Dejilbabisasi: Upaya Memanusiakan Pengalaman Perempuan

 Dejilbabisasi: Upaya Memanusiakan Pengalaman Perempuan

Rusia Izinkan Pemakaian Hijab dalam Foto Paspor (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Dunia sosial media Indonesia akan selalu ramai dengan perbincangan terkait jilbab. Lebih-lebih jika ada artis yang baru berjilbab atau sebaliknya, melepas jilbabnya. Hal yang sering dibicarakan antara lain terkait bagaimana sejatinya aturan berjilbab dalam agama Islam.

Beberapa bahkan turut menyebutkan dalil-dalil kewajiban berjilbab, berikut ancaman bagi yang tidak berjilbab. Beberapa lagi melontarkan hujatan atau kata-kata yang meremehkan terkait iman perempuan yang melepas jilbabnya, bahkan menyebutnya murtad maupun atheis. Beberapa lagi mendoakan akan keistiqomah-annya.

Sekarang kita coba sepakati terlebih dahulu bahwa mengenakan jilbab adalah wajib bagi perempuan muslim. Jika dasar yang digunakan adalah untuk menutup aurat perempuan, maka batas-batas aurat perempuan, baik untuk dipahami terlebih dahulu.

Sejatinya ada dua pandangan yang sering digunakan banyak para ulama sekaligus diikuti masyarakat. Pertama adalah aurat perempuan itu ialah seluruh bagian tubuhnya. Kedua, seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.

Dalam buku berjudul Jilbab karya M. Quraish Shihab, seorang psikolog Indonesia bernama Sarlito Wirawan meninjau aurat dari sudut psikologi dan kepribadian bangsa.

Ia menyebutkan bahwa, “Ada dua pihak yang terkena dampak dari aurat yang terbuka; yang bersangkutan sendiri dan yang melihatnya. Dampak bagi yang bersangkutan adalah timbulnya rasa malu, sementara bagi yang melihatnya bisa timbul perasaan seperti terangsang, bangkit syahwatnya, atau risi, malu, dan sebagainya. Namun perasaan-perasaan yang ditimbulkan ini bersifat subjektif, bergantung terhadap kondisi orang-orang yang bersangkutan dan sistem nilai yang dianutnya,..”

Maka, aurat dalam pengertian yang paling mudah ialah sesuatu yang rawan sehingga dapat menimbulkan rangsangan. Jika mengacu pada pengertian tersebut, maka bagian yang paling mendekati ialah kemaluan dan payudara.

Meski tidak dapat dipungkiri mungkin beberapa orang memiliki hasrat seksualnya sendiri. Dengan demikian, bagian tubuh yakni payudara dan kemaluan-lah yang paling urgent untuk ditutupi. Sementara untuk bagian yang lain bergantung pada individu beserta keadaan tubuh yang menyertainya.

Dampak Psikis

Jika aturan wajib berjilbab untuk melindungi atau menjaga perempuan dari bahaya, namun pada realitanya semua perempuan berisiko mengalami tindakan pelecehan seksual bahkan pemerkosaan. Sebab tindakan tersebut tidak hanya dialami oleh yang terbuka auratnya, bahkan yang berjilbab, sangat tertutup, juga yang  bercadar.

Dengan demikian ada yang perlu untuk ditinjau kembali. Gayatri, dalam blognya yang berjudul Apakah Mengenakan Hijab ialah Perintah Allah, mengemukakan bahwa aurat merupakan persoalan tentang bagaimana pengendalian hasrat diri sendiri, bukan berkaitan dengan pakaian yang digunakan.

Pengertian ini rasanya lebih tepat sebab ketika aurat dianggap sebagai sesuatu yang rawan saja sudah tertutup, namun tetap saja berisiko. Maka itu berarti tidak ada hubungan apapun dengan pakaian yang dikenakan.

Di lain sisi, pemakaian jilbab juga dapat memberikan dampak psikis bagi perempuan. Entah itu karena dibully sebab jilbab yang tak sesuai ajaran agama, bahkan dalam bentuk pujian fisik atau keimanan seperti dengan memanggil ukhti, menyatakan terlihat lebih cantik (bersinar).

Adanya stigmatisasi lebih bertaqwa, dan mendoakan ‘semoga istiqomah’. Sementara terkait dengan pemberian pujian artinya orang lain berekspektasi dengan yang bersangkutan berkaitan pada tambahnya keimanan.

Namun ketika yang bersangkutan justru kembali membuka jilbab, orang yang memuji sebelumnya menjadi kecewa dan tidak jarang malah menghujatnya. Padahal dalam agama Islam tidak ada aturan pasti terkait gaya atau ukuran jilbab yang sesuai.

Dampak Fisik

Selain secara psikis, perempuan juga memiliki risiko terdampak secara fisik dengan penggunaan jilbab. Yakni kekurangan vitamin D, dimana cahaya matahari yang seharusnya dibutuhkan oleh tubuh terhalang oleh pakaian dan jilbab yang digunakan.

Tidak hanya itu, ada juga beberapa penyakit lain yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau kesakitan jika menggunakan jilbab. Seperti congek, biduran, eksim kulit, autoimun, SLE atau lupus, kanker kulit dan mungkin penyakit kronis lainnya.

Penyakit-penyakit ini memungkinkan perempuan untuk membuka jilbab atau tidak mengenakan pakaian panjang yang tertutup dalam proses penyembuhannya. Begitu pun agar mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup.

Sebab itulah, aturan kewajiban berjilbab dengan dampak yang dialami perempuan terasa kurang manusiawi. Perlu dipahami memang bahwa tidak semua perempuan merasakan berbagai dampak tersebut, namun semua perempuan memiliki risiko yang sama.

Oleh karena itu, muncul istilah yang mungkin masih belum banyak diketahui, yaitu dejilbabisasi. Gayatri (2019) menyebutkan dejilbabisasi adalah upaya menghentikan dominasi kewajiban bagi perempuan. Agar berkerudung terus-menerus di ruang publik baik secara formal, informal maupun tekanan-tekanan dan anjuran-anjuran yang menggangu psikis.

Dejilbabisasi bertujuan agar perempuan memiliki kebebasan, hak untuk menentukan pilihannya, serta nyaman dalam beraktivitas dan mengamalkan ajaran agamanya. Dalam hal ini ketika perempuan menderita di antara penyakit fisik, tidak mengalami serangan psikis sebab dihujat karena melepas jilbabnya atau merasa terintimidasi karena dianggap menyalahi aturan agama.

Paling tidak, agar siapa pun dapat memaklumi ketika perempuan melepas jilbabnya. Sebab kita tidak pernah tahu dengan benar dan pasti apa yang telah dialami olehnya.

Menghargai Pengalaman Kemanusiaan

Dejilbabisasi bukan pula untuk melanggar perintah agama, sebagaimana diyakini banyak orang. Namun bukan berarti ketika itu adalah sebuah perintah, manusia berhak menjustifikasi perempuan baik dan buruk hanya karena jilbabnya.

Menghujat dan memarahi karena tidak berjilbab, ditambah dengan dalil hukuman sebagai ancaman agar menimbulkan ketakutan. Sebagai orang yang pernah mengalami biduran maupun congek, bagi saya tidak mengenakan jilbab jauh memberikan rasa nyaman, lebih-lebih ketika sedang kambuh.

Dejilbabisasi hanyalah merupakan upaya untuk menghargai pengalaman kemanusiaan perempuan. Menutup aurat memang sebuah kewajiban, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun yang lebih ditekankan adalah ketika beribadah (read: shalat) bukan?

Sementara dalam kehidupan sehari-hari, itu lebih merupakan sebuah ekspresi masing-masing individu. Menaati perintah Allah juga merupakan kewajiban. Namun melupakan sisi kemanusiaan orang lain adalah kejahatan. Humanity above religion, kemanusiaan berada di atas keagamaan.

 

 

Referensi

Shihab, M. Q. (2012). Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer (Vol. 1). Lentera Hati Group.

Gayatri Wedotami. (2018). “Apakah Mengenakan Hijab Ialah Perintah Allah?”,

Gayatri Wedotami. (2019). “27 Alasan Dejilbabisasi”

 

 

Shohibatul Husna

Mahasiswi dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *