Syaikh Ibnu Taymiyah Pasca Pertobatannya Sebagai Asy’ari

 Syaikh Ibnu Taymiyah Pasca Pertobatannya Sebagai Asy’ari

Bagaimana Memahami dan Menggunakan Sebuah Dalil? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Syaikh an-Nuwairi (677-733 H) dalam kitabnya yang berjudul Nihayatul Arab Fi Funun al-Adab dan Syaikh Ibnu al-Mu’allim dalam Najm al-Muhtadi (660-725 H), tercatat bahwa Syaikh Ibnu Taymiyah (661-728) pernah menyatakan bertobat dari akidah sesatnya dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang Asy’ari.

Kesaksian dua tokoh yang semasa dengan Syaikh Ibnu Taymiyah tersebut tampak dipercaya oleh Imam al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani hingga ia mendokumentasikan kisah pertobatan tersebut dalam kitabnya yang berjudul ad-Durar al-Kaminah yang masyhur itu.

Tercatat bahwa setelah pernyataan tobat tersebut, keributan yang disebabkan fatwa sesat beliau sempat mereda.

Beberapa Taymiyun tidak mempercayai peristiwa pertobatan ini tetapi hanya berdasarkan suu’dhan terhadap para penulis sejarah tersebut dan fanatisme terhadap Syaikh Ibnu Taymiyah.

Penyangkalan semacam ini tidak berarti apa-apa secara ilmiah.

Masalahnya, pertobatan yang terjadi di depan para hakim dari perwakilan ulama antar mazhab Ahlussunnah tersebut terjadi pada tahun 709 H sedangkan Ibnu Taimiyah wafat pada tahun 728 H.

Jadi, antara kejadian tobat dan wafatnya ada selisih waktu 21 tahun.

Dari sini muncul pertanyaan, apakah pasca pertobatan Ibnu Taymiyah betul-betul berubah hingga wafat dalam akidah yang benar sebagai Asy’ari ataukah meneruskan pemikiran sesatnya?

Jawaban atas pertanyaan ini ditulis oleh Syaikh Shafiuddin al-Hindi (644-715 H) yang berkata sebagai berikut:

وصورة استثابته منقولة من خط يده، وهي مسجلة في كتاب نجم المهندي لابن المعلم القرشي (ص ٦٣٠-٦٣١ مخطوط) وعليها توقيع كبار العلماء مثل قاضي القضاة بدر الدين بن جماعة والإمام أحمد بن الرفعة صاحب المطلب العالي في شرح وسيط الغزالي في أربعين مجلدا، إلا أنه لم تمض مدة على ذلك حتى نقض ابن تيمية عهوده ومواثيقه كما هو عادة أئمة الضلال ورجع إلى عادته القديمة في الإضلال

Artinya:

“Bentuk teks tuntutan pertobatan terhadap Ibnu Taymiyah dinukil dari tulisan tangannya sendiri.”

Teks tersebut direkam dalam kitab Najm al-Muhtadi karya Ibnu al-Mu’allim al-Qurasyi (manuskrip halaman 630-631) yang ditandatangani oleh para ulama kibar seperti Qadhi Badruddin ibnu Jama’ah dan Imam Ibnu Rif’ah penulis al-Mathlab al-Ali Fi Syarh al-Ghazali setebal 40 jilid.

Hanya saja tidak berlangsung lama setelah itu Ibnu Taymiyah melanggar kesepakatan dan janjinya, seperti halnya kebiasaan para imam kesesatan, dan dia kembali ke kebiasaannya yang dulu dalam menyesatkan umat.” (Shafiuddin al-Urmawi al-Hindi, Ar-Risalah at-Tis’iniyah Fi Ushul Ad-Diyanah, ed. Abd an-Nashir Al-Malibari [Kairo: Dar al-Basha’ir, 2009], 40.)

Dari keterangan Syaikh Shafiuddin al-Hindi yang juga semasa dengan Syaikh Ibnu Taymiyah tersebut, kita mendapatkan jawaban pasti bagaimana keadaan Ibnu Taymiyah pasca bertobat, yaitu ia kembali mengajarkan akidah sesatnya hingga wafat 21 tahun berikutnya.

Dengan ini sangat wajar apabila para muridnya semisal adz-Dzahabi, Ibnu Katsir dan lain-lain tidak satu pun yang mencatat pertobatan gurunya sebab yang mereka tahu memang guru mereka tidak pernah meralat ajarannya dan selalu konsisten memusuhi Ahlussunnah wal Jama’ah al-Asy’ariyah.

Akhirnya para Taymiyun hingga masa kini tidak ada yang percaya bahwa Ibnu Taymiyah pernah bertobat sebab murid-murid langsungnya tidak ada yang mencatatnya.

Dengan ini puzzle soal pertobatan itu terjawab seluruhnya dan tidak diperlukan lagi berbagai prasangka. Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *