Menimbang Tafsir Israiliyat

 Menimbang Tafsir Israiliyat

Mengenal Mufasir dari Tatar Sunda, KH. Ahmad Sanusi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Semalam saya hadir bersama para santri Sidogiri Takhasush Tafsir-Hadis. Membincang secara khusus mengenai Tafsir Israiliyat.

Ada tiga hadis berkaitan dengan informasi dari orang-orang Ahlul Kitab yang masuk Islam.

1. Larangan:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَتَاهُ عُمَرُ ، فَقَالَ : إِنَّا نَسْمَعُ أَحَادِيثَ مِنْ يَهُودَ تُعْجِبُنَا ، أَفَتَرَى أَنْ نَكْتُبَ بَعْضَهَا ، فَقَالَ : أَمُتَهَوِّكُونَ أَنْتُمْ كَمَا تَهَوَّكَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً ، وَلَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلا اتِّبَاعِي “

“Dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi berjumpa dengan Umar ia berkata: “Kami mendengar beberapa hadis dari orang Yahudi yang membuat kami terkagum-kagum.

Apakah engkau membolehkan kami untuk menulis sebagiannya?”

Nabi menjawab: “Apakah kalian ingin menuliskan kitab tanpa riwayat sebagaimana yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani?

Sungguh aku telah membawa kepada kalian hadis yang putih bersih dan andaikan Musa masih hidup dia akan mengikutiku.” (HR. Baihaqi)

2. Selektif Dalam Riwayat:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ ، وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ الإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ ، وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ وَ ( قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ ) الآيَةَ » . رواه البخاري

“Dari Abu Hurairah bahwa ahli kitab membaca Kitab taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk umat Islam.

Kemudian nabi bersabda janganlah kau membenarkan ahlul kitab dan jangan mendustakan mereka katakanlah kami beriman kepada Allah dan Wahyu yang telah diturunkan.” (HR. Bukhari)

3. Diperbolehkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « حَدِّثُوا عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ ». رواه البخاري

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ceritakanlah dari Bani Israil dan tidak apa-apa.” (HR. Bukhari)

Dari tiga riwayat hadis di atas diberi kesimpulan oleh dua ulama ahli hadits.

Al-Hafidz Ibnu Hajar

كَانَ تَقَدَّمَ مِنْهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّجْر عَنْ الْأَخْذ عَنْهُمْ وَالنَّظَر فِي كُتُبهمْ ثُمَّ حَصَلَ التَّوَسُّع فِي ذَلِكَ ، وَكَأَنَّ النَّهْي وَقَعَ قَبْل اِسْتِقْرَار الْأَحْكَام الْإِسْلَامِيَّة وَالْقَوَاعِد الدِّينِيَّة خَشْيَة الْفِتْنَة ، ثُمَّ لَمَّا زَالَ الْمَحْذُور وَقَعَ الْإِذْن فِي ذَلِكَ لِمَا فِي سَمَاع الْأَخْبَار الَّتِي كَانَتْ فِي زَمَانهمْ مِنْ الِاعْتِبَار

“Sudah dijelaskan di awal bahwa Nabi melarang mengambil ilmu dari ahlul kitab dan melihat ke kitab-kitab mereka.

Lalu kemudian Nabi memberi kelonggaran, maka larangan tersebut sebelum kokohnya hukum-hukum Islam dan kaidah agama, khawatir terjadi campur aduk.

Ketika kemudian kekhawatiran itu hilang maka Nabi mengizinkan untuk mendengar kabar-kabar dari ahlul kitab di zaman mereka sebagai pelajaran.” (Fathul Bari, 10/261)

Ahli Tafsir, Al-Hafidz Ibnu Katsir

فإنها على ثلاثة أقسام: أحدها: ما علمنا صحته مما بأيدينا مما يشهد له بالصدق، فذاك صحيح .

Kisah Bani Israil ada 3 macam. Pertama yang kita ketahui kesahihannya yang telah kita terima dan telah disaksikan kebenarannya hal ini sesuatu yang dibenarkan

والثاني: ما علمنا كذبه بما عندنا مما يخالفه

Kedua adalah kabar Bani Israil yang kita ketahui dustanya dan berbeda dengan ajaran kita

والثالث: ما هو مسكوت عنه لا من هذا القبيل ولا من هذا القبيل، فلا نؤمن به ولا نكذبه، وتجوز حكايته لما تقدم، وغالب ذلك مما لا فائدة فيه تعود إلى أمر ديني؛ ولهذا يختلف علماء أهل الكتاب في هذا كثيرًا، ويأتي عن المفسرين خلاف بسبب ذلك، كما يذكرون في مثل هذا أسماء أصحاب الكهف، ولون كلبهم، وعدّتهم، وعصا موسى من أي الشجر كانت

“Ketiga adalah sesuatu yang tidak ada kaitan dengan jenis pertama dan jenis kedua maka kita tidak mengimaninya dan kita tidak mendustakannya, boleh untuk sekedar menceritakan riwayat tersebut.

Kebanyakan dari jenis ketiga ini tidak memiliki faedah yang berkaitan dengan agama makanya para ulama kita berbeda pendapat dalam masalah ini cukup banyak dan juga terdapat perbedaan di antara para ahli tafsir.

Seperti yang berkaitan dengan nama-nama penghuni gua, warna binatangnya, jumlah mereka, tongkat Musa dari kayu apa dan lainnya.” (Tafsir Ibni Katsir)

Entah saya lupa awal pembahasan yang tiba-tiba membahas masalah wali. Maka saya jelaskan bahwa wali ada 6 tingkatan:

1. Waliyullah

2. Waliwalidayya (wali murid)

3. Wali kelas (guru)

4. Wali Kota

5. Wali Band

Dan keenam yang membuat para santri bergemuruh, maklum mereka sudah kebelet tapi masih mampu ditahan:

6. Wali yang akan kalian cari, Wali Nikah. Dan seluruh jamaah pun tertawa. []

Ma'ruf Khozin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *