Menilik Gagasan Pemerintahan ala Muhammad Sa’id al-Asymawi
HIDAYATUNA.COM – Barangkali sampai hari ini, Mesir jadi wilayah yang banyak memproduksi ulama muslim kenamaan dengan ciri kritis, agak nakal, dan terbilang dinamis. Di sana ada sekian nama yang dapat kita jadikan rujukan dalam melihat pertautan antara realitas aktual dengan ajaran Islam.
Adalah Muhammad Sa’id al-Asymawi, salah satu ulama kontemporer Mesir yang memiliki daya kritis, utamanya dalam konteks pemerintahan Islam. Ulama yang lahir pada 1932 ini membuktikan dengan produk pemikirannya yang bisa kita dapati di sekian karyanya.
Al-Asymawi sendiri dikenal sebagai ulama yang mumpuni di berbagai bidang kajian keilmuan Islam; hukum Islam, ushuluddin, perbandingan agama, dan perbandingan hukum. Ia kerap peroleh undangan ceramah dan kuliah di kampus dalam negeri maupun luar negeri.
Sekira 1970-an, ia secara tegas dan keras menolak kebijakan pemerintah Mesir yang hendak menerima Proposal Konstitusi Islam dari kelompok konservatif. Proposal tersebut menghendaki serangkain kerja untuk membangun Mesir sebagai negara Islam.
Bagi al-Asymawi, relasi manusia baik secara individu maupun bermasyarakat bukan dijalin dengan relasi paksaan keagamaan, tetapi relasinya adalah kenegaraan. Dan penolakan al-Asymawi pun membuahkan hasil yang positif. Kendati di kemudian hari, penolakan ini memicu munculnya sejumlah pembunuhan yang diinisiasi oleh kelompok konservatif karena, gagal mewujudkan negara Islam dengan cara yang halus.
Di dalam karya-karyanya seperti Jauhar al-Islam (1993), al-Khilafah al-Islamiyah (2004), Hashad al-Aqli (2004), dan Ushul al-Syar’iah (2013) kita akan menemukan pandangan kritisnya tentang pendirian negara Islam. Ia menguliti konsepsi negara Islam dengan mempertimbangkan ayat-ayat di kitab suci dari sisi asbabun nuzul maupun konteks sosio-historis di masanya.
Secara garis besar, al-Asymawi memulai kritiknya dengan memilah periode turunnya al-Qur’an di Makah dan Madinah. Baginya, ketika di Makah, ayat-ayat yang turun memuat prinsip dasar syariat yang sifatnya masih umum. Sementara ayat-ayat yang turun di Madinah sudah berbicara tentang kondisi umat muslim yang beragam, baik dari sisi pengikut maupun problem yang dihadapi.
Maka dari itu muncullah Piagam Madinah sebagai kesepakatan bersama. Hanya saja al-Asymawi tidak melihat bahwa kemunculan Piagam Madinah sebagai bentuk final yang mesti diikuti oleh umat muslim dewasa ini. Karena Piagam Madinah ada memang sesuai dengan konteks masyarakat, problem, serta kebutuhannya saat itu.
Al-Asymawi lantas membuat klasifikasi bentuk pemerintahan sejalan dengan perjalanan umat muslim di era Kanjeng Nabi Muhammad sampai sekarang.
Pertama, pemerintahan Allah. Pemerintahan ini dicirikan dengan keimanan yang kuat dengan otoritas ada di Allah, sedangkan pelaksananya Kanjeng Nabi. Maka taat kepada Kanjeng Nabi memiliki nilai sama taatnya dengan keputusan-Nya. Pemerintahan semacam ini bisa direalisasikan saat Kanjeng Nabi masih hidup.
Kedua, pemerintahan agama. Pemerintahan ini hampir mirip dengan gaya pemerintahan pertama. Titik bedanya ada pada posisi agama yang agak diberi jarak dengan pemerintahan, kendati keduanya tidak dapat dipisahkan secara eksplisit. Gaya pemerintahan ini barangkali bisa ditemukan di periode Khulafaur al-Rasyidin, terlepas dari penetapannya menjadi pemimpin.
Ketiga, pemerintahan unshuriyah. Pemerintahan yang memandang bahwa manusia setara. Hanya saja setara di sini cenderung pada kesukuan di satu sisi, meski di sisi lain gaya pemerintahan semacam ini terbukti membawa ajaran Islam di masa-masa kejayaannya. Sebut saja prototipenya di sekian dinasti keislaman yang bermunculan dengan berbagai prestasinya. Bagi al-Asymawi, gaya pemerintahan ini juga tidak proporsional untuk diterapkan pada umat muslim dewasa ini.
Keempat, pemerintahan madaniyah. Pemerintahan ini tidak didasarkan pada agama, tetapi biasanya peroleh pengaruh dari nilai dan hukum agama yang telah disesuaikan. Unsur-unsur di dalamnya mirip dengan pemerintahan modern; memiliki wilayah geografis, masyarakat, sistem, dan pemilihan pemimpin dari suara masyarakat.
Bagi al-Asymawi, gaya pemerintahan madaniyah menjadi bentuk proporsional untuk diterapkan di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Sebab al-Asymawi mengamati belum ada argumentasi yang kuat tentang pendirian negara Islam. Maka dari itu, gaya pemerintah menjadi bagian dari ijtihad manusia, bukan pemaksaan pendapat sepihak dengan dalih legitimasi agama.
Wallahul’alam