Membaca Sejarah Identitas Gerakan Politik Perempuan Iran

 Membaca Sejarah Identitas Gerakan Politik Perempuan Iran

Politik Perempuan

HIDAYATUNA.COM – Peristiwa monumental yang terus melekat dalam sejarah perjalanan negara Iran yakni revolusi tahun 1979. Perubahan sistem politik negara dari monarki ke Republik Islam.

Akhirnya setelah melewati berbagai gerakan yang dilakukan, demonstrasi yang secara massif dilakukan, pembentukan pemerintahan tandingan Republik Islam Iran pada 1978. Rezim Pahlevi pun runtuh.

Sejarah monarki Iran berakhir pada tahun 1979, dengan ditandai tumbangnya kekuasaan perdana menteri bakhtiar yang diangkat Shah. Ayatollah Khomeini pun menetapkan tanggal 11 Februari 1979 sebagai hari kemenangan revolusi Iran dan lahirnya Republik Islam Iran.

Melalui sejarah panjang yang penuh drama dengan berbagai gejolak politik yang luar biasa. Sisi menarik yang bisa kita kupas melalui tulisan ini yakni peran perempuan terhadap gerakan politik Iran. Peran dalam gerakan ini terus berkembang dengan berbagai kelompok untuk memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam dunia publik.

Salah satu wujud konkrit dari identitas politik, yakni ketika perempuan melalukan demonstrasi untuk menggulingkan rezim. Disaat yang sama mereka menggunakan segala atribut yang mencerminkan nilai Islam tradisional, semisal cadar.

Cadar sebagai simbol ajaran Islam dan bagian dari budaya Iran. Ketika rezim Pahlevi melakukan modernisasi dengan cara mengolok-olok bahkan melarang pemakaian cadar, maka sebagai wujud perlawanan perempuan, cadar dipakai kembali.

Disinilah kita melihat sisi maskulinitas serta kegarangan perempuan Iran dalam melakukan pemberontakan atas kebijakan-kebijakan dibawah rezim Pahlevi. Serta ikut terlibat dalam perubahan-perubahan Iran yang sangat signifikan.

Menariknya, para cendekiawan, tokoh agamawan, serta pemikir-pemikir hebat yang berasal dari Iran. Sebut saja Ali Shari’ati, Ayatullah Khomeini, Ayatullah Murtadha Mutahhari, Zahra Rahnavard, dan organisasi Mujahidim-e Khalq menjadi sumber “mesin produksi” pemikiran.

Mereka menjadi api yang berada di belakang tampuk pergerakan perempuan Iran agar perempuan terlibat aktif dalam peran publik. Lebih dari itu, perjalanan panjang dalam melakukan perjuangan mendukung revolusi.

Pada masa rezim Pahlevi, perempuan Iran merasa tercabut dari akar budaya yang selama ini menjadi pegangan perilaku hidup para perempuan Iran. Menjadi liberal merupakan sebutan yang begitu pantas dinobatkan seiring dengan kebijakan rezim Pahlevi.

Kebijakan yang selalu melakukan usaha westernisasi, modernisasi sehingga membentuk suatu perasaan, oposisi, penentangan, dan perlawanan. Suasana psikologi semacam ini kemudian membentuk identitas gerakan dan politik mendukung revolusi.

Kelompok-kelompok perempuan mulai dari kalangan perempuan bangsawan, perempuan muda, serta perempuan menengah keatas turut berpatisipasi aktif. Mereka mengekspresikan ketidakpuasan terhadap rezim Pahlevi yang dinilai tidak sejalan dengan budaya serta perjuangan kaum perempuan Iran.

Para istri pejabat menyadari bahwa secara adminsitratif, rezim Pahlevi memang tidak serius meningkatkan harkat dan martabat perempuan. Kekecewaaan inilah menyebabkan kaum perempuan bergabung bersatu salam barisan revolusi.

Namun, setidak-satidaknya dalam sejarah revolusi Iran, ada dua figur yang menjadi cerminan kaum Iran dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, yakni Zainab dan Fatimah.

Zainab, simbol seorang perempuan yang aktif dalam gerakan politik. Ia berjuang dalam perang karbala, menuntut balas atas kematian saudaranya Imam Husain, serta berbicara di hadapan publik secara terang-terangan bahwa dirinya akan terus berperang melawan musuhnya.

Figur kedua adalah Fatimah, yang oleh perempuan Iran dijadikan simbol ideal dari seorang saudara, istri, sekaligus ibu. Fatimah berjuang untuk hak anak-anaknya. Karena itulah, bagi sebagian kaum perempuan Iran, tidak ada yang paradox antara status sebagai pekerja domestik dan aktifitas publik.

Disinilah letak paradoks yang dimunculkan olah masyarakat barat, bahwa peran publik dan domestik sangat berbeda dan bertentangan. Padahal, keduanya bisa dipadukan secara bersamaan.

Islam memberikan keleluasaan bagi kaum perempuan yang secara bersamaan bisa menjadi ibu rumah tangga sekaligus memiliki peran di ranah publik. Sehingga kesadaran ini menjadi gerakan kesadaran perempuan Iran yang secara massif dilakukan serta diperjuangkan oleh mereka. (Hidayatuna/Ifa)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *