Pribumisasi Islam: Mempertahankan Kearifan Lokal, Menangkis Gerakan Radikal
HIDAYATUNA.COM – Kemunculan eksistensi gerakan radikal Islam di wilayah Asia Tenggara teridentifikasi pada tahun 2000. Contoh dari gerakan radikal Islam tersebut yakni Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) dan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan.
Di Indonesia sendiri juga terdapat beberapa gerakan radikal Islam, misalnya Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKASWJ). Kemudian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jemaah Islamiyah (JI). Kelompok yang disebut terakhir―yakni JI―sering terlibat dalam beberapa aksi teror yang tak jarang memakan korban jiwa.
Jumlah aksi teror dalam bentuk pemboman yang dilancarkan oleh JI antara tahun 1999 hingga 2005 adalah 15 kali. Mereka melancarkan aksinya tersebut di berbagai wilayah, mulai dari Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, hingga Sulawesi Utara.
Jumlah korban dari seluruh aksi teror tersebut tercatat lebih dari 300 jiwa. Sasaran mereka biasanya orang nonmuslim (dalam hal ini yang paling banyak menjadi korban adalah orang Kristen). JI dan kelompok radikal Islam lain sering kali menyebut mereka dengan ‘musuh-musuh Islam’.
Para kelompok Islam radikal tersebut justru menolak bila disebut sebagai golongan radikal atau fundamentalis. Mereka sering menyebut diri mereka sebagai mujahidin, komunitas Islam, pengikut tradisi kenabian, atau pembela Islam.
Kelompok ini berpandangan bahwa pembedaan antara Islam radikal dengan Islam moderat adalah satu hal yang tidak logis. Sebab, hal tersebut justru memberi kesan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang terpecah-pecah, bukan ajaran yang utuh.
Pembedaan yang logis dan sah menurut mereka adalah antara muslim dengan nonmuslim. Tak jarang mereka menyebut diri mereka sebagai representasi ajran Islam yang benar dan autentik.
Kekerasan Tidak Dibenarkan dalam Islam
Masalahnya adalah kekerasan yang digunakan oleh kelompok Islam radikal tetap tidak bisa dibenarkan begitu saja. Agama (termasuk Islam) tidak mengajarkan kekerasan pada umatnya. Justru yang seringkali terjadi adalah agama dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap pihak lain.
Salah satu hal yang bisa dijadikan peredam kekerasan atas nama agama adalah kearifan lokal. Ada 5 alasan mengapa eksistensi kearifan lokal begitu penting, di antaranya sebagai berikut:
1. Kearifan lokal merupakan identitas suatu kelompok masyarakat. Identitas tersebut bisa digunakan untuk mengonstruksi citra diri (kelompok masyarakat) yang cinta damai ke hadapan publik.
2. Kearifan lokal mampu melunturkan eksklusivitas beberapa kelompok, di sisi lain ia juga bisa membangun inklusivitas.
3. Kearifan lokal―dalam perannya sebagai resolusi konflik―cenderung mengajak semua pihak untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu persoalan dengan memanfaatkan kedekatan emosional.
4. Kearifan lokal dapat mendorong terbangunnya kebersamaan dan sikap saling mengapresiasi. Hal tersebut dapat mencegah segala kemungkinan yang bisa meruntuhkan solidaritas.
5. Kearifan lokal mampu merekatkan kembali hubungan di masyarakat yang telah tereduksi oleh kontestasi kepentingan politik maupun ekonomi.
Sayangnya, eksistensi kearifan lokal kini perlahan mulai hilang karena tergerus oleh modernisasi zaman.
Solusi ‘Pribumisasi Islam’
‘Pribumisasi Islam’ adalah satu hal yang dapat dijadikan solusi dari persoalan tersebut. Gagasan itu dicetuskan oleh Gus Dur sekitar tahun 1980-an. Pribumisasi Islam berupaya untuk mengakomodasi ajaran Islam yang bersumber dari Allah SWT. ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa menghapus identitas masing-masing.
Melalui pribumisasi Islam, agama dan budaya tidak saling mengalahkan. Ia justru mempertemukan jembatan antara agama dan budaya. Islam pribumi―sebagai produk dari pribumisasi Islam―menawarkan 3 hal, yaitu:
1. Islam pribumi memiliki sifat kontekstual, maksudnya adalah ia memiliki koneksi dan keterikatan dengan konteks tempat dan zaman.
2. Islam pribumi memiliki sifat progresif. Ia bukan menganggap kemajuan zaman sebagai ancaman akan datangnya penyimpangan ajaran dasar agama (Islam). Baginya, kemajuan zaman adalah penyulut untuk melakukan respons secara kreatif.
3. Islam pribumi berupaya untuk mengenalkan Islam sebagai ajaran yang mampu menjawab beragam problematika kemanusiaan secara universal (tanpa memandang perbedaan agama maupun etnik).
Gus Dur mengungkapkan bahwa beliau bukanlah orang yang pertama mencetuskan gagasan ‘pribumisasi Islam’. Pribumisasi Islam telah ada sejak masa Wali Songo.
Bahkan saat itu ‘pribumisasi Islam’ bukan sekadar berbentuk gagasan, melaikan strategi Islamisasi. Lantaran pribumisasi Islam, Wali Songo nyatanya berhasil mengislamkan tanah Jawa tanpa harus bersitegang dan bertarung dengan budaya setempat.
Dari sisi berbusana, Wali Songo tidak memaksa masyarakat setempat untuk berpakaian layaknya orang Arab. Wali Songo tetap memperbolehkan pakaian adat, asalkan memenuhi syarat menutup aurat.
Hal ini membuat Islam dapat akrab dengan lingkungan setempat, di sisi lain strategi tersebut tak menutup peluang industri pakaian adat untuk berkembang. Dengan demikian, para pelaku industri pakaian adat tersebut tidak merasa terganggu dengan kehadiran Islam.
Pada masa Wali Songo, Islam begitu kental dengan warna lokal. Hal tersebut membuat Islam di setiap daerah dapat menunjukkan keislamannya secara khas dengan corak adat masing-masing.
Sumber Rujukan :
Fitriah, Ainul. “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pribumisasi Islam”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, vol. 13, no. 1. Juni 2013.
Hiariej, Eric. “Aksi dan Identitas Kolektif Gerakan Islam Radikal di Indonesia”, JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 14, no. 2. November 2010.
Jati, Wasisto Raharjo. “Kearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan”, Walisongo, vol. 21, no. 2. November 2013.