Siti Baroroh Baried: Profesor Perempuan Pertama di Indonesia

 Siti Baroroh Baried: Profesor Perempuan Pertama di Indonesia

Kisah Fathimah An-Nisabburiya, Sufi Perempuan dari Persia Mencari Jodoh (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Nama Siti Baroroh Baried pertama kali saya jumpai ketika berkunjung di Diorama Arsip Yogyakarta yang terletak di belakang Perpustakaan Grahatama Pustaka.

Sosoknya memang sangat tidak familiar dalam pengetahuan saya utamanya tentang perjuangan perempuan.

Namun ketika melihat poster dan nama yang terpampang bahwa ia adalah professor perempuan pertama, saya semakin penasaran dengan sosoknya.

Perempuan ini adalah manusia luar biasa. Pikir saya ketika pertama kali mengetahui sosok itu.

Kenyataannya memang benar. Ia adalah perempuan luar biasa yang memiliki jasa besar sekaligus membanggakan kaum perempuan di Indonesia dan bisa dikatakan sebagai peletak sejarah peradaban.

Bagi saya, belum dikatakan aktivis perempuan jika belum mengetahui sosok Siti Baroroh.

Sebab dengan melihat pengalaman, pengetahuan, dan gerakan yang dilakukan selama hidupnya, banyak hal yang ditorehkan untuk dijadikan sebagai landasan hidup dan landasan gerakan perempuan masa kini.

Di zaman yang belum banyak kesempatan perempuan untuk menempuh pendidikan, bahkan harus melakukan dobrakan yang besar agar perempuan bisa berpendidikan, justru Siti Baroroh melampaui dari segala realitas yang dimiliki oleh perempuan Indonesia.

Prof. Hj. Siti Baroroh Baried sosok akademisi yang juga aktif berorganisasi untuk menebar kebemanfaatan bagi masyarakat luar.

Lahir di Kauman, Yogyakarta pada 23 Mei 1923, ia merupakan kerabat dengan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan.

Menariknya, sejak muda ia memiliki semboyan, “Hidup saya harus menuntut ilmu.”

Benar saja, ia menempuh pendidikan cukup tekun dalam kehidupannya.

Hal itu dibuktikan ketika usia 39 tahun, tepatnya 27 Oktober 1964 diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Sastra UGM sekaligus menjadi guru besar perempuan pertama.

Siti Baroroh adalah perempuan penggerak. Mengapa disebut demikian?

Hal itu karena ia aktif di berbagai organisasi seperti MUI Pusat dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Selain itu, ia memiliki andil besar dalam perkembangan ‘Aisyiyah.

Sebab ia merupakan ketua umum yang menjabat selama 5 periode dimulai tahun 1965 hingga 1981.

Kontribusinya terhadap ‘Aisyiyah juga dengan cara memperkenalkan organisasi badan otonom Muhammadiyah ke berbagai mancanegara seperti Unicef, UNESCO, WHO, The Asia Foundation, World Conference of Religion and Peace, UNFPA, UNDP, dll.

Aktivis Perempuan yang Memperjuangkan Pendidikan bagi Perempuan

Para perempuan yang berhasil mendobrak budaya, bagi saya memiliki empati yang besar untuk merubah kaumnya yakni sesama perempuan.

Jika Kartini menjadi simbol emansipasi perempuan melalui kontribusi dan kepeduliannya terhadap perempuan, hal itu juga terdapat dalam diri Siti Baroroh.

Tidak jauh berbeda dengan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap perempuan, hal itu juga dimiliki oleh Siti Baroroh.

Pada saat memimpin ‘Aisyiyah, ia selalu bersuara lantang untuk memberikan kesempatan bagi perempuan menempuh pendidikan.

Hal ini karena, pendidikan akan meningkatkan harkat dan martabat.

Tidak heran, hingga saat ini sudah ada 4.500 amal usaha yang dikelola oleh ‘Aisyiyah di mana pada mulanya merupakan bentuk kepeduliannnya yang tinggi kepada pendidikan perempuan sejak usia dini, hingga sekolah tinggi.

Bagi Siti Baroroh, melalui lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh ‘Aisyiyah, aka nada banyak perempuan-perempuan yang memperoleh pendidikan setara agar bisa memanfaatkan keilmuan yang dimiliki untuk masyarakat.

Tidak hanya itu, ia juga kerapkali menyuarakan tentang kehadiran perempuan yang berkarir dalam ranah publik.

Baginya, tidak ada yang perlu diperdebatkan ketika perempuan berkarir dalam ranah publik.

Yang menarik dari sosok Siti Baroroh adalah, ia tidak hanya menyuarakan pendidikan yang setara bagi perempuan.

Akan tetapi juga memberikan peringatan kepada para perempuan untuk tetap mempertahankan kodrat perempuan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Sosoknya tidak hanya sebagai aktivis perempuan yang berpengetahuan luas dan berpikiran visioner terhadap masa depan perempuan, tidak meninggalkan nilai-nilai keislaman yang melekat dalam dirinya.

Inilah sebuah potret perempuan yang memiliki pengetahuan luas baik pengetahuan umum dan pengetahuan agama.

Siti Baroroh adalah potret perempuan yang berdaya dan berdikari. Jiwanya sebagai aktivis ‘Aisyiyah hingga akhir wafat pada umur 74 tahun, di mana pada waktu itu masih menjabat sebagai pensihat ‘Aisyiyah. []

Muallifah

Mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada, Penulis lepas

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *