Tafsir Jalalain: Karya Dua Mufasir Agung dan Perbedaan Penafsirannya
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tafsir Jalalain ditulis oleh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Mahalli dan Abd al-Rahman bin Abu bakar bin Muhammad bin Sabiq al-Din al-Suyuti.
Jalaluddin al-Mahalli lahir di Mesir pada 791 H/1389 M, dan wafat pada 864 H bertepatan dengan 1455 M. Ia dianugerahi pemahaman dan kecerdasan yang luar biasa.
Oleh sebagian ulama dikatakan bahwa hati al-Mahalli mampu melubangi intan berlian. Ia juga menyatakan sendiri bahwa pemahamannya tidak pernah salah, namun dalam hal hafalan ia lemah.
Sedangkan Jalauddin al-Suyuthi lahir di Desa Suyut, Kairo, pada Malam Ahad setelah magrib pertengahan bulan Rajab 849 H bertepatan dengan 1445 M.
Riwayat lain dari Ibnu Iyas dan Isma’il Basya, al-Suyuthi lahir di Bulan Jumadil Akhir pada waktu dan tahun yang sama.
Sebutan al-khudhairi adalah nisbat kepada salah satu wilayah di Baghdad yang bernama Khudhairiyah.
Sedangkan Asyuth adalah nama suatu daerah yang makmur dan subur, terletak di dataran tinggi persis di sebelah Barat sungai Nil.
Selain Jalaluddin, ia punya laqab (nama panggilan) lain yaitu Ibn al-Kutub. Laqab itu diberikan oleh ayahnya sendiri, yaitu Syaikh al-Kamal Abu Bakar bin Muhaammad, seorang ulama besar yang berwawasan luas dan banyak membaca kitab.
Pada saat kelahirannya, ayah al-Suyuthi memerintahkan istrinya untuk meletakkan anaknya di antara kitab-kitab koleksi yang ada di rumahnya.
Seminggu kemudian, ia diberi nama Abd al-Rahman dan diberi laqab Jalaluddin. Adapun kunyah Abu al-Fadhl diberikan oleh gurunya yaitu Syaikh Izzuddin Ahmad bin Ibrahim al-Kannani.
Batasan Penafsiran dalam Tafsir Jalalain
Ada perbedaan pendapat mengenai batasan penafsiran ayat al-Qur’an antara dua ulama di atas dalam Tafsir Jalalain.
Menurut penulis kitab Kasyf al-Dzunun, awal surah al-Baqarah sampai surah al-Isra’ ditulis oleh Jalaluddin al-Mahalli.
Sedangkan surah-surah selanjutnya sampai surah al-Nas ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuthi dan melengkapinya dengan menafsirkan surah al-Fatihah.
Muhammad Husian adz-Zahabi yang didukung oleh Syaikh Sulaiman al-Jamal dalam mukaddimah kitab Hasyiyyah-nya menyatakan bahwa Jalaluddin al-Mahalli memulai penafsirannya dari surah al-Kahfi sampai surah al-Nas.
Selanjutnya ia mulai menulis tafsir surah al-Fatihah, namun karena keburu wafat, ia belum sempat menyelesaikan surah-surah selanjutnya.
Kemudian oleh Jalaluddin al-Suyuthi disempurnakan mulai dari surah al-Baqarah sampai surah al-Isra’ dan meletakkan tafsir surah al-Fatihah di akhir penafsiran gurunya.
Dengan beberapa bukti di antaranya pernyataan al-Suyuthi sendiri di akhir penafsiran surah al-Isra’,
“Inilah akhir penafsiranku, penyempurna dari tafsir yang ditulis oleh Syaikh Jalaluddin al-Mahalli”.
Bukti lain bisa dilihat di mukadimah kitab tafsir ini, sebelum memulai menafsirkan surah al-Baqarah, al-Suyuthi mengatakan,
“Apa yang saya tulis ini adalah bentuk respon saya terhadap para peminat tafsir untuk menyempurnakan penafsiran imam Jalaluddin al-Mahalli yang belum sempat ditulis oleh beliau (yaitu dari surah al-Baqarah sampai surah al-Isrā’).”
Jalaluddin al-Suyuthi mulai menulis tafsirnya (dari surat al Baqarah sampai surat al Kahfi) pada Hari Rabu pertengahan bulan Ramadlan 870 H dan selesai hari Ahad 10 Syawwal 870 H. Kemudian disalin dan diedit hingga selesai pada hari Rabu, 6 Shafar 871 H.
Metodologi Penafsiran Imam Jalauddin al-Suyuthi
Dalam mengoperasikan tafsirnya, al-Suyuthi mengikuti metodologi yang ditempuh oleh Jalaluddin al-Mahalli, yaitu ungkapan bahasanya yang sangat ringkas.
Selain itu juga berpedoman kepada pendapat yang paling akurat (shahih), menjelaskan i’rāb secukupnya dan menyajikan qira’at-qira’at yang masyhur.
Sehingga hampir tidak ditemukan perbedaan antara penafsiran antara kedua guru dan murid tersebut, kecuali di beberapa tempat saja sebagai berikut.
Pertama, Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” dalam surah Shad ayat 72 dengan jisim atau jasad halus, yang dengan masuknya jisim itu ke dalam diri manusia, ia bisa hidup.
Sedangkan Imam al-Suyuthi dalam surah al-Isra’ ayat 85 mengartikan kata ‘ruh’ dengan mengatakan,
“Ayat ini sudah memberikan kejelasan bahwa ruh adalah urusan Allah. Oleh karena itu, tidak memberikan definisi adalah lebih baik.”
Kedua, Imam al-Mahalli menafsirkan kata al-shabi’un dalam surah al-Haj ayat 17 dengan kelompok sempalan dari kaum Yahudi.
Sedang Imam al-Suyuthi dalam surah al-Baqarah ayat 62 menafsirkan kata al-shabi’un dengan kelompok dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Persamaan dari kedua penafsiran antara Jalaluddin al-Mahalli dengan al-Suyuthi adalah ungkapan bahasanya yang sangat ringkas sehingga oleh penulis kitab Kasy al-Zunun dari sebagian ulama’ Yaman dikatakan bahwa jumlah huruf-huruf al-Qur’an dan huruf-huruf dalam Tafsir Jalalain sebanding sampai pada surah al-Muzammil.
Adapun dari surah al-Mudassir sedikit lebih banyak dari jumlah huruf al-Qur’an, sehingga dengan demikian diperbolehkan bagi seseorang membawa Tafsir Jalalain tanpa harus bersuci dulu.
Meski tafsir ini sangat ringkas bahasanya, namun justru banyak dari kalangan ulama’ yang tertarik untuk memberikan Hasyiyah (catatan pinggir).
Di antaranya Hasyiyah dari Syaikh Syamsuddīn Muhammad bin al-‘Alqami dengan kitabnya yang berjudul Qabs al-Nirin yang selesai ditulis pada tahun 952, Hasyiyah dari Nuruddin ‘Ali bin Sulthan Muhammad (w. 1010 H) dengan kitabnya yang berjudul Jamalain, Hasyiyah dari Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Kurkhi yang berjudul Majma’ al-Bahrain wa-Mathla’ al-Badrain, Hasyiyah dari Syaikh Ahmad al-Shawi al-Maliki yang diberi nama Tafsir al-Shawi, dan lain-lain.