Ketika Ilmu Menjadi Sesuatu Yang Murah (an)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Banyak kemudahan yang kita rasakan dari kemajuan teknologi dan media informasi. Sesuatu yang dulu hanya dominasi segelintir orang sekarang menjadi konsumsi banyak orang. Sesuatu yang dulu sulit sekarang menjadi mudah. Termasuk dalam hal ini media dan sarana untuk mencari ilmu dan pengetahuan.
Tapi di balik kemudan itu, ada sesuatu yang dikhawatirkan dari kemudahan mencari ilmu dan pengetahuan, bahwa ‘mudah’ yang berubah menjadi ‘murah’ atau bahkan ‘murahan’.
Kita tidak meragukan niat baik banyak pihak yang ingin menyampaikan ilmu secara luas kepada masyarakat memanfaatkan berbagai media yang ada (YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram dan sebagainya).
Namun ada hal yang perlu menjadi perhatian adalah ilmu dalam makna apa yang mereka maksudkan? Kalau ilmu yang mereka maksudkan sekedar ‘mengetahui’, maka tentu berbagai media yang disebut di atas bisa dimanfaatkan untuk itu.
Tapi jika ilmu yang mereka maksudkan adalah ilmu dalam pengertian:
إدراك الشيء على حقيقته إدراكا جازما
Artinya: “Mengetahui sesuatu sesuai hakikatnya dengan pasti.”
Atau ilmu dalam pengertian:
معرفة الشيء بالدليل
Artinya: “Mengetahui sesuatu berdasarkan dalilnya.”
Atau ilmu yang untuk definisinya saja dibahas tidak kurang dari 12 halaman oleh Imam Ali at-Tahanawi dalam Kasysyaf Isthilahat al-Funun wal ‘Ulum?
Jika itu yang mereka maksudkan dengan kata ‘ilmu’, apakah dengan bergabung di sebuah grup WA (seperti ditulis di salah satu laman FB) ilmu bisa didapatkan? Semudah atau ‘semurah’ itukah ilmu?
Tidak adakah kriteria untuk seorang pencari ilmu sehingga ia layak untuk memasuki dunia keilmuan, apalagi ilmu-ilmu syariat yang seharusnya tidak semua orang bisa dengan mudah memasukinya?
Tidak adakah tahapan-tahapan yang mesti dilalui untuk mendapatkan sesuatu yang layak disebut ‘ilmu’?
Di manakah faktor waktu yang relatif panjang dan tidak boleh terputus-putus untuk mendapatkan ilmu? Yang lebih penting, dimanakah peran guru yang mesti di-mulazamah-i untuk mendapatkan shibghah dari kepribadiannya, tidak hanya dari perkataannya?
Semua ini terabaikan dengan ajakan, “Mau dapat ilmu? Silahkan gabung dengan grup…”.
Untuk mencari ilmu, masyayikh kita di Al Azhar selalu menekankan pada empat syarat utama :
1. ‘Aql Rajjah (عقل رجاح) : Akal yang kuat yang siap menerima ilmu secara bertahap dari guru.
2. Syaikh Fattah (شيخ فتاح) : Guru yang membuka jalan pemahaman bagi si murid.
3. Kutub Shihah (كتب صحاح) : Buku-buku yang valid dan terpercaya untuk dijadikan sebagai rujukan.
4. Mudawamah wa ilhah (مداومة وإلحاح) : Kontinyu, pantang menyerah dan penuh semangat.
Jelas bahwa keempat syarat ini tidak mungkin tercapai dengan ‘sekedar’ bergabung di grup WA, mendengar kajian di YouTube, atau membaca tulisan di Facebook.
Apakah ini artinya ilmu mesti dibatasi pada orang-orang tertentu saja sehingga ia menjadi sesuatu yang eksklusif? Tentu tidak.
Hanya, sebagaimana untuk menjadi dokter, perwira, arsitek dan lain-lain, seseorang mesti memenuhi kualifikasi tertentu, apakah untuk ilmu-ilmu syariat semua orang bisa dengan mudah ‘mengangkanginya’?
Kalau mau jujur, inilah diantara problem mendasar timbulnya berbagai polemik, perdebatan, pertikaian dan bahkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat.
Banyak orang yang merasa berhak untuk bicara di bidang agama meskipun ia tidak memiliki kompetensi untuk itu. Diantara sebabnya adalah karena ilmu dianggap sesuatu yang mudah, atau bahkan murah (an).
Semangat untuk membumikan ilmu, memasyarakatkan ilmu, menyederhanakan ilmu dan seterusnya, tidak boleh mengabaikan fakta bahwa setiap bidang hanya boleh dimasuki oleh mereka yang memiliki kelayakan dan kepantasan untuk itu.
Sudah saatnya kita memberikan ‘harga’ yang lebih layak dan pantas untuk ilmu-ilmu syariat sehingga ia tidak menjadi sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata dan murah (an).
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]