Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah, Dasar Bertasawuf di Masa Silam
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tradisi penulisan teks dalam Islam memang telah berkembang sedemikian rupa. Di mana ajaran Islam mencuat, di situ juga teks-teks keagamaan selain Al-Qur’an muncul dan bertebaran.
Teks-teks ini pada akhirnya menjadi bagian integral yang tidak boleh dilewatkan saat mewicarakan konteks historisitas ajaran Islam.
Di Nusantara sendiri, teks-teks banyak didominasi oleh ajaran keislaman yang bercorak fikih dan tasawuf.
Keduanya memang jadi arus yang saling mengalami benturan dengan posisi fikih di atas tasawuf.
Sampai-sampai berujung pada pembakaran sejumlah kitab tasawuf, pembasmian pengikut ajaran tasawuf tertentu, sampai pelarangan ajaran tasawuf untuk disebarluaskan.
Kendati demikian, baik teks fikih maupun tasawuf itu sendiri pada dasarnya merupakan hasil persentuhannya dengan wilayah di belahan dunia Islam lainnya.
Misalnya saja untuk kitab tasawuf, Oman Fathurrahman dalam artikelnya Sejarah Awal Pemikiran Islam Nusantara (2017) menyebutkan bahwa, Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi menjadi kitab awal yang mendasari perkembangan ajaran tasawuf di negeri ini pada masa silam.
Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi (Hadiah yang Dipersembahkan untuk Ruh Nabi) ini, ditulis oleh Fadl Allah al-Hindi al-Burhanpuri (wafat 1620) pada 1590.
Ulama asal India ini menulis kitab tersebut sebagai bentuk pepujian kepada-Nya melalui lantaran penciptaan manusia yang paripurna, Kanjeng Nabi Muhammad.
Selain itu, di dalamnya juga memuat konsepsi tentang martabat tujuh; Ahadiyyah, Wahdah, Wahidiyyah, Alam al-Arwah, Alam al-Mithal, Alam al-Ajsam, dan al-Insan al-Kamil.
Tiga konsepsi yang awal Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah menjadi kepemilikan dari-Nya di dalam Diri-Nya sendiri.
Sementara itu, empat konsepsi setelahnya Alam al-Arwah, Alam al-Mithal, Alam al-Ajsam, dan Insan Kamil menjadi ekspresi dari luar diri-Nya yang menghantarkan pada manifestasi semesta yang adiluhung.
Fadl al-Burhanpuri menutup kitab ini dengan penjelasan bahwa, level ajaran Islam yang tertinggi bisa dilalui dengan lafal khusyuk pada kalimat tauhid, la illaha illa Allah (Tidak Ada Tuhan Selain Allah).
Kitab ini berdasarkan temuan Oman Fathurrahman dinilai telah berhasil membahasa-sederhanakan Kitab Futuhat al-Makiyah yang ditulis Ibn Arabi dari sekian jilid dirangkum menjadi 10 halaman saja.
Maka dari itu, Fadl al-Burhanpuri menyebut kitabnya ini sebagai nubdzah atau ringkasan dari ajaran tasawuf dengan mengambil konsep-konsep kuncinya.
Kita bisa menduga pengamalan dari kitab tersebut di negeri ini pada masa silam masih terbilang sulit untuk ditunaikan.
Hal ini mengingat kondisi masyarakatnya yang masih awam dengan ajaran Islam. Sehingga mafhum jika di masa itu, kitab tersebut hanya bisa dipelajari sekaligus diamal-tunaikan oleh beberapa ulama saja.
Tetapi kemudian, lamat-lamat ada beberapa ulama nusantara yang menerjemahkan dan menafsiri Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
Tentu saja laku tersebut tetap mengacu pada ajaran Islam yang terdapat di Al-Qur’an dan tauladannya Kanjeng Nabi Muhammad.
Beberapa nama misalnya, Abd Rauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri dengan judul Al-Mawahib al-Mustarsalah ‘ala al-Tuhfah, dan Abd al-Samad al-Falimbani dengan Kitab Al-Mulakhkhasila al-Tuhfah.
Dari temuan ini, saya rasa jika melihat kembali konteks historis dari sekian literatur ihwal masuknya Islam di nusantara, tidak berlebihan jika mengatakan bahwa Islam memang masuk dibawa oleh pedagang dan atau ulama dari India.
Bagi Oman Fathurrahman, kitab ini peroleh apresiasi yang tinggi dari kalangan muslim di tanah Sumatera, sebelum akhirnya masuk ke Jawa.
Kutipan di artikel: “Faktanya kemudian adalah bahwa al-Sumatra’i malah dikenal sebagai Sufi Melayu pertama yang menyebarkan ajaran martabat tujuh dan wahdat al-wujud dalam Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah.” Begitu. []