Mihnah Sebagai Ujian Terhadap Imam Ahmad bin Hanbal

 Mihnah Sebagai Ujian Terhadap Imam Ahmad bin Hanbal

Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi: Ulama dari Gaza Penulis Kitab Fathul Qarib

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Imam Ahmad bin Hanbal merupakan salah seorang Imam di antara madzhab empat yang mu’tabar yang dijadikan sebagai salah satu madzhab pegangan bagi aliran ahlussunnah wal jamaah, yaitu Madzhab Hanbaliyah.

Ulama besar ini tentunya mempunyai kisah dan pemikirannya masing-masing yang perlu dikaji agar kita bisa mengambil ibrah dari padanya.

Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik al-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau.

Untungnya, sang ayah, bernama Muhammad yang berasal dari tentara Marwa, yang mana beliau wafat dalam usia muda, 30 tahun meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah.

Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi’i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi.

Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama yang jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya.

Di antara pokok-pokok pemikiran dan gagasannya seputrar fikih dan ajaran agama Islam, ada salah satu hal yang menjadi kritikan kepada beliau, yakni tentang mihnah.

Lantas apa itu mihnah? Berikut ini uraian singkat mengenai mihnah sebagai kritik terhadap Imam Ahmad bin Hanbal.

Mihnah Sebagai Kritik Terhadap Imam Ahmad bin Hanbal

Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal mengenai khalq al-Qur’an, bahwasannya beliau berpendapat bahwa al-Qur’an itu ialah qadim.

Dari segi pemikiran Mu’tazilah, pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal ini tidaklah sesuai dengan pemikiran mereka, sehingga mereka melontarkan kritikan atas pemikiran beliau tersebut.

Ditandai dengan terjadinya peristiwa mihnah. Adapun peristiwa mihnah terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah yaitu Khalifah al-Ma’mun (170 H/ 785 M-218 HI 833 M).

Pada saat itu, paham Mu’tazilah merupakan paham resmi negara.

Peristiwa mihnah tersebut terjadi selama tiga periode pemerintahan yaitu al-Makmun, al-Mu’tasim (W 227 H) dan al-Watsiq (W 232 H).

Secara bahasa kata Mihnah memiliki arti cobaan, ujian atau bala.

Sedangkan secara istilah mihnah adalah ujian keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, ahli hadis dan hukum sehubungan dengan permasalahan penciptaan al-Quran, di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Peristiwa mihnah yang terjadi pada masa Khalifah al-Makmun itu karena perbedaan pendapat sehubungan dengan paham khalq al-Qur’an.

Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quran adalah baru karena kalam Allah swt yang tersusun clari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makluk dalam arti diciptakan Tuhan.

Karena diciptakan berarti ia merupakan sesuatu yang baru, jadi tidak qadim.

Jika al-Quran itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik.

Khalifah al-Makmun menginstruksikan supaya dilaksanakan pengujian terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan paham ini.

Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Quran adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting di dalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadi.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah termasuk Imam Ahmad bin Hanbal sepakat mengatakan bahwa al-Quran adalah kalam Allah dan sifat Allah yang qadim, bukan makhluk yang baru, tuhan bersama sifat-Nya adalah qadim, yang tidak berpermulaan ada-Nya.

Kalam Allah yang qadim itu diperdengarkan kepada Malaikat Jibril dan dijadikan bersuara dan berhuruf, Malaikat Jibril membawakan kepada Nabi Muhammad saw sebagai wahyu Tuhan.

Bacaan al-Quran adalah barn, huruf-huruf al-Quran yang diucapkan oleh pembacanya adalah baru karena is merupakan sifat Bari pembacanya, atau salah satu dari bermacam-macam perbuatannya, sedangkan perbuatannya itu tidak diragukan adalah baru. []

Elisa Afia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *