Menikahkan Korban dengan Pelaku Kekerasan Seksual, Bagaimana Dampaknya?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kasus kekerasan setiap tahunnya selalu kita dengar bahkan kita lihat di berbagai media. Tidak hanya melalui media masa, terkadang dilingkungan sekitar kita ita pun kerap terjadi. Ironisnya sering kali kita lupa untuk memberika pembelaan bahkan pendampingan kepada korban.
Alih-alih memberikan pembelaan, justru stigma yang selalu lekat, korban sering disalahkan karena dianggap tidak bisa menjaga diri, pakaiannya yang tidak tertutup dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelurusaran dan pengamatan dari berbagai penanganan isu kekerasan oleh aparat, kerap kali mediasi menjadi solusi yang ditawarkan.
Bahkan tidak sedikit juga upaya yang dilakukan adalah menikahkan korban dengan pelaku. Menikahkan korban dengan pelaku bukanlah upaya yang tepat untuk memberikan perlindungan kepada korban dengan dalih menutup aib.
Justru dinikahkannya korban dengan pelaku sama halnya dengan kita menambahkan bentuk kekerasan seksual ganda dan menjebak korban dalam kekerasan seumur hidup dalam ikatan pernikahan yang legal.
Selain itu, menikahkan korban dengan pelaku juga berarti bahwa kekerasan tersebut tidak dihentikan dan korban berpotensi mengalami multiple forms of violence, seperti kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan tidak menutup kemungkinan juga akan mengalami kekerasan verbal, fisik, dan ekonomi.
Dalam tradisi masyarakat sering dilakukan upaya jalan pintas yaitu menikahkan kedua pelaku dan korban apabila tidak ada hubungan famili.
Solusi ini kadang berjalan efektif, namun di sisi lain juga bisa membawa mudarat bagi korban karen, pertama dapat berakibat pada semakin leluasanya pelaku memperalat korban.
Kedua, apalagi bila antara pelaku dan korban adalah pihak yang berbeda agama atau keyakinan, ditambah lagi ketiga, apabila sebelumnya ada permusuhan antara kedua pelaku dan korban.
Jika melihat dari sisi maslahat dan mudarat yang akan diperoleh korban, tentunya pernikahan antara korban dan pelaku akan lebih banyak menimbulkan mudarat.
Adapun dalam Islam segala sesuatu yang menimbulkan mudarat harus dihilangkan.
Dengan demikian menikahkan korban dengan pelaku kekerasan tentu bertolak belakang dengan tujuan pernikahan yang sakinah mawaddah warohmah.
Salah satu substansi dari tujuan pernikahan yang salah satunya adalah memberikan ketenangan dengan bentuk saling menjaga satu sama lain tidak didapat secara mudah, karena sifatnya dinamis.
Lantas bagaimana dengan korban yang dinikahkan dengan pelaku kekerasan akan merasa tenang? . bukankah akan lebih terjaga dalam kekhawatiran dan ketakutan yang luar biasa.
Sebagai korban kekerasan seksual atau KS, mereka layak untuk tetap menjaga eksistensinya sebagai manusia yang bermartabat dan memperoleh keadilan.
Bukan semakin ditenggelamkan dalam kemudharatan. Hal ini sangat relevan dengan Merujuk pada empat dasar hukum (‘adilah) Fatwa KUPI tentang larangan untuk melakukan kekerasan seksual (menikahkan korban dengan pelaku) yaitu:
Pertama, QS. An-Nisa ayat19, tentang larangan melecehkan martabat perempuan dan perintah memperlakukan mereka secara bermartabat. Berikut ini ayatnya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
Terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Kedua adalah hadis. Pesan hadist nomor 67 riwayat Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari menjelaskan tentang perintah menjaga martabat kemanusiaan.
“Dari Abdurrahman bin Abi Bakarah dari ayahnya, dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, kehormatan-kehormatan kalian adalah haram (untuk ditumpahkan, dikuasai secara zalim, dan dirobek-robek).
Ketiga, pendapat para ulama (Aqwalul ‘Ulama). Wahbah Az–Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islamy wa Adilatuhu (Juz 8 hlm 6416) menyebutkan perintah tentang melindungi hak asasi manusia.
Pada Juz 8 (hlm 6208), Wahbah Az-Zuhaili juga menegaskan tentang larangan merampas kehormatan manusia.
Begitu pun dalam Qaraaraat wa Taushiyyaat Majma’il Fiqhil Islamiy ad-Dauliy tahun 1405-1430 H (hlm 1-185 dan 218), menjelaskan tentang kewajiban menghormati perempuan di setiap lini kehidupan.
Dalam kitab yang sama juga menjelaskan tentang larangan mengeksploitasi perempuan di media dan perintah untuk memastikan perempuan sebagai kelompok sosial rentan untuk tidak dikorbankan dalam konflik apapun.
Keempat, Konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28A – 28J tentng Hak Asasi Manusia, yang meliputi hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan, dan hak untuk tidak diperbudak.
Berdasarkan landasan hukum di atas, jelas sekali bahwasanya agama tidak pernah memberikan ruang terhadap pelaku kekerasan.
Merupakan sebuah keharusan untuk menghentikan kekerasan seksual yang dapat merugikan korban.
Pendekatan pendidikan masyarakat juga tidak kalah pentingnya untuk memberikan penyadaran moral dan teologis bahwa kekerasan seksual tidak saja mencederai harkat dan martabat kemanusian, melainkan lebih dari itu.
Kekerasan seksual melanggar moral dan nilai-nilai agama yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, melainkan juga di akhirat kelak.
Salah satu upaya membangun kesadaran itu adalah dengan terus menerus mensosialisasikan, bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan besar yang menjadi musuh utama agama, di samping penuhanan kepada selain Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai agama yang anti kekerasan, tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa Islam adalah salah satu agama yang turut menyerukan penghapusan kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual sampai pada perbudakan dan eksploitasi seksual.
Selain itu, merujuk dari laman Media & Barandanager Save The Children, menikahkan korban dengan pelaku, adalah melanggar hukum.
Pertama, mereka melanggar Undang-undang Perlindungan anak, kemudian melanggar UU Perkawinan, serta UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya menikahkan korban dengan pelaku KS sama halnya dengan memberikan dan mengekalkan ruang kekerasan seksual ganda.
Selain itu adanya pelanggaran hukum yang melegalkan pernikahan anak. Perlindungan, pendampingan dan simpati adalah hal yang seharusnya dapat diberikan sebagai upaya untuk pemulihan dari rasa trauma, khususnyan dari lingkungan keluarganya. []