Kontes Kecantikan Melanggengkan Standar Kecantikan Perempuan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Akhir-akhir ini media sosial tengah ramai membicarakan terkait dugaan pelecehan seksual terhadap para kontestan sebuah kontes kecantikan yakni Miss Universe Indonesia.
Di tengah gempuran pemberitaan tersebut, saya sempat merenung, sebenarnya apa tujuan kontes kecantikan diadakan.
Sebab sepanjang pengetahuan saya kontes ini seperti agenda tahunan yang wajib diselenggarakan oleh setiap negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, kontes kecantikan diselenggarakan dalam beberapa nama acara, seperti Puteri Indonesia, Miss Indonesia, Miss Mega Bintang Indonesia, Miss Earth, Miss Grand, Miss ECO hingga yang baru-baru ini menjadi kontroversial yaitu Miss Universe Indonesia 2023.
Asal Mula Kontes Kecantikan Ada
Dilansir dari Wikipedia.org, kontes kecantikan pertamakali diadakan di Spa, Belgia pada tahun 1888.
Kontes ini diberi nama ”Lone Star State selects Beauties for 100 Year.” Tujuan diselenggarakannya kontes ini ialah untuk meneruskan tradisi pemilihan ratu kecantikan yang sebelumnya telah ada.
Tahun 1854, Phineas Taylor Barnum mengadakan kontes kecantikan yang lebih modern di Amerika. Namun, karena ada protes publik kontes tersebut tidak diteruskan.
Barulah pada tahun 1921 kontes kecantikan yang diberi nama Miss Amarica ini kembali diadakan oleh seorang pebisnis lokal.
Tujuannya ialah untuk menarik turis datang ke Atlantic City, New Jersey.
Banyak pihak melakukan kritik terhadap kontes kecantikan yang diadakan diberbagai negara tersebut.
Sebab menurut mereka kontes ini semakin melanggengkan standar kecantikan yang dikontruksikan oleh masyarakat, yang tentu saja standar tersebut sangat toxic bagi perempuan.
Kontes kecantikan mendorong perempuan untuk selalu tampil “cantik”. Oleh karena itu tidak jarang ada para kontestan yang melakukan diet berat supaya tubuhnya tetap langsing.
Standar Kecantikan yang Dikontruksi Masyarakat itu Toxic
Aya Prita Belia dalam tulisannya di Magdalene.co menjelaskan bahwa pada 1968, sejumlah perempuan di Amerika Serikat juga ramai menolak adanya Miss America dan mengejeknya dengan “cattle auction” alias “Lelang Ternak”.
Protes tersebut salah satunya ditunjukkan dalam sebuah poster yang bertuliskan “parade ternak telah merendahkan manusia.”
Menurut Aya, Beauty pageant memang tidak berbeda dengan lelang ternak. Sebab semua kandidat ditimbang, diukur, diberi nomor, dinilai juri berdasarkan standar kecantikan yang telah dikontruksi oleh masyarakat.
Lalu setelah itu masyarakat diminta untuk memilih kandidat mana yang paling sesuai dengan standar kecantikan yang telah ditentukan.
Hal tersebut jelas-jelas menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rendah. Seolah-olah standar kesempuranaan perempuan ada pada wajah tirus, badan langsing, idung mancung, kulit putih dan standar kecantikan lainnya.
Di saping itu, Siti Aminah, aktivis perempuan LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), yang menganggap bahwa kontes kecantikan merupakan bentuk objektifikasi perempuan.
Sebab dalam kontes tersebut perempuan dituntut untuk memiliki tubuh yang tinggi, badan langsing, kulit putih dan yang lainnya.
Meskipun para peserta beauty contest mengatakan ‘ayo, (rangkul) perbedaan kecantikan”. Tetap saja standar kecantikannya ialah standar masyarakat.
Kalau enggak memenuhi standar kecantikan masyarakat, perempuan tetap saja dianggap tidak cantik dan tidak istimewa.
Menurut saya, hal-hal semacam ini yang membuat perempuan terus merasa insecure dan sulit menjadi dirinya sendiri.
Bahkan tidak sedikit juga perempuan yang merasa bahwa perempuan lain yang sebagai saingan.
Pada akhirnya standar kecantikan tersebut menjadi toxic dan bisa menimbulkan persaingan sesama perempuan.
Oleh karena itu, televisi seharusnya jangan lagi menanyangkan acara-acara kontes kecantikan seperti Miss Universe tersebut.
Mending ganti saja sama tayangan-tayangan yang lebih bermanfaat dan mendidik. Supaya masyarakatnya cerdas dan enggak mudah terpengaruh sama berita hoax. []