Kisah Hikmah Kejujuran Abu Bakar Muhammad

 Kisah Hikmah Kejujuran Abu Bakar Muhammad

Kisah Hikmah Kejujuran Abu Bakar Muhammad (Ilustrasi)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Suatu ketika di suatu desa yang tidak jauh dari kota Makkah, hiduplah seorang pemuda yang memiliki kecerdasan cemerlang dalam ilmu agama serta memiliki kejujuran yang kuat.

Pemuda itu bernama Abu Bakar Muhammad, anak laki-laki Abdul Baqi’, yang kelak menjadi seorang hakim yang disegani.

Karena kemiskinannya, suatu hari ia merasa sangat lapar. Padahal, ia sudah tidak memiliki apapun untuk dimakan atau untuk membeli makanan.

Akhirnya, pemuda itu berjalan kaki ke pasar, siapa tahu ada yang mau mempekerjakannya untuk mendapatkan upah berupa makanan.

Ia berjalan menuju pasar itu, tanpa diduga ia menemukan sebuah bungkusan berbalut kain sutra diikat kaos kaki dari kain sutra pula.

Tanpa pikir panjang, bungkusan itu ia pungut lalu ia bawa ke tempat tinggalnya untuk dibuka. Di dalam kantung sutra itu ternyata ada seuntai kalung mutiara.

“Duhai, milik siapakah kalung mutiara ini?” kata Abu Bakar Muhammad pada diri sendiri.

“Begitu cantiknya kalung ini. Seumur hidup, aku belum pernah melihatnya.”

Beberapa saat kemudian, Abu Bakar Muhammad keluar rumah.

la mendengar seorang kakek sedang mencari sebuah bungkusan yang hilang. Kakek itu menjanjikan hadiah sebesar 500 dinar.

“Barangsiapa menemukan bungkusan berisi kalung mutiara, maka wang lima ratus dinar ini akan aku berikan sebagai imbalan kepada penemunya,” kata kakek itu kepada orang-orang.

“Ah, ini bukan kepunyaanku. Tentu saja yang kehilangan kalung ini sangat sedih sekali,” kata Abu Bakar Muhammad.

“Tapi, aku sangat lapar,” kata Abu Bakar Muhammad sedikit memberontak dari hati nuraninya. “Aku bisa mengambil kalung ini dan memanfaatkannya.”

Setelah mengalami pergolakan batin yang sangat menyiksa, akhirnya Abu Bakar Muhammad memutuskan untuk mengembalikan kalung mutiara itu.

a kemudian menemui kakek itu.

“Marilah ikut ke tempat tinggalku.” Kata Abu Bakar Muhammad kepada kakek itu.

Mereka berjalan bersama menuju tempat tinggal Abu Bakar Muhammad.

Setibanya di tempat tinggal Abu Bakar Muhammad, kakek itu dipersilakan duduk.

“Mohon maaf,” kata Abu Bakar Muhammad.

“Kalau boleh tahu, bagaimana ciri-ciri benda Kakek yang hilang itu?”

“Barangku yang bilang itu terbungkus kain sutra yang aku ikan dengan kaos kaki dari baban sutra juga. Di dalamnya ada kalung dari jenis mutiara.”

“Baiklah, kakek,” kata Abu Bakar Muhammad. “Barang kakek yang bilang itu sekarang ada di tangan saya. Tunggu sebentar, akan saya ambilkan.”

Betapa senangnya hati kakek itu karena barangnya bisa ditemukan kembali.

Kemudian Abu Bakar Muhammad menyerahkan bungkusan tadi kepada kakek tersebut.

“Oh, ini lah kalungku,” kata kakek itu.

“Aku sangat berterimakasih kepadamu anak muda. Dan, seusai janjiku, aku akan memberikan kepadamu uang lima ratus dinar sebagai imbalan.”

“Sudah menjadi kewajibanku untuk mengembalikan barang temuan ini kepada pemiliknya,” kata Abu Bakar Muhammad.

“Dan saya tidak pantas mengambil upah atasnya.”

“Engkau harus menerima uang ini,” kata kakek itu. Aku harus menepati janjiku.

“Tidak,” kata Abu Bakar Muhammad. “Aku tidak mau menerimanya karena aku tidak berhak apapun atas barang yang aku temukan itu.”

Setelah berdebat panjang, Abu Bakar Muhammad tetap menolak diberi imbalan.

Karena si penemu tidak mau diberi imbalan walaupun sudah dipaksa, akhirnya kakek itu pergi meninggalkan Abu Bakar Muhammad.

Setelah beberapa minggu dari kejadian itu, Abu Bakar Muhammad memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya.

Perjalanan pulang itu harus melewati selat yang cukup panjang. Oleh sebab itu, ia me- numpang sebuah perahu menuju daerah tempat tinggalnya.

Tiba-tiba, perjalanan itu menjadi mencekam setelah perahu yang ditumpangi beberapa orang tersebut oleng

Orang-orang pun bercerai-berai berikut seluruh hartanya. Namun Abu Bakar Muhammad selamat dari musibah ini karena berpegangan salah satu papan perahu tersebut.

Beberapa hari Abu Bakar Muhammad terapung di tengah lautan tanpa arah.

Pada suatu hari, ia terdampar di sebuah pulau yang berpenduduk. Abu Bakar Muhammad menuju masjid untuk shalat dan membaca Al-Quran.

Ternyata, di kampung itu tidak ada seorangpun yang bisa membaca Al-Quran.

emudian mereka mendatangi Abu Bakar Muhammad untuk belajar membaca Al-Quran.

Dari kegiatan mengajar itu, Abu Bakar Muhammad bisa mengumpulkan sejumlah uang yang rencananya untuk perjalanan pulang.

Suatu hari, Abu Bakar Muhammad menemukan beberapa lembar Al-Quran di dalam masjid.

Lembaran itu ia pungut dan disatukan kembali. Orang-orang yang melihatnya terheran.

“Apakah engkau bisa menulis?” kata salah seorang warga. “Ya, aku bisa,” jawab Abu Bakar Muhammad.

“Kalau begitu, ajari kami tulis menulis. Ajari pula anak-anak kami,” kata warga.

Sejak itu Abu Bakar Muhammad mengajari mereka dan ia pun bisa mengumpulkan sejumlah uang.

Di kampung itu, ada seorang gadis yang sudah ditinggal mati ayahnya.

Salah satu kerabat gadis itu ingin menjodohkan Abu Bakar Muhammad dengan gadis itu. Lalu ia mendatangi Abu Bakar Muhammad.

“Kami mempunyai seorang gadis yatim yang sangat kaya. Apakah engkau berkenan menikabinya?” kata kerabat gadis itu.

“Saya tidak bisa menikahi gadis di sini. Rumahku jauh dari sini,” kata Abu Bakar Muhammad menolak.

Tetapi, kerabat gadis itu tidak pantang menyerah. Ia terus memaksa Abu Bakar Muhammad untuk menikahi gadis tersebut. Akhirnya tawaran itu diterima Abu Bakar Muhammad.

Setelah diadakan akad dan Abu Bakar Muhammad dihadapkan dengan isterinya, ia melihat sebuah kalung mutiara yang dulu pernah ia lihat melingkar di lehernya.

Mata Abu Bakar Muhammad tak berkedip melihat kalung tersebut.

“Wahai Guru,” kata orang-orang.

“Engkau telah menghancurkan hati gadis yatim ini. Sebab, engkau hanya menatap kalungnya bukan wajahnya!”

“Bukan begitu, wahai saudaraku,” kata Abu Bakar Muhammad.

“Dulu, aku pernah menemukan kalung itu dan aku kembalikan kepada pemiliknya yang seorang kakek tua.”

“Allahu akbar! Allahu akbar!” orang-orang meneriakkan takbir hingga terdengar oleh seluruh penduduk pulau tersebut.

“Ada apa?” tanya Abu Bakar Muhammad.

“Kakek yang memiliki kalung itu adalah ayah gadis ini!” kata kerabat gadis itu.

“Kala itu, paman saya itu berkata, “Seumur hidupku, aku tidak pernah bertemu dengan seorang pemuda muslim yang baik seperti dia!”

Lalu, ia memanjatkan doa, “Ya Allah, pertemukanlah aku dengan pemuda itu agar aku dapat menikahkannya dengan anak gadisku. Sekarang doa itu telah dikabulkan Allah.”

Kejujuran Abu Bakar Muhammad itulah yang membawanya pada keberuntungan dan suka cita.

Ia mendapat istri yang cantik dan kaya karena kejujurannya itu. Rupanya, doa kakek itulah yang membuat Abu Bakar Muhammad terdampar di pulau itu. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *