Hukum Nikah Siri Dalam Islam

 Hukum Nikah Siri Dalam Islam

HIDAYATUNA.COM – Nikah siri merupakan istilah yang dibentuk dari dua kata: nikah dan siri. Nikah dalam bahasa Indonesia adalah kata serapan dari bahasa arab yaitu nakaha, yankihu, nikahan. Menurut KBBI nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri. Sedangkan kata siri adalah suatu kata dari bahasa Arab al-sirru yang artinya rahasia, tersimpan.

Secara historis, pemakaian istilah nikah siri ini tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih, klasik maupun kontemporer. Tidak diketahui juga kapan istilah itu muncul. Nikah siri merupakan istilah yang hanya ada di Indonesia, meskipun di sisi lain, sistem hukum di Indonesia tidak mengenal istilah nikah siri, apalagi mengaturnya secara khusus dalam sebuah undang-undang.

Dalam praktiknya, nikah siri di Indonesia dilakukan berdasar tata cara agama Islam, sesuai dengan syarat dan rukun nikah dalam Islam, tetapi tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Kantor Urusan Agama (KUA) serta tidak dipublikasikan. Jadi yang membedakan nikah siri dengan nikah umum lainnya secara Islam terletak pada dua hal, yaitu tidak tercatatnya nikah siri secara resmi dan tidak terpublikasikan.

Nikah siri seperti ini dianggap sah menurut fikih. Hal ini karena, menurut hukum Islam ini, semua rukun dan syarat dalam pelaksanaan nikah siri telah terpenuhi sehingga, tidak adanya pencatatan nikah secara resmi dan tidak terpublikasikan merupakan dua hal yang tidak membatalkan dan tidak mengakibatkan tidak sahnya nikah.

Terpenuhinya semua rukun nikah dalam nikah siri dapat terlihat dari adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab-qabul. Ketentuan ini sebagaimana dikatakan imam Syafi’i yang kemudian diratifikasi para ulama di Indonesia dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 14. Sementara terpenuhinya syarat nikah jika masing-masing rukun tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Bagi calon suami telah memenuhi syaratnya jika ia laki-laki, beragama Islam, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan, dan tidak terdapat halangan perkawinan. Sedangkan bagi calon istri telah memenuhi syarat jika ia perempuan, beragama meskipun Yahudi atau Nasrani, jelas orangnya, dapat diminta persetujuannya, dan tidak terdapat halangan perkawinan.

Bagi wali nikah dianggap telah memenuhi syarat jika laki-laki, dewasa, memiliki hak perwalian, dan tidak terdapat halangan perwalian. Adapun bagi saksi nikah syaratnya adalah dua orang laki-laki, hadir dalam ijab-qabul, dapat mengerti maksud akad, Islam, dan dewasa.

Sementara ijab-qabul yang sah adalah yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  • Adanya pernyataan mengawinkan/ijab
  • Adanya pernyataan menerima/qabul
  • Memakai kata-kata nikah atau tazwij atau memakai terjemahan dari nikah
  • Antara ijab dan qabul bersambungan;
  • Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;
  • Orang yang berkait dengan ijab-qabul tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
  • Ijab-qabul dihadiri (minimal) empat orang

Pandangan Ulama tentang nikah siri

  • Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki, muslim dan adil.
  • Menurut Hanafi, saksi tidak harus dua orang laki-laki, tapi apabila seorang laki-laki dan dua orang perempuan adalah sah
  • Sedangkan Maliki mengatakan saksi hukumnya tidak wajib dalam akad, tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap istrinya.

Di samping itu, Maliki mewajibkan adanya pengumuman pernikahan. Dengan demikian, jika terjadi akad nikah secara rahasia (siri) dan diisyaratkan tidak diumumkan, maka pernikahan tersebut menjadi batal. Dalam hal ini, menurut Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, perihal tidak diumumkannya nikah tidak merusak pernikahan tersebut asalkan akad nikah disaksikan dua orang saksi.

Menurut Maliki, nikah siri dengan pengertian pernikahan dengan adanya saksi tapi disembunyikan dari masyarakat setempat dihukumi fasakh (rusak), dan bagi pelakunya dikenakan hukuman sama seperti orang zina. Sedang menurut Hanafi, pernikahan tersebut tetap sah hukumnya dan tidak dikenai hukuman.

Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai pranata hukum positif negara bagi umat Islam di Indonesia, tidak mengenal istilah nikah siri. KHI hanya mengenal nikah yang dicatat dan nikah yang tidak dicatat. Sebagaimana dinyatakan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, KHI me ngatur keharusan pencatatan nikah dalam pasal 5 sebagai berikut:

  • Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
  • Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Kesimpulannya Nikah siri dengan adanya wali dan saksi tanpa ke KUA hukumnya tetap sah, namun sebaliknya jika nikah siri dilakukan tanpa adanya wali dan saksi maka hukumnya tidak sah. Meskipun demikian ada beberapa dampak negatif dari nikah siri, yaitu:

  • Nikah siri bisa menimbulkan fitnah atau ghibah di masyarakat. Tiba-tiba pergi atau jalan berduaan, dimana masyarakat tidak pernah mengetahui tentang pernikahan kedua orang tersebut. Hal ini tentu dapat menyebabkan munculnya masalah.
  • Pernikahan yang dilakukan secara diam-diam tanpa ke KUA tidak mendapatkan perlindungan secara hukum. Nantinya bila terjadi sesuatu yang merugikan salah satu pihak, maka ia tidak bisa melakukan tindakan penuntutan. Misalnya saja, si suami tidak mau menafkahi maka istri tidak bisa berbuat apa-apa.
  • Pernikahan siri merugikan pihak anak. Seorang anak yang lahir dari pernikahan siri maka statusnya tidak jelas di mata hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orangtuanya. Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran.
  • Mengurus administrasi negara juga akan kesulitan. Misalnya Kartu Keluarga (KK), KTP, Akta Kelahiran Anak, dan sebagainya.

Sumber:

  • Kompilasi Hukum Islam bab Perkawinan
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *