“Shabi-in” dalam Surat al-Baqarah 62 dan al-Maidah 69
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Banyak kalangan menyebutnya Majusi –penyembah api; dulu kaum ini banyak di Persia. Riwayat bahwa tatkala Kanjeng Nabi Saw lahir, api sesembahan di istana Kisra padam (yang selama ini tak kenal padam) merupakan bagian dari keterangan terhadap kaum penyembah api ini.
Berbagai kitab tafsir yang saya cek memberikan sejumlah perbedaan ketarangan: ada yang menyebutnya penyembah malaikat, penyembah bintang, hingga penyembah segala aliran kepercayaan (sebutlah animisme dan paganisme).
Akan tetapi, ada satu keterangan yang buatku sangat mantap, yakni shabi-in. Ini meliputi siapa pun yang menganut dan meyakini agama/keyakinan apa pun di luar agama lain yang telah masyhur (seperti agama Yahudi dan Nashrani), serta agama/keyakinan lokal setempat.
Maka, ketika Alquran lalu menyebutkan kalimat “man amana biLlahi wal yaumil akhir wa ‘amila shalihan”. Setelah “hadu wan nashara was shabi-in” (al-Baqarah) dan shabi-in dulu lalu nashara (al-Maidah), itu mengandung pemahaman. Bahwa kaum shabi-in yang dimaksud bukanlah kaum Majusi dan sebagainya.
Akan tetapi kaum apa pun di luar penganut agama Yahudi dan Nashrani yang keluar dari keyakinan lamanya. Lalu memeluk agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw sebagai khatimul anbiya’ yang dibekali “al-yauma akmaltu lakum dinakum….”
Dengan sendirinya menjadi tergolong ke dalam maksud kalimat di atas. Lalu yang tidak begitu, tidak termasuk dalam maksud shabi-in dalam ayat tersebut, tegese tetap dalam kemusyrikannya.
Hikayat Berislamnya Abu Dzar
Kedua, dalam sirah tentang Abu Dzar al-Ghifari saat memeluk Islam. Tatkala beliau tiga kali keliling Ka’bah sembari berteriak-teriak mengumumkan keislamannya hingga digebuk sampai nyaris mati oleh kaum musyrik Quraisy.
Tiga kali pula diselamatkan oleh Abbas bin Abdul Muthallib, orang-orang Quraisy menyebut-nyebut Abu Dzar sebagai “shabi’….shabi’….shabi’….” Maksudnya adalah orang tersebut (Abu Dzar) dituding “orang yang keluar dari keyakinan lamanya” dan memeluk Islam.
Pemeluk Islam pada masa awal itu disebut shabi’in oleh orang-orang Quraisy dikarenakan mereka keluar dari agama lamanya dan menganut agama baru. Tentu saja, hikayat berislamnya Abu Dzar inilah yang sahih dijadikan potret bagi maksud “shabi-in man amana biLlahi wal yaumil akhir wa ‘amila shalihan” sebagaimana dimaksud dua ayat di atas.
Jadi, teranglah bahwa shabi-in dimaksud bukanlah para penganut sesembahan-sesembahan apa pun. Macam api ala Majusi Kisra, sebagai kaum yang mendapat ridha Allah Ta’ala sebagaimana umat Alquran. Tetapi, mereka yang meninggalkan agama lamanya lalu memeluk Islam.
Sahabat Salman al-Farisi menjadi contoh pula pada maksud shabi-in ini. Ayat tersebut pun memang turun berkaitan dengan pertanyaan Salman kepada Kanjeng Nabi Saw perihal nasib orang-orang di kampung halamannya.
Begitupun Yahudi dan Nashrani yang dimaksud dalam ayat tersebut, keduanya memiliki keterangan-keterangan khususnya. WaLlahu a’lam bish shawab.