Pengertian Takhalli, Tahalli, Tajalli dalam Ilmu Tasawuf
HIDAYATUNA.COM – Sejak mengenal dunia tasawuf melalui muqarrar (diktat) kuliah di Jami’ah (Universitas) al-Azhar, mengikuti majelis Syekh Muhammad Muhanna di Jami’ (Masjid) al-Azhar, menghadiri majelis ilmu di Mudhyafah Syekh al-‘Adawi, mendengar muhadharah Syekh Musthafa al-Buhyawi di YouTube, membaca kitab-kitab tasawuf secara mandiri, saya berkesimpulan bahwa inti dari tasawuf itu terangkum dalam tiga kata saja ; takhalli, tahalli dan tajalli.
Takhalli ; mengosongkan diri dari segala sifat yang kotor dan tercela.
Tahalli ; menghiasi diri dengan segala sifat yang mulia dan terpuji.
Tajalli ; jiwa yang dikaruniakan nur (cahaya) sebagai hasil dari takhalli dan tahalli.
Secara lebih sederhana, kajian tasawuf sebenarnya berpusat pada dua hal saja ; tazkiyah dan tarqiyah. Tazkiyah artinya menyucikan jiwa dari segala yang mengotori. Tarqiyah artinya meningkatkan maqam ubudiyyah di sisi Rabbul ‘Izzah.
Oleh karena itulah, pembahasan tasawuf yang tidak membawa kepada penyucian jiwa dan peningkatan level sesungguhnya bukanlah pembahasan yang pokok dan mendasar. Ia hanya sebagai pelengkap atau bahkan kulit-kulitnya saja. Seperti pembahasan tentang al-ghauts, al-watad, al-quthb, berapa jumlah mereka, siapa sajakah mereka, dan sebagainya. Atau tentang kepatuhan kepada seorang mursyid dan murabbi yang terkadang menyamai atau bahkan mengalahkan kepatuhan kepada Nabi. Atau tentang wirid-wirid tertentu yang tak jarang diwajibkan kepada murid sehingga mengalahkan wirid tilawah kalam Rabbul ‘Alamin.
Oleh karena alasan itu juga, ketika beberapa sahabat meminta saya untuk merespon diskusi tentang suatu kelompok yang menisbahkan diri atau dinisbahkan kepada tasawuf, saya enggan. Di samping memang tidak mengikuti alurnya dari awal sehingga tidak mengerti apa dan bagaimana masalahnya, saya menilai bahwa kajian tasawuf itu untuk diamalkan, bukan untuk diperdebatkan. Imam asy-Syathibi menegaskan :
كل مسألة لا ينبني عليها عمل فالخوض فيها خوض فيما لم يدل على استحسانه دليل شرعي
“Setiap masalah yang tidak berdampak kepada amal maka mendiskusikannya adalah sesuatu yang tidak dipandang baik oleh syari’at.”
Ruh Tasawuf
Perbincangan seputar tasawuf akhir-akhir ini mulai menjauh dari ruh tasawuf yang ditanamkan dan dikobarkan oleh para ruwwad-nya. Mereka berfokus pada penyucian batin, sementara sebagian kita berfokus pada perbaikan zhahir.
Mereka berlomba-lomba mencapai maqam tertinggi di sisi Allah SWT. Sementara sebagian kita berlomba-lomba mendapatkan tempat di hati manusia.
Sebuah ungkapan yang sangat populer di kalangan Shufiyyah bisa menggambarkan bagaimana semangat mereka untuk menggapai maqam tertinggi di sisi Allah SWT. dan tidak berpuas diri dengan maqam yang sudah diraih :
حسنات الأبرار سيئات المقربين
“Kebaikan kalangan abrar adalah keburukan kalangan muqarrabin.”
Kalimat ini tak jarang disalahpahami, bahkan oleh sebagian ulama. Tapi di kalangan Shufi kalimat ini sudah menjadi sesuatu yang musallam (diterima secara luas) dan memiliki dasar dari Alquran dan Sunnah.
al-‘Arif Bisa Bersalah dan Dihukum
Imam Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad -qaddasallahu sirrah- dalam kitabnya an-Nafais al-‘Ulwiyyah menjelaskan bahwa al-‘Arif itu adalah orang yang beriman kepada Allah dengan penuh keyakinan, tahu apa yang diwajibkan Allah lalu ia patuh dan apa yang diharamkan Allah lalu ia menjauh, memperbanyak amal-amal nafilah yang mendekatkan dirinya kepada Allah sedekat-dekatnya, lalu nur as-sa’adah menyinari jiwanya, yang ghaib baginya seperti nyata, ia ditunjuki Allah dan diberikan pembeda antara hak dan batil serta diajarkan padanya ilmu dari sisi-Nya.
Meskipun sudah sampai di tahap ini, seorang al-‘Arif tetap memiliki kemungkinan bersalah dan mendapatkan hukuman (‘iqab), baik dalam pandangan syariat maupun pandangan akal. Karena tujuan seorang al-‘arif adalah menjadi wali (kekasih) Allah, dan tujuan seorang wali adalah menjadi hamba yang mahfuzh (dijaga).
(Sebagai catatan: mahfuzh berbeda dengan ma’shum. Ma’shum hanya berlaku untuk Nabi dan Rasul. Sementara untuk wali adalah mahfuhz).
Para Nabi dan Rasul juga di-muakhadzah oleh Allah atas ‘kesalahan’ dan ‘kekeliruan’ mereka, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Adam, Nabi Daud, Nabi Yusuf dan lain-lain.
Hal ini karena maqam mereka sudah tinggi sehingga apa yang kalau dilakukan oleh orang awam bisa dikatakan biasa, tapi tidak kalau itu muncul dari mereka.
Simak firman Allah SWT. dalam QS. Al-Ahzab ayat 30 :
يَانِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ
Artinya :
“Wahai isteri-isteri Nabi, siapa diantara kamu melakukan perbuatan keji yang nyata niscaya akan dilipatgandakan untuknya azab dua kali lipat…”.
Dikisahkan tentang seorang al-‘Arif yang bernama Ibnu al-Jala`. Suatu ketika ia memandang seorang amrad (anak muda atau remaja yang memiliki wajah tampan) yang gagah. Tiba-tiba ada suara yang menyerunya: “Akan engkau rasakan akibatnya meskipun masa akan datang.” Akhirnya ia lupa seluruh hafalan al-Quran-nya.
Suatu ketika Imam al-Junaid melihat seorang faqir meminta-minta. Melihat itu ia berkata dalam hati: “Kalau orang ini bekerja tentu lebih baik.” Di malam hari ketika ia ingin melakukan wiridnya ia merasa malas, tidak bersemangat dan tidak mendapatkan halawah (manisnya). Akhirnya ia tertidur.
Dalam tidur itu ia bermimpi. Ia melihat si fakir itu dibawa ke hadapannya. Lalu dikatakan padanya: “Makanlah daging orang ini karena engkau telah menggunjingkannya.” Ia berkata: “Subhanallah, padahal itu hanya lintasan pikiran saja.” Lalu dijawab: “Orang sepertimu tidak dibenarkan untuk itu.”
Jatuh dari Maqam Hikmahnya Membangkitkan Semangat Taqarrub
Dikisahkan bahwa Syekh Abu al-Ghauts mencium isterinya tanpa niat. Akhirnya ia jatuh dari maqamnya. Setahun lamanya ia tidak berhasil mencapai maqam itu lagi.
Hal-hal seperti ini yang akan membangkitkan himmah (semangat) dalam meningkatkan mujahadah untuk menyucikan jiwa dan bertaqarrub kepada Al-Malik Jalla Jalaluh. Adapun pembahasan tentang definisi berbagai istilah, siapa yang mengisi maqam ini dan itu, maka itu bukan bagian mendasar dari kajian tasawuf.
Karena itu ketika ditanya tentang al-quthb, apakah ia sama dengan al-ghauts atau tidak, lalu apa pula yang dimaksud dengan al-awtad, al-abdal dan sebagainya, setelah memberikan penjelasan seadanya, Imam Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad menutup dengan kalimat yang sangat berharga:
وعلى الجملة فهذه المسألة من الأمور التي لا يقنع فيها بدون الكشف والعيان ، فمن أراد ذلك فعليه بتهذيب أخلاق نفسه وتلطيف كثافتها بالرياضة البالغة الماحقة للرعونات النفسانية القاهرة للحظوظ الشهوانية المزينة بالحضور الدائم مع الله تعالى بوصف حسن الأدب على بساط الذلة والانكسار والاضطرار والافتقار تحقيقا للعبودية ووفاء بحق الربوبية .
Secara umum, masalah-masalah ini tidak akan memuaskan sebelum tampak secara nyata. Dan siapa yang menginginkan hal itu maka ia mesti memperbaiki akhlak dirinya dan memperhalusnya dengan riyadhah yang berat yang mampu meredam gejolak nafsu dan mengalahkan godaan syahwat, yang dihiasi dengan hati yang selalu hadir bersama Allah dengan penuh kehinaan dan ketundukan.
***
فإذا أحكم العبد هذين الأصلين اللذين أحدهما حسن الرياضة والآخر كمال الحضور انهتك حجاب قلبه وأبصر غيب ربه ، فعند ذلك يشاهد الأولياء على مراتبهم ومناصبهم القدسية أرواحا مجردة فحينئذ يستغني عن الوصف ويرتفع من حضيض التقليد إلى أوج الكشف .
Kalau dua hal ini sudah dikokohkan seorang hamba yaitu riyadhah yang baik dan hati yang selalu hadir maka hijab hatinya akan tersingkap dan ghaib Rabb-nya akan terlihat. Saat itulah ia akan menyaksikan para awliya dengan segala tingkatannya dalam bentuk ruh-ruh yang mujarrad. Jika saat itu tiba maka ia tak lagi memerlukan penjelasan, dan ia akan terangkat dari kubangan taqlid menuju puncak kasyf.
وأما نحن معاشر المحجوبين فليس لنا من هذا الأمر وما يجري مجراه إلا مجرد الوصف وليس بقليل إذا لم يقع الجمود عليه لأنه ينتج المحبة وعنها يكون الشوق وعنه يكون الطلب ومن طلب وجد ولكل نبأ مستقر ولكل أجل كتاب .
Sementara kita, orang-orang yang terhijab, dalam hal ini kita hanya bisa mensifati (menjelaskan dengan kata-kata) saja. Tidak mengapa jika tidak terjadi jumud (kekakuan) terhadapnya. Karena hal ini akan melahirkan cinta. Dari cinta muncul kerinduan. Karena rindu lahir hasrat mencari. Siapa yang mencari akan mendapat. Setiap berita ada tempat bersemayamnya. Setiap ajal ada kitab yang mengaturnya.