Kisah Abul Hasan Sumnun bin Abdullah al-Khaumash

 Kisah Abul Hasan Sumnun bin Abdullah al-Khaumash

Kisah Hikmah Kejujuran Abu Bakar Muhammad (Ilustrasi)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Abul Hasan Sunmun Abdullah bin al-Khaumash, atau akrab disapa Sumnun yang dijuluki sebagai Si Pencinta.

Walaupun ia sendiri menjuluki dirinya sebagai Sumnun Pendusta, merupakan sahabat Sari al-Saqathi dan dan tokoh yang semasa dengan Junaid.

Sumnun memiliki sebuah doktrin yang istimewa mengenai cinta dan doktrin ini lebih diutamakannya daripada doktrin mistik.

Jadi berlawanan sekali dengan pandangan mayoritas tokoh-tokoh sufi.

Ketika Sumnun memberi ceramah mengenai cinta, dari angkasa meluncur seekor burung dan hinggap di atas kepalanya, kemudian pindah ke tangannya dan dadanya.

Dari dada Sumnun burung itu meloncat ke atas tanah, paruhyna berdarah dipatuk-patukkan dengan keras ke tanah.

Sesaat kemudian burung itu kehabisan tenaga dan mati. Ketika Sumnun pergi ke Hijaz, orang-orang Faid mengundangnya untuk memberikan ceramah.

Sumnun naik ke atas mimbar hendak berkhotbah, tapi tak seorang pun yang mendengarkannya.

Maka berpalinglah ia kepada lampu-lampu di dalam masjid itu dan berkata,

“Aku akan memberikan pengajaran kepada kalian mengenai cinta.”

Seketika itu juga lampu-lampu saling berbenturan dan hancur berantakan.

Diriwayatkan, di hari tuanya Sumnun menikah dan mendapatkan seorang putri.

Ketika si putri berusia tiga tahun, Sumnun sangat sayang kepadanya.

Pada suatu malam Sumnun bermimpi dan di dalam mimpi itu ia menyaksikan dirinya telah berada di Hari Kebangkitan.

la menyaksikan untuk setiap golongan ditegakkan sebuah panji.

Salah satu di antara panji-panji tersebut sedemikian gemerlapnya sehingga menerangi padang-padang surgawi.

“Golongan apakah yang memiliki panji ini?” Sumnun bertanya.

“Golongan yang oleh Allah dikatakan, Dia mencintai mereka dan mereka mencintai Dia.” (maksudnya: golongan pencinta).

Sumnun menyelinap ke tengah orang-orang yeng berteduh di bawah panji itu. Tetapi salah seorang di antara mereka mendorongnya keluar.

“Mengapa engkau mengusirku?” Sumnun berteriak. “Karena panji ini adalah panji para pencinta, sedang engkau bukan seorang pencinta.”

“Aku bukan seorang pencinta?” teriak Sumnun,

“Bukankah orang-orang menjulukiku sebagai Sumnun Sang Pencinta dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yag terkandung di dalam hatiku ini?”

“Sumnun, dulu engkau memang seorang pencinta. Tetapi sejak hatimu lebih cenderung kepada anakmu itu, namamu telah dihapus dari daftar para pencinta.”

Di dalam mimpi, Sumnun memohon ampunan kepada Allah,

“Ya Allah, jika karena anakku aku akan tergelincir, tunjukkanlah aku jalan yang baik.”

Ketika Sumnun terbangun, terdengarlah suara gaduh,

“Anak itu terjatuh dari atas loteng dan mati.”

Selanjutnya diriwayatkan pula bahwa pada suatu ketika Sumnun menyenandungkan syair:

“Tidak ada kebahagiaan bagiku, kecuali di dalam diri- Mu, Jadi, jika Engkau menghendaki, ujilah aku.”

Sesaat itu juga saluran kencingnya tersumbat. Maka dikunjunginyalah sekolah demi sekolah dan kepada anak- anak murid ia berpesan,

“Berdoalah untuk pamanmu Sang Pendusta ini, semoga Allah menyembuhkannya kembali.” []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *