Doktrin dan Pokok-Pokok Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Imam Ahmad bin Hanbal sebagai salah satu imam dari mazhab empat yang mu’tabar merupakan salah seorang figur ulama yang memiliki kemampuan pemahaman hukum Islam yang sangat baik.
Sebagai salah seorang imam mazhab, tentu beliau memiliki banyak pemikiran dan ajaran seputar agama Islam, di antaranya adalah pemikiran di bidang fikih, ilmu hadis dan bidang teologi.
Pemikiran Ahmad bin Hanbal di Bidang Fiqh
Pemikiran fikih Imam Ahmad bin Hanbal sangat dipengaruhi oleh kedalaman pengetahuannya tentang hadis. Hadis menempati posisi sentral, di samping al-Qur’an dalam mazhab fikihnya.
Beliau menentang keras pendapat yang berdasarkan kepada al-Qur’an semata dengan mengabaikan hadits. Maka dari itu Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan al-Qur’an dan as-Sunah sebagai sumber pertama dalam ilmu fikihnya.
Beliau tidak menerima adanya perselisihan antara al-Qur’an dan as-Sunah. Kepada mereka yang berpegang dengan dzahir ayat-ayat al-Qur’an dan meniggalkan as-Sunah beliau berkata,
“Allah SWT yang amat terpuji dan nama-namaNya Yang Maha Suci, Mengutus Muhammad saw.
Dengan petunjuk agama yang benar untuk mengatasi seluruh agama-agama yang lain walaupun ia dibenci oleh orang-orang kafir.
Allah menurunkan kepadanya kitab (al-Qur’an) yang mengadung petunjuk dan cahaya bagi mereka yang menurutinya.
Allah juga menjadikan RosulNya sebagai petunjuk atau penerang bagi kehendak-kehendakNya baik pada ‘am dan khasnya, juga pembatal dan yang dibatalkan menurut apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an.”
Berikut tingkat prioritas sumber hukum menurut Madzhab Hanbaliyah yang juga merepresentasikan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang fikih:
- Al-Quran
- Sunnah
- Fatwa Sahahabat
- Ijma
- Qiyas
- Istishab
- Maslahah Mursalah
Pemikiran Ahmad bin Hanbal di Bidang Hadits
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang yang sangat cinta kepada Nabi saw. Sebagai buktinya, beliau pergi ke berbagai negri yaitu untuk mencari orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi saw.
Imam Ahmad bin Hanbal amat keras terhadap orang-orang yang mengaku muslim, tetapi berani mengerjakan bid’ah di dalam agamanya.
Juga sering kali beliau membicarakan orang-orang yang katanya ulama, tapi perbuatan yang dikerjakan banyak menyalahi sunah Nabi saw.
Imam Malik bin Maimun pernah berkata,
“Kedua mataku belum pernah melihat orang yang lebih utama daripada Imam Ahmad bin Hanbal, dan aku belum pernah melihat seorang dari ahli hadits yang begitu taat kepada hukum-hukum Allah dan sunah RosulNya.
Perkataan Imam bin Hanbal tentang hadits Nabi saw yaitu Imam Ahmad bin Hanbal berkata bahwa barangsiapa menolak hadits Rosulullah saw. Maka ia dengan sendirinya telah di tepi kebinasaan.”
Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal di Bidang Teologi
1. Tentang Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat al-Qur’an Imam Ahmad bin Hanbal lebih menyukai penerapan pendekatan lafdzi atau tekstual dari pada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat al-Qur’an yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiyat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran QS. Thaha ayat 5 yang artinya “Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy.”, dalam hal ini Imam Ahmad bin Hanbal menjawab :
اِسْتَوَى عَلَى العَرْشِ كَيفَ شَاءَ وَكَمَا شَاءَ بِلَا حَدٍّ وَلَا صِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya :
“Istiwa diatas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Dalam menanggapi hadits Nuzul (Tuhan Turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tetang telapak kaki Tuhan, Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kita mengimani dan membenarkanya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan di atas tampak bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) terhadap makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan RosulNya serta tetap mensucikanNya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
2. Tentang status al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an.
Tentang permasalahan apakah al-Qur’an itu diciptakan (makhluk) yang karenanya menjadikan al-Qur’an itu hadits atau baru, ataukah al-Qur’an itu tidak diciptakan yang karenanya qodim?
Paham yang diakui pemerintah, yakni Bani Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah paham mu’tazilah, yakni al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan.
Mereka memegang paham bahwasannya al-Qur’an itu ialah makhluk dan ia bersifat hadits atau baru.
Mereka juga menganggap bahwa paham adanya qodim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Imam Ahmad bin Hanbal tidak sependapat dengan paham tersebut di atas.
Oleh karena itu, kemudian ia diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandanganya tentang status al-Qur’an dapat dilihat dari dialog beliau dengan Gubernur Irak, Ishaq bin Ibrahim:
Ishaq bin Ibrahim : Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?
Imam Ahmad bin Hanbal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq bin Ibrahim : Apakah ia makhluk?
Imam Ahmad bin Hanbal : Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq bin Ibrahim : Apakah arti bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Imam Ahmad bin Hanbal : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diriNya.
Ishaq bin Ibrahim : Apakah maksudnya?
Imam Ahmad bin Hanbal : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang disifatkan kepada diriNya.
Berdasarkan dialog diatas, Imam Ahmad bin Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status al-Qur’an.
Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Bagi Imam Ahmad bin Hanbal, imam adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan. []