Kenapa Musibah Selalu Dikaitkan dengan Maksiat?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sebagian orang ketika mendengar musibah, apalagi yang berdampak besar seperti gempa, tsunami, galodo dan sebagainya, cenderung mengaitkannya dengan maksiat yang dilakukan penduduk negeri yang terkena musibah tersebut.
Seperti halnya gempa yang menimpa Cianjur beberapa bulan lalu. Tidak sedikit pihak yang menyorot maksiat yang dilakukan sebagian warga Cianjur, lalu menilainya sebagai sebab di balik terjadinya musibah.
Lisan hal –bahkan lisan maqal– mereka berkata,
“Wajar saja musibah itu terjadi, maksiat mereka saja seperti itu..”
Hal yang sama terjadi dalam musibah yang menimpa Turki dan Suria.
Di tengah banyak orang yang berjuang mengumpulkan donasi untuk meringankan beban dan derita yang dirasakan saudara-saudara kita di Turki, ada segelintir orang yang mencoba mencari-cari ‘pangkal bala’ musibah yang menimpa mereka.
Akhirnya mereka menemukan bahwa 90 % masyarakat Turki tidak tahu Islam.
Mereka bahkan tidak tahu nama-nama shalat. Lalu sebagian orang mulai mengaitkan hal ini dengan bencana yang menimpa Turki.
“Wajar saja mereka dapat bencana, shalat saja tidak,” begitu lisan hal mereka.
Kita tidak akan bicara tentang akurasi angka yang ditampilkan dan apakah angka itu sudah melalui proses penelitian yang benar.
Kita hanya akan menyoroti persepsi yang terbangun bahwa musibah itu terjadi karena Allah Swt murka. Dengan kata lain, musibah indikasi kemarahan Allah. Otomatis, kesenangan adalah indikasi Allah ridha.
Tanpa disadari, pola pikir seperti ini mirip dengan pola pikir masyarakat jahiliah.
Mereka menganggap, kalau Tuhan memberinya nikmat berarti Tuhan memuliakannya.
Tapi kalau Tuhan membatasi rezekinya berarti Tuhan merendahkannya. Simpelnya, dapat nikmat berarti Tuhan sayang, dapat azab berarti Tuhan berang.
Inilah yang disinyalir dalam firman Allah Swt berikut ini:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) (سورة الفجر)
Artinya:
“Sudut pandang inilah yang dipakai sebagian orang dalam melihat gempa yang terjadi di Turki. Gempa terjadi karena Turki adalah negara sekuler dan sebagian besar masyarakatnya ternyata hanya muslim di atas kertas.”
Billahi ‘alaikum, apakah ada data yang bisa dijadikan pegangan bahwa mereka yang terkena musibah itu adalah mereka-mereka yang tidak shalat atau bermaksiat?
Lalu apakah ini berarti bahwa mereka yang tidak terkena musibah adalah orang-orang yang diridhai Allah?
Kita tidak pungkiri bahwa musibah juga terjadi, dan mungkin ini terbanyak, karena kedurhakaan dan maksiat para hamba.
Kita juga tidak menyangkal bahwa masyarakat perlu selalu diingatkan untuk menjauhi berbagai maksiat dan bertaqarrub kepada Allah untuk menghindari amarah-Nya.
Tapi menilai dan menganggap bahwa musibah itu terjadi ‘hanya’ karena maksiat atau tanda bahwa Allah sedang murka, tentu tidak benar.
Mari renungi firman Allah Swt. berikut ini:
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (السجدة : 21)
Artinya:
“Sungguh Kami akan timpakan pada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat) agar mereka kembali.”
Ayat ini berkenaan dengan apa yang menimpa kaum musyrikin di perang Badar; kekalahan, terbunuh, ditawan dan sebagainya. Apa tujuannya? Agar mereka kembali; kembali kepada iman.
Kalau untuk orang-orang musyrik saja Allah masih mengharapkan mereka kembali apalagi orang-orang muslim yang bermaksiat?
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda:
عَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ فىِ السَّلاَسِلِ (رواه البخاري)
Artinya:
“Allah takjub pada orang-orang yang masuk surga dalam rantai.”
Maksudnya, ada hamba-hamba Allah yang mesti ‘dipaksa’ masuk ke surga. Dan musibah adalah salah satu cara untuk ‘memaksa’ mereka untuk kembali pada-Nya.
Alangkah indahnya ungkapan Sayyidi Ibnu Athaillah as-Sakandari:
مَنْ لَمْ يُقْبِلْ عَلىَ اللهِ بِمُلاَطَفَاتِ الْإِحْسَانِ قِيْدَ إِلَيْهِ بِسَلاَسِلِ الْاِمْتِحَانِ
Artinya:
“Siapa yang tidak juga menghadap pada Allah dengan sentuhan-sentuhan kebaikan maka ia akan digiring menuju-Nya dengan rantai-rantai ujian dan cobaan.”
Tidak ada salahnya mengingatkan masyarakat dampak dari maksiat yang bisa mengundang turunnya bencana.
Adalah baik mengajak mereka untuk menjauhi segala maksiat untuk mengindari murka Allah.
Tapi jangan buru-buru menyimpulkan bahwa musibah yang terjadi adalah karena Allah sedang murka.
والله تعالى أعلم وأحكم
[]