Melihat Kiprah Politik Perempuan di Masa Nabi

 Melihat Kiprah Politik Perempuan di Masa Nabi

Melihat Kiprah Politik Perempuan di Masa Nabi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari 2024, berbagai media tengah sibuk memberitakan nama-nama politisi yang akan maju pada pemilu ke-6 pasca reformasi ini.

Mulai dari profil hingga wawancara eksklusif yang membahas kinerja dan program kerja para politikus ditayangkan untuk menggaet para pemilih di pemilu nanti.

Selain itu, di media sosial kehidupan kita juga sudah mulai diwarnai dengan berita palsu, ujaran kebencian dan narasi-narasi yang tidak ramah perempuan, misalnya narasi yang menyebutkan bahwa Islam melarang perempuan untuk masuk dan terlibat dalam dunia politik.

Sebetulnya narasi misoginis tersebut bukan kali pertama muncul di media sosial, setiap menuju tahun politik konten seperti itu sudah biasa kita temukan di berbagai media.

Tapi sebelum kita ikut membenarkan dan membagikan pernyataan tersebut, mari kita lihat bagaimana kiprah politik perempuan di masa Nabi.

Dalam buku “Dan Nabipun Memihak Perempuan” karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menyebutkan bahwa ada banyak sekali hadis yang mencatat tentang keterlibatan perempuan di wilayah publik, salah satunya dalam ranah politik.

Misalnya pada masa kelahiran komunitas muslim awal.

Dalam berbagai catatan sejarah, orang yang pertama kali beriman pada Nabi Muhammad saw adalah Khadijah binti Khuwailid ra., perempuan agung yang memberikan dukungan penuh terhadap risalah kenabian.

Bahkan ketika Nabi merasa takut dan khawatir pada saat menerima wahyu pertama, Khadijah lah orang pertama yang meyakinkan Nabi saw.

Hal ini tergambar jelas dalam sebuah hadis yang berbunyi:

“Tenanglah wahai anak pamanku, dan tabahlah. Demi Dzat yang menguasai Khadijah, aku yakin kamu terpilih menjadi Nabi bagi umat ini.” (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, 1/191).

Selain itu, ketika Nabi saw masih ragu dan takut, Khadijah ra juga menenangkan beliau dengan membawanya bertemu dengan Pendeta Waraqah bin Nawfal.

Seorang pendeta yang bisa meyakinkan Nabi saw bahwa yang bertemu dengannya adalah malaikat Jibril, seperti yang juga datang pada Nabi Musa a.s.

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir catatan dukungan dan perjuangan Khadijah ra terhadap Nabi saw tersebut bisa jadi teladan bagaimana perempuan terlibat secara aktif dalam politik pada masa itu.

Sebab apa yang dilakukan beliau adalah pilihan politik yang dilakukan oleh seorang perempuan terhadap kelahiran sebuah agama agung.

Pilihan tersebut tentu saja menanggung resiko yang cukup besar karena akan berhadapan dengan kekuasaan politik yang keras dan otoriter, yaitu kekuasaan para elit Quraisy.

Namun Khadijah ra tetap maju mendampingi dan mendukung Nabi saw untuk memperjuangkan Islam.

Perempuan-Perempuan Pahlawan di Masa Nabi

Perempuan yang memiliki peran penting dalam pembentukan komunitas muslim awal memang bukan hanya Khadijah ra saja, ada beberapa perempuan lain.

Di antaranya ialah Sumayyah Ummu Ammar bin Yasir, seorang perempuan yang pertama kali gugur mempertahankan iman.

Ada juga Ummu Habibah, Ummu Abdillah bint Abi Hatsmah, Asma bint Umais dan perempuan lain yang ikut berhijrah ke Etiopia mencari suaka politik.

Selain itu, ada juga Fathimah bint al-Khattab ra., seorang perempuan yang berani berhadapan dengan Umar bin al-Khattab ra., yang saat itu masih kafir.

Hal serupa juga dilakukan oleh Asma bint Abi Bakr ra, yang berani mengantarkan makanan kepada Nabi saw di Gua Tsur, di saat semua orang takut bertemu dan berkomunikasi dengan Nabi saw.

Sejalan dengan itu, banyak juga perempuan masa Nabi yang berani untuk menegosiasikan kebijakan sosial yang berlaku pada masa itu.

Misalnya dalam satu riwayat ada beberapa perempuan yang mendatangi Nabi saw dan memberikan masukan mengenai kebijakan pengajaran.

Hal ini tergambar dalam sebuah hadis;

Dari Abi Sa’id al-Khudriyy ra berkata:

“Suatu saat beberapa perempuan mendatangi Nabi Muhammad saw, mereka mengadu.”

“Wahai Nabi, mereka yang laki-laki telah banyak mendahului kami, bisakah engkau mengkhususkan waktu untuk kami para perempuan?

Nabipun bersedia mengkhususkan waktu untuk mengajari, memperingatkan, dan menasehati mereka.”

Dari beberapa catatan hadis di atas, memperlihatkan pada kita bahwa para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang sangat penting.

Memang kiprah mereka masih sangat sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran politik perempuan bukanlah sesuatu yang haram dalam Islam.

Bahkan menurut Hibat Rauf Izzat dalam buku “Dan Nabipun Memihak Perempuan” karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menyampaikan bahwa “kiprah politik merupakan implementasi dari tugas khilafah yang menjadi amanah manusia, baik laki-laki maupun perempuan.”

Dengan begitu, udah gak zaman lagi untuk mengamini dan meyakini bahwa Islam melarang keterlibatan perempuan dalam politik.

Justru yang harus terus kita sebarluaskan adalah pemahaman bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin, melainkan persoalan tanggung jawab bersama dalam memperbaiki kehidupan sosial. []

Fitri Nurajizah

Fitri Nurajizah, biasa disapa Fitri. Saat ini bekerja sebagai staff admin media sosial mubadalah.id dan aktif di komunitas perempuan berkisah, cherbon feminist dan puan menulis. Fitri biasa mengabadikan kegiatan sehari-harinya di Instagram @fitri_nurajizah dan bisa dikontak melalui email fitrirul24@gmail.com atau 085221322714.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *