Tafsir Isyari, Metode Para Sufi dalam Menafsirkan Kitab Suci
Oleh: Mawardi*
HIDAYATUNA.COM – Alquran merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam. Ia menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke-Islaman, tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.
Ilmu yang ada di dalam Alquran seperti lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan hilang di telan zaman. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan Alquran diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap Alquran mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam.
Pada masa Nabi, pemegang otoritas penafsiran Alquran adalah Nabi sendiri, segala persoalan yang muncul selalu dihadapkan kepada beliau dan diselesaikan pada saat itu juga. Setelah beliau wafat, otoritas itu beralih kepada sahabat, tabi‟in, kemudian tabi‟ al-tabi‟in dan generasi sesudahnya yang tentunya memenuhi prasyarat sebagai mufasir[1].
Semakin lama, muncul dan berkembang beberapa metode penafsiran Alquran. Metode-metode ini dikembangkan, tentu saja dengan maksud untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul di kalangan umat muslimin. Perkembangan tersebut, tidak terlepas dari perbedaan kecenderungan, motivasi mufasir sendiri, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan sosiokultural.
Salah satu corak penafsiran Alquran yang turut berkembang adalah Tafsir bil Isyari atau Tafsir Isyari. Tafsir Isyari adalah metode menafsirkan Alquran dengan makna di balik makna dhahirnya, karena ada isyarat tersembunyi yang nampak bagi sebagian ahli tasawwuf (kaum sufi). Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang dhahir dan batin.
Yang dhahir adalah yang mudah dipahami oleh akal pikiran, sedangkan yang batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi di balik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud. Dalam menafsirkan Alquran, mereka berpedoman pada hadits Nabi Muhammad SAW:
رَوَاه ُابنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ: “(القُرْآنُ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعِ أَحْرُفٍ، مَا مِنْهَا حَرْفٌ إِلَّا وَلَهُ ظَهْرٌ وَ بَطْنٌ)”
“Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda: “(Alquran diturunkan tujuh huruf, setiap ayatnya memiliki makna zhahir dan makna batin)[2].
Untuk memperoleh tafsiran ini dibutuhkan latihan kerohanian sehingga mencapai pada suatu tingkatan dimana akan terungkap pada dirinya berbagai isyarat suci dibalik tabir berbagai makna ayat Alquran yang hakiki. Dalam pandangan kaum sufi Alquran adalah Kalam Allah yang pengertian hakikinya hanya Allah saja yang mengetahui, dan makna ini hanya akan diberikan oleh Allah kepada wali-Nya melalui kasyaf. Seorang ahli sufi bernama Sahl bin Abdullah al-Tusturi,( 283 H) mengatakan bahwa tidak ada seorang wali pun yang tidak dikarunia Allah pengetahuan tentang isyarat-isyarat terhadap makna hakikat Alquran[3].
Ibn Taimiyah dalam hal ini, menganggap kaum sufi yang melakukan penafsiran Alquran sebagai orang-orang yang keliru yakni mereka menafsirkan Alquran dengan pengertian-pengertian yang benar, namun Alquran tidak menunjukkan hal tersebut[4]. Ibn Shalah bersikap tegas menolak tafsir sufistik dengan alasan bahwa tafsir sufistik hanyalah asumtif (dzan) yang berupaya membanding-bandingkan makna Alquran. Maka siapa menganggap kitab karangan al-Sulami (Haqaiq al-Tafsir) adalah kitab tafsir, sungguh ia kafir. Namun al-Suyuthi menukil dari Ibn Ata‟illah dengan mengatakan bahwa tafsir yang dilakukan oleh sufi terhadap Alquran tidaklah mengubah makna zahir Alquran[5].
Kitab tafsir isyary yang pertama muncul adalah tafsir at-Tustari (200-283 H). Para sufi di periode awal belum tertarik untuk menafsirkan Alquran secara lengkap. Melainkan hanya menafsirkan sebagian ayat-ayat yang memiliki hubungan dengan ajaran tasawwuf yang mereka amalkan.
Tafsiran jenis ini memiliki dua aliran, yaitu:
Tafsir Teoritis (Tasawuf Nadzary)
Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji Alquran berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka berusaha maksimal untuk menemukan ayat-ayat Alquran tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori mereka, sehingga tampak berlebihan dan keluar dari dhahir yang dimaksudkan syara’ dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran demikian ditolak dan sangat sedikit jumlahnya. Selain itu, penafsiran dalam aliran ini terkadang telah diwarnai oleh filsafat. Menurut Manna‟ Al-Qattan Penafsiran seperti ini dan yang serupa berusaha membawa nash-nash ayat kepada arti yang tidak sejalan dengan arti lahirnya, dan tenggelam dalam takwil yang batil yang jauh serta menyeret kepada kesesatan[6]
Sangat sedikit karya yang lahir dari aliran ini. Dikarenakan penafsiran model ini sangatlah kontrofersial penerimaannya dikalangan masyarakat. Sehingga sangat sulit berkembang. Diantara tokoh yang terkenal dalam aliran tafsir ini adalah Ibnu Arabi yang dipandang sebagai tokoh besar tasawuf falsafi dan termasuk tokoh mazhab Wahdah al-Wujud. Ibnu Arabi menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan metodologi tafsir falsafinya, baik dalam kitab tafsirnya al-Futuhat al-Makiyyah atau dalam kitab-kitab yang lain, seperti kitab al-Fushush al-Hikam. Diantara ayat yang ditafsirkan Ibnu Araby adalah Surat al-Baqarah ayat 28:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِٱللَّهِ وَكُنتُمْ أَمْوَٰتًا فَأَحْيَٰكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Makna ayat ini secara dhahir adalah : “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkannya kembali, kemudian ke padanya kamu dikembalikan”. Dalam penafsirannya Ibnu Arabi menyebutkan “apa yang menyebabkan kamu terhalang untuk mempercayai Allah, padahal keadaanmu semula dalam keadaan mati yakni masih berbentuk sperma yang terdapat dalam tulang sulbi bapak-bapakmu, kemudian setelah itu kamu dihidupkan. Jadi untuk apa menolak dalil dengan kejadianmu atas penciptanya. Kemudian kamu dimatikan yakni mati sebagaimana yang kita ketahui atas diri manusia, kemudian dihidupkan kembali yakni dibangkitkan dari alam kubur. Oleh karena itu, yang pertama bisa diketahui dengan pengetahuan yang lahir (yang bisa disaksikan) dan yang kedua dengan dalil atas keadaan yang pertama. Kemudian ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُون)) adalah dimaksudkan untuk pembalasan-pembalasan. Masing-masing kamu dimatikan dengan kematian yang dikehendaki (Iradhi) yaitu lenyap menjadi satu. Kemudian dihidupkan dengan kehidupan hakiki, yakni kehidupan kekal setelah lenyap (hidup yang memperoleh keadilan yang haq dari Allah). Dan kembali kepadanya untuk berkumpul dalam satu sifat maupun dalam satu dzat[7]. Pada tafsiran ayat ini terlihat jelas bahwa penafsiran Ibnu Araby dipengaruhi teori wahatul wujud nya.
Tafsir Praktis al-Sufi al-Isyari.
Menurut al-Zahabi, ia adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan maknanya yang dhahir berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi[8]. Tafsir model ini dinisbatkan kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika menafsirkan al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang berupa instuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi makna ayat-ayat al-Quran.
Diantara karya-karya yang termasuk golongan metode tafsir seperti ini adalah:
- Tafsir Alquran al-‘Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustary. Dikenal dengan Tafsir al-Tustasry.
- Haqaiq al-Tafsir, karya Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir al-Silmy.
- Al-Kasyf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir al-Naisabury.
- Ruh al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir al-Alusiy.
- ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran, Karya Imam Al-Syirazy.
Contoh ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran jenis ini seperti Surat al-Baqarah ayat 22:
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Makna dhahirnya adalah “…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui.” Adapun menurut mufssir sufi maksud kalimat “andaadaa” pada ayat tersebut adalah nafsu amarah. Jadi, maksudnya adalah bukan hanya patung-patung, setan, tetapi nafsu amarah juga sering dijadikan manusia sebagai Tuhannya, sehingga ia terkadang lebih cenderung mengikuti nafsu amarahnya dibanding Tuhannya. Dengan kata lain, ayat ini memiliki makna agar manusia jangan sampai diperbudak oleh nafsu amarahnya.
Juga dalam surat yang sama ayat 67:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً
Yang mempunyai makna dhahir adalah “…Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “…Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
[1] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 78.
[2]Ibnu Hibban Al-Basty, Shahih Ibnu Hibban, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1987), hal. 32.
[3] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Syuyuti, Al- Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al- Fikr) , hal 175
[4] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, ditahqiq Adnan Zurzur (Cet. I; Kuwait: Dar al-Qur‟an al-Karim, 1971 M), hal. 92-93.
[5] Mahmud Basyuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Quran-Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Terj.
Mochtar zurni dan Abd. Qdir Hamid (Bandung: Pustaka Bandung, 1987), hal. 253.
[6] Manna‟ al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, 445.
[7] Muhyiddin Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi, Vol. 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2011), hal. 44.
[8] Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005), hal. 308