Membincang Hak Reproduksi Perempuan: Aborsi yang Aman bagi Perempuan

 Membincang Hak Reproduksi Perempuan: Aborsi yang Aman bagi Perempuan

Bolehkah Menggugurkan Kandungan Jika Janin Ada Kelainan Bawaan? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam berbagai literatur fikih ulama berbeda pendapat tentang kebolehan melakukan aborsi.

Aborsi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, yaitu abortion dan dari bahasa Latin, yaitu abortus, yang artinya pengguguran kandungan sebagaimana diterangkan oleh M. Ali Hasan dalam buku Masail Fiqhiyah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam.

Pembahasan aborsi memang menjadi hal yang kontroversial di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendepat boleh dan sebagian ulama melarangnya.

Akan tetapi pada kondisi tertentu yang sifatnya menjadi hajat, bahkan daruat demi keberlangsungan hidup ibu yang mengandung.

Sebagian besar ulama memperbolehkan selama aborsi dilakukan dengan cara-cara yang aman dan memenuhi syarat.

Aborsi berdasarkan kebutuhan darurat seperti aborsi dengan kondisi darurat medis yang mengancam nyawa ibu atau janin, serta aborsi bagi korban perkosaan.

Pembahasan aborsi yang menjadi kontroversial bukan hanya tentang kebolehan dan keharamannya saja.

Bahkan para ulama berbeda dalam mendefiniskan dan menetapkan umur kandungan yang boleh di aborsi beserta syaratnya dan hak hidup janin.

Beberapa dalil menyebutkan bahwa janin ditiupkan ruhya dalam umur 120hari, dan sebagian lagi berumur 40 hari.

Kendati demikian, ulama mengambil ihtiyat dengan pertimbangan keberlangsungan hak hidup janin  adalah 40 hari.sebagaimana yang diadopsi dalam Fatwa MUI.

Di Indonesia, pelaksanaan aborsi diatur dan dilindungi dalam bentuk regulasi selama ketentuan untuk melakukan aborsi terpenuhi berdasarkan alasan yang dibenarkan secara syar’i.

Artinya negara pun harus ikut andil untuk memberikan fasilitas dalam memberikan pelayanan dan mendampingi aborsi secara aman dan legal.

Adanya legalitas yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, bukan berarti memberikan kebebasan aborsi tanpa adanya alasan yang syar’i.

Pasalnya sebelum adanya regulasi tentang perlindungan dan pelaksanaan aborsi, banyak perempuan yang tidak tertolong akibat aborsi yang tidak aman, apalagi memenuhi standar kesehatan.

Aborsi tidak bisa sembarang dilakukan, oleh pihak manapun. Selain berdasarkan kondisi-kondisi medis tertentu, praktik aborsi juga harus dilakukan dengan cara yang tepat.

Aborsi yang dilakukan melalui penggunaan obat-obatan adalah hal yang sangat tidak diperbolehkan.

Merujuk dari CNN pelaku aborsi tidak boleh melakukan aborsi tanpa adanya pendampinga dan penyembuhan secara maksimal terhadap kesehatan psikiologis dan psikiartis.

Apalagi aborsi yang dilakukan hanya dengan meminum obat-obatan tanpa adanya tindakan medis adalah hal yang tidak diperbolehkan, apalagi secra prosedur, aborsi hanya bida dilakukan dalam prosedur operasi  oleh orang yang sangat berkompeten seperti dokter spesialis kandungan, bukan bidan apalagi dokter umum saja.

Aborsi juga sebaiknya dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas kamar operasi dan peralatan medis yang mumpuni.

Hal ini diperlukan untuk menghindari risiko aborsi yang berakibat fatal.

Menurut Husein Muhammad, pelaksanaan aborsi secara aman baik dari sisi psikologis dan psikis adalah satu bentuk hak reproduksi perempuan yang harus dipenuhi dengan relevan.

Bentuk relevan yang dimaksud dalam hak aborsi ini adatiga hal. Pertama, hak jaminan untuk mendapatkan kesehatan reproduksi pra dan pasca aborsi.

Kedua, hak aborsi yang tidak harus dilakukan akan tetapi memiliki kesempatan untuk menggunakannya.

Ketiga, Husein Muhammad mengusulkan agar adanya ketentuan dan kepastian hukum yang dapat melindungi baik kepada si pasien (yang melakukan aborsi), maupun kepada pihak yang membantu melakukan aborsi (ahli medis/dokter).

Hal ini untuk menghindari tindakan aborsi yang tidak aman.

Dengan demikian dalam melakukan aborsi sangat penting untuk merumuskan aborsi sebagai alternatif yang dilakukan secara aman.

Hal ini didasarkan pada Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan jo Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (selanjutnya disebut PP Kesehatan Reproduksi) yang menyatakan bahwa:

“Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

  1. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
  2. .kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Alasan pembenaran dalam melakukan tindak aborsi ini tentunya harus diikuti dengan syarat-syarat lainnya terutama dalam hal pelaksanaannya, baik yang diatur dalam UU Kesehatan maupun peraturan lainnya.

Salah satunya dinyatakan dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan yaitu:

“Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang”

Kemudian terdapat juga dalam Pasal 76 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa:

“Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

  1. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
  2. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
  3. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
  4. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
  5. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.”

Berdasarkan pasal-pasal  di atas negara sudah mengakomodir perundang-undangan aborsi yang sebelumnya negara tidak memberikan legalitasnya.

Akan tetapi bentuk regulasi aborsi masih cenderung berorientasi pada pemidanaan/penghukuman pelaku.

Sedangkan pada pendampingan dan perlindungan bagi korban KS yang melakukan aborsi belum terpenuhi, baik dari sisi fasilitas dan SDM.

Garis besar dalam aborsi ini pun tidak dibenarkan bagi mereka yang memang didalamnya ada unsur kesengajaan, dikecualikan pada tindakan aborsi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Akan tetapi jika kita melihat dari kaidah-kaidah yang sudah terpenu, baik dari sisi agama, kesehatan dan psikologis, maka mempertimbangkan aspek maslahatnya bagi korban dapat dibenarkan sebagai alternatif untuk menyelamatkan ibu.

Hal ini relevan sebagaimana dalam kaidah fikih “memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya bisa dilakukan demi menjaga yang lebih membahayakan.” []

Nuri Safitri

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *