Historisitas Penulisan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia
Oleh: M. Dani Habibi*
HIDAYATUNA.COM – Pada awal turunnya, kandungan isi Al-Qur’an langsung dijelaskan oleh Rasulullah Saw. Jika para sahabat berselisih atau tidak mengerti tentang isi Al-Qur’an, mereka merujuk langsung kepada beliau nabi Muhammad saw. Setelah Nabi wafat, otoritas penafsir tafsir Al-Qur’an diwariskan kepada sahabat.
Secara metodologi, para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an berpijak pada tiga hal . Pertama, menelitinya dalam Al-Qur’an itu sendiri, sebab ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan. Kedua, merujuk kepada penafsiran Rasulullah Saw., sesuai dengan fungsinya sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an. Ketiga. Jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadist, para sahabat melakukan ijtihad.
Dalam catatan sejarah, upaya penafsiran Al-Qur’an di Indonesia telah muncul sejak akhir abad ke-16. Hal ini dapat kita lihat dari penemuan naskah tafsir surat al-Kahfi. Namun tidak diketahui siapa penulisnya. Ada dugaan naskah tersebut ditulis pada masa awal pemerintahan Iskandar Muda (1607-1663) atau bahkan sebelumnya yaitu pada pemerintahan Sultan ‘Ala’ al-Din Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1537-1604). Selain itu terdapat Tarjuman al-Mustafad karya ‘Abd alRa’uf al-Sinkili.
Dari analisis Gusmian dosen IAIN Surakarta, dari abad tersebut sampai pada akhir abad 20-an, Ulama-ulama Nusantara telah banyak menuliskan karya-karya tafsir dalam berbagai bahasa, baik berbahasa Melayu dan Jawi, Indonesia maupun Arab. Dalam perkembangannya, penulisan tafsir di Indonesia, sebagaimana yang ditrliti oleh Gusmian dapat memberikan informasi bahwa perkembangan pennafsiran Al-Qur’an mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Kemajuan tersebut dapat ditunjukkan dengan munculnya khususnya dalam dasawarsa 1990-an, karya-karya tafsir dalam model dan teknis penulisan yang kompleks, bahkan mengadopsi metode-metode interpretasi dari Barat seperti Hermeneutika sebagai upaya kontekstualisasi untuk menjadikan teks Al-Qur’an bernilai praksis. Untuk melihat secara lanjut kemajuan tersebut, maka akan dipaparkan penjelasan Gusmian mengenai perkembangan Tafsir Al-Qur’an yang dibagi kepada tiga periode diantaranya.
Pertama, Permulaan abad ke-20 hingga tahun 1960-an. Karya-karya tafsir pada periode ini masih ditulis dalam model dan teknik penulisan yang masih sederhana. Kedua, Tahun 1970-an hingga 1980-an. Pada periode ini literatur-literatur tafsir yang muncul tidak jauh berbeda. Hal ini dapat kita lihat pada model teknis penyajian dan objek tafsir. Namun ada perkembangan baru dalam periode ini yaitu muncul karya-karya yang berkonsentrasi pada ayat-ayat hukum. Model seperti ini dapat dilihat dari buku: Ayat-ayat Hukum. Dan ke Tiga Pada periode ini yaitu waktu sepuluh tahun dari tahun 1990 hingga tahun 2000, proses kreatif dalam penulisan tafsir terus terjadi.
Dalam periode sekarang ini muncul beragam tafsir dari intelektual Muslim Indonesia. Perkembangan menarik pada tahun ini adalah menjamurnya karya-karya tafsir yang bersifat tematik. Penafsiran tematik tersebut tidak hanya merujuk pada penafsiran-penafsiran terdahulu melainkan merujuk pada metode-metode asing. Selain itu, pada periode ini jugalah, Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab diterbitkan.
Secara umum, dari segi metode dan teknik penulisan, karyakarya tafsir pada periode ini tidak jauh berbeda dengan karya-karya yang muncul pada tahun 1990an. Jika dalam penyajiannya, Gusmian memaparkan secara acak karya-karya tafsir yang muncul pada periode tersebut, dalam hal ini, untuk melihat secara detail model penulisan tafsir pada era reformasi dan terhitung dari tahun 2000 sampai sekarang. Seperti karya tafsir al-Qur’an utuh 30 juz. Selain itu, penulis tidak merujuk kepada seluruh literatur tafsir yang terbit pada periode ini, namun hanya beberapa literatur yang dianggap representatif.
perkembangan tafsir pada era reformasi merupakan terusan dari perkembangan penafsiran atau interpretasi Al-Qur’an pada tahun 1990-an. Dari cara penulisan karya-karya yang muncul lebih banyak yang bersifat tematik mawdu’i. Dari sifat mufasir, terdapat penulisan kolektif bahkan lintas keilmuan. Selain itu, terdapat beberapa karya yang penulisnya tidak mempunyai kualifikasi sebagai mufasir.
Selanjutnya dari segi model penafsiran. Model penafsiran pada periode 1990 di satu sisi sangat progresif namun di sisi lain sangat mengkhawatirkan. Dari aspek progresifitas, karya-karya yang muncul pada periode ini merupakan upaya kontekstualisasi al-Qur’an terhadap maslaah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.
Dari segi penyajian, karya-karya yang ada membangun sebuah citra bahwa tafsir tidak hanya layak dikonsumsi oleh kaum elit saja, cendikiawan dan Ulama. Akan tetapi juga orang-orang awam boleh menyajikannya. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan bahasa yang sederhana seperti dalam tafsir Inspirasi dan tafsir Al-Qur’an per-kata. Selain itu, muncul tafsir ‘ilm yang sebelumnya belum pernah ada dalam sejarah perkembangan tafsir di Indonesia sampai tahun 1990-an.
Namun di sisi lain, muncul karya-karya yang bertentangan dengan kaidah-kaidah penafsiran yang sudah disepakati Ulama dengan menggunakan metode-metode asing, sehingga terdapat kesalahpahaman dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Refrensi
Gusmian, Islah. 2003. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi. Jakarta: Teraju.
———. “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Sejarah Dan Dinamika.” Nun : Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara 1, no. 1 (29 Desember 2015). https://doi.org/10.32459/nun.v1i1.8.
Zuhdi, Nurdin. 2014. “Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestansi Metodologi hingga Kontekstualisasi”. Kaukaba Dipantara : Yogyakarta.