Modus Grooming dalam Kekerasan Seksual oleh Pelaku Agama
HIDAYATUNA.COM – Belakangan ini banyak terungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang dinilai telah mengerti agama. Orang-orang yang memiliki setumpuk pengetahuan, berakhlak, dan memiliki integritas yang tinggi.
Kasus tersebut mungkin layaknya ‘gunung es’ yang baru tersibak permukaannya saja. Bisa jadi ada sekian korban yang hari ini tengah mengalami ketakutan, bingung, dan depresi tanpa tahu nasibnya dalam sepuluh atau dua puluh tahun mendatang.
Berkaca dari kasus yang menyeruak itu, kita mengetahui bahwa pelaku kebanyakan adalah orang-orang terdekat dari korban. Keluarga, guru, teman, atau pacar yang jalinan relasinya tidak hanya sehari dua hari. Dari situ pertanyaan tentang ruang aman supaya kekerasan seksual tidak terjadi menjadi penting untuk diketengahkan.
Saya rasa salah satu jalan untuk menekan kasus-kasus serupa-selain memberi hukuman kepada si pelaku-adalah dengan mengenali tanda-tandanya. Ada salah satu tanda kekerasan seksual yang belum banyak dipahami oleh masyarakat luas. Tanda itu disebut grooming.
Pada dasarnya, grooming memiliki arti mengurus atau merawat. Namun dalam konteks kasus pelecehan seksual, grooming bisa berarti tindakan yang dilakukan pelaku dengan menyiapkan korban agar pada saatnya nanti. Korban dapat menerima dan menoleransi aktivitas kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku.
Pencegahan Grooming dalam Perspektif Islam
Grooming biasanya dilakukan dengan memilih calon korban terlebih dahulu. Setelah itu, pelaku menjalin interaksi yang cukup intens dengan calon korban. Interaksi ini biasanya memakan tempo yang cukup lama.
Bisa saja dalam hitungan bulan, bisa juga dalam hitungan tahun. Dari interaksi yang intens ini, lamat-lamat trust atau rasa dipercaya oleh calon korban diperoleh si pelaku.
Biasanya tidak berhenti hanya sampai tahap itu, untuk menambah rasa percaya dan (kadang) rasa ketergantungan korban, si pelaku memberi sesuatu. Hal itu yang tidak diperoleh calon korban di lingkungan terdekatnya, baik dari sisi material maupun kebutuhan psikologis.
Ro’fah dalam tulisannya di Majalah Suara Aisyiah Edisi 12 yang bertajuk Pencegahan Grooming dalam Perspektif Islam. Ia memberi penegasan bahwa, kasus grooming ini cukup sulit untuk dikenali di awal.
Sebab berangkat dari katanya sendiri, grooming bisa jadi merawat atau mengurus, bukan sebagai kekerasan seksual. Hanya saja grooming sendiri lebih mudah diketahui ketika korban telah mengalami kekerasan seksual.
Maka dari itu, untuk mencegahnya, ia mengajak masyarakat dan seluruh orang tua untuk memahami. Apakah grooming ini bertujuan untuk mendukung tumbuh kembang seorang manusia, atau malah sebaliknya?
Memberi Ruang Berbicara Sesuai versi Korban.
Ro’fah memberi beberapa cara yang sekiranya bisa diterapkan untuk menekan kasus kekerasan seksual melalui grooming ini. Pertama-tama yang mudah dilakukan adalah memberinya ruang untuk berbicara sesuai versi korban.
Biarkan korban membeberkan perlakuan pelaku kepadanya sejak kali pertama bertemu atau berhubungan sampai rampung. Kemudian yang kedua adalah memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sejak usia dini.
Mungkin sejak usia sekolah dasar, khususnya anak-anak, dikenalkan dengan bagian tubuh mana yang boleh disentuh dan mana yang tidak boleh disentuh. Ini berlaku tidak hanya kepada lawan jenis, namun sesama jenis juga mesti mengerti batasan-batasannya.
Bahkan dalam hadist riwayat Abu Dawud No. 495 diterangkan bahwa, anak-anak diperintahkan untuk menunaikan ibadah salat ketika memasuki usia tujuh tahun. Boleh dihukum jika anak enggan atau melanggarnya.
Kemudian di usia sepuluh tahun, anak-anak harus dipisah kamar tidurnya, antara anak pria dengan perempuan tidak diperbolehkan tidur dalam satu kamar. Legitimasi ini penting untuk menekan terjadinya kasus melalui grooming.
Kewajiban Murid untuk Menghormati Bukan Melayani
Selain itu, anak-anak juga dikontrol dalam mengakses informasi melalui internet. Mengingat beragam informasi diditribusikan dengan cepat dan tanpa pandang usia.
Anak-anak bisa terpapar hal-hal yang negatif; menonton video porno, peroleh bulliying, atau malah mencoba mengakses berita yang jauh dari hal-hal positif. Di posisi ini, orang tua dituntut untuk melek literasi digital melebihi jangkauan anak-anaknya.
Terakhir, saya rasa siapa saja perlu untuk memberanikan diri bersikap asertif, dalam arti, berani untuk menyuarakan pendapatnya sesuai dengan hak dan kewajiban. Jika sebagai murid, maka kewajibannya belajar dan menghormati guru, bukan melayani layaknya seorang suami atau istri.
Begitu juga ketika posisinya sebagai anak yang kewajibannya membantu dan menghormati orang tua, bukan sebagai objek pelampiasan. Sebaliknya hak mereka adalah dilindungi, dirawat, dan dibina supaya menjadi pribadi yang lebih baik.
Langkah-langkah untuk mencegah kekerasan seksual melalui modus grooming ini. Saya rasa juga dapat diterapkan untuk mencegah modus-modus kekerasan seksual yang lainnya.
Sebab tindakan grooming dan modus kekerasan seksual lainnya tidak membeda-bedakan jenis kelamin. Orang terdekat atau baru kenal, memiliki jabatan terpandang, berpendidikan tinggi, apalagi cap saleh-salehah. Sekian.