Kisah Malik bin Dinar dan Tetangganya yang Ugal-ugalan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Malik bin Dinar adalah salah satu ulama dari golongan tabi’in yang sangat masyhur dalam keilmuan terutama di bidang periwayatan hadits.
Kemampuan hafalannya serta pengetahuannya menjadi alasan betapa pentingnya ia bagi mata rantai periwayatan hadits.
Sebagai seorang tabi’in yang tawadhu’ banyak menginspirasi, kisah hidup Malik bin Dinar banyak diabadikan dan dijadikan sebagai sebuah pembelajaran.
Salah satu kisahnya yang paling masyhur adalah kisah Malik bin Dinar dan tetangganya.
Dikisahkan dalam kitab Tadzkiratul Aulia, Malik bin Dinar memiliki tetangga seorang pemuda yang sangat gemar mengganggu ketentraman dan berbuat semena-mena.
Orang-orang di sekitar pemuda ini sangat terganggu dengan kebiasaan buruknya.
Malik yang mendapatkan banyak keluhan tentang pemuda ini pun mendatanginya dan meminta dengan lemah lembut agar pemuda ini mau merubah sikapnya.
Tetapi pemuda tersebut menolak secara tegas permintaan Malik.
“Aku adalah kesayangan sultan dan tidak boleh seorang pun bisa melarang atau mencegahku untuk berbuat sekehendak hatiku,” ujar si pemuda itu.
Kemudian Malik membalas pemuda itu dengan sebuah ancaman, “Aku akan melaporkanmu kepada Sultan.”
“Sultan tidak akan menyalahkanku,” jawab si pemuda.
“Apapun akan kulakukan, sultan akan menyukainya.”
“Baiklah, jika sultan tidak bisa berbuat apa-apa,” Malik meneruskan ancamannya,
“Aku akan mengadu kepada Yang Maha Pengasih,” sambil menunjuk ke atas.
“Allah?” jawab si pemuda.
“Ia terlalu Pengasih untuk menghukum diriku ini.”
Jawaban ini membuat Malik bungkam, tak bisa berkataapa-apa.
Kemudian Malik pun meninggalkan si pemuda itu. Beberapa hari berlalu dan tingkah si pemuda benar-benar telah melewati batas.
Sekali lagi Malik pergi untuk menegur tetangganya itu, tetapi di tengah perjalanan Malik mendengar seruan yang ditujukan kepadanya,
“Jangan engkau sentuh sahabat-Ku itu!.”
Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar, Malik pun menjumpai si pemuda tetangganya itu.
Melihat kedatangan Malik, si pemuda membentak,
“Apa pula yang telah terjadi sehingga engkau datang ke sini untuk kedua kalinya?”
Malik menjawab,
“Kali ini aku datang bukan untuk mencela tingkah lakumu. Aku datang semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku telah mendengar seruan yang mengatakan…..”
Si pemuda itu berkata,
“Wah! Kalau begitu, maka rumahku ini akan kujadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada- Nya. Aku tidak peduli lagi dengan semua harta kekayaanku ini.”
Setelah berkata demikian ia pun pergi dan meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan memulai pengem- baraan di atas dunia ini.
Selanjutnya Malik menceritakan beberapa lama kemudian di kota Mekkah ia berjumpa dengan pemuda tersebut dalam keadaan terlunta-lunta menjelang akhir hayatnya.
“Ia adalah sahabatku,” si pemuda berkata dengan terengah-engah.
“Aku akan menemui sahabatku,” setelah berkata demikian ia lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir. []