat non-muslim.

Oleh sebab itu perlu diperhatikan bagi semua elemen masyarakat khususnya umat Islam sendiri dalam menata ulang sehingga dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dan seimbang sesuai dengan tatanan nilai universal alam semesta yang membawa kebaikan bagi seluruh isi di dalamnya.

Kata Titis Rosowulan dalam jurnal Hikmatuna, Vol. 1, No. 2, salah satu cara menanggulangi konflik tersebut adalah dengan menerapkan humanisme secara aktif.

Karena humanisme sendiri secara umum dapat didefinisikan sebagai pandangan atau keyakinan bahwa martabat manusia terletak pada kebebasan dan rasionalisme yang inheren pada setiap individu. Tabik. []

Rojif Mualim

https://hidayatuna.com

Alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pengajar dan Peneliti, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *