Metode Hisab Karya Syekh Prof. Dr. Musa Syāhīn Lāsyīn
HIDAYATUNA.COM – Sesuai metode perhitungan hisab, guru besar di bidang Hadis, tiba-tiba ia menyampaikan bahwa menurutnya puasa Ramadan seharusnya dimulai sehari sebelumnya. Syekh Prof. Dr. Musa Syāhīn Lāsyīn, tampak lebih menyetujui metode hisab ketimbang rukyah.
Akan tetapi, Pemerintah mengumumkan puasa hari ini, dan ia lebih memilih mengikutinya ketimbang mempertahankan pendapat pribadinya.[1] Sikapnya ini ia sampaikan juga dalam karyanya, Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim.
Dalam karyanya ini, setelah menyampaikan argumentasinya, tampak jelas membela metode hisab. Ia mengakhirnya dengan pernyataan bahwa pada akhirnya masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah).
Hakim yang (kelak akan) mempertanggungjawabkannya di depan Allah mengenai ijtihad dan keputusannya. Selain yang melihat hilal dan pengguna hisab harus mengikuti pemerintah.[2]
Sepertinya, Indonesia membutuhkan banyak tokoh seperti beliau. Harapan banyak masyarakat agar kita memiliki lebaran yang sama, Ramadan yang sama dan Idul Adha yang sama saya kira sangat besar.
Rasanya itu hanya bisa terwujud jika tokoh-tokohnya memiliki kerendahan hati. Bahwa ijtihadnya bukanlah kebenaran mutlak yang harus dipertahankan mati-matian. Meski harus mengorbankan kebersamaan umat yang tentu saja jauh lebih penting.
Friksi Hisab-Rukyah
Mahasiswa Indonesia di Mesir beragam latar-belakangnya. Mungkin kebanyakan mereka berafiliasi pada organisasi-organisasi besar di Nusantara.
Selama di Mesir, tak pernah saya mendengar ada friksi hisab-rukyah. Apa pun keputusan Pemerintah diikuti oleh semuanya.
Tak ada yang mempersoalkan metode yang digunakannya. Sama halnya dengan jemaah haji Indonesia saat berada di Arab Saudi.
Semua—dengan latar belakangnya yang sangat beragam—juga patuh menjalankan keputusan Pemerintah Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah. Secara sederhana dapat kita pahami, bahwa mereka meyakini keputusan yang diambil oleh Pemerintah Mesir dan Pemerintah Saudi dapat dibenarkan dan sah diikuti.
Meski mungkin tidak sama dengan pendapat pribadi sebagian mahasiswa dan jamaah haji. Tampaknya, pendapat pribadi saat di luar negeri tidak tersemai dalam tanah yang subur sehingga tidak muncul.
Syekh Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, membagi perbedaan pendapat ke dalam dua kategori.
1. Perbedaan pendapat dengan latar belakang khuluqiyyah
Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi akhlak. Perbedaan ini sangat tercela.
Ia lahir dari kesombongan, membanggakan diri, fanatik terhadap tokoh atau kelompok dan organisasi tertentu. Untuk menghindarinya sangat dibutuhkan kerendahan hati.
2. Perbedaan pendapat dengan latar belakang fikriyyah
Sementara perbedaan ini murni sudut pandang pemikiran. Perbedaan kedua lahir dari berbagai sudut pandang, kecenderungan berpikir dan orientasi diri.
Semoga perbedaan yang terjadi selama ini murni perbedaan fikriyyah, bukah khuluqiyyah.[3]
Mohon maaf, sekadar menyampaikan harapan-harapan. Semoga tidak semakin menambah kekeruhan. Wallāhu a’lam bi aṣ ṣawāb.
Referensi :
[1] Mencoba mengingat-ingat memori masa lalu. Wallāhu a’lam.
[2] Lihat: Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 4, hal. 507.
وأولاً وأخيراً الناس ملزمون بحكم الحاكم، والحاكم مسئول أمام الله عن اجتهاده وحكمه، فإن استقر عنده صحة شهادة الشاهد المثبت حكم بثبوت الهلال وإن نفاه أهل الحساب، وإن استقر عنده صحة إثبات الحساب لوجود الهلال حكم بثبوته وإن نفاه المتراءون. والأمر في استقرار النفي عنده كذلك. وحكم الحاكم واجب الطاعة في حق غير الرائي وفي حق غير الحاسب باتفاق العلماء، أما الرائي والحاسب فيلزمان بالعمل بعلمهما. والله أعلم.
[3] Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, hal. 12—13