Guru Tanpa Gaji: Belajar Ikhlas dari Ponpes Ash Shalahudin, ATC Lansung Kirim Bantuan
HIDAYATUNA.COM, Bandung — Guru Asep Marwan barangkali akan sulit ditemui di zaman serba perhitungan ini. Sebagai pemimpin Pesantren Ash Shalahudin, Kampung Bojongtangkal, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, berjuang tanpa digaji untuk mengurus dan mendidik santri-santri yang notabene yatim dan dhuafa.
“Santri kami kebanyakan dari luar Bandung Barat. Ada yang dari luar Garut, Bekasi, Cianjur,” katanya, diterima HIDAYATUNA.COM dari awak media, Bandung, Rabu (04/12/2019).
“Cita-cita almarhum adalah ingin menghidupi pesantren tanpa harus meminta-minta. Kebutuhan makan santri karena mereka tidak mampu harus kita penuhi. Maka dari itu, saya selain mengajar al-Quran juga mengajarkan kewirausahaan,” imbuhnya.
Pria 41 tahun ini telah menjadi tenaga pengajar pendidikan agama selama 17 tahun. Dirinya mengajar dengan berbagi ilmu pengetahuan tentang Islam tanpa pamrih berupa gaji.
“Selama mengajar di pesantren tidak ada gaji. Jangankan dapat gaji, justru kita memikirkan bagaimana agar santri bisa makan agar bisa berkegiatan,” ujarnya.
Selain itu, pesantren yang dikelolanya saat ini terdapat 57 santri dengan berbagai jenjang usia. Mereka ada yang bersekolah formal di SMP dan SMA. Adapun tenaga pengajar di pesantren ini berjumlah sembilan orang.
Sedangkan cara memenuhi kebutuhan hidup di pesantren ini adalah mengandalkan sumbangan. Tetapi mengingat sumbangan bersifat tentatif, dia bersama tenaga pendidik lainnya juga bekerja serabutan. Ada guru yang bekerja sebagai buruh bangunan, berjualan, atau bekerja di bidang lain.
“Saya berjualan karena memang dari kecil sudah berjualan. Guru yang lainnya juga tetap bekerja. Mereka yang mengajar dilakukan sukarela,” ujarnya.
Mendapat Bantuan Tunai
Kisah Asep Marwan yang mendedikasikan dirinya sebagai guru di pesantren membuat organisasi kemanusiaan global Aksi Cepat Tanggap (ACT) tergerak. Mereka memberikan bantuan berupa uang tunai melalui program Sahabat Guru Indonesia.
“ACT memberikan santunan hidup kepada mereka dengan uang tunai Rp500 ribu setiap bulan selama satu tahun,” kata Branch Manager ACT Jawa Barat Renno I Mahmoeddin.
Selain Asep, ada 10 guru atau tenaga pengajar lain yang menerima bantuan langsung itu. Mereka adalah guru honorer di sekolah formal maupun tenaga pengajar sukarela di pesantren dan madrasah.
Menurut Renno, di Jawa Barat terdapat sekitar 185 guru honorer yang kondisinya prasejahtera. Mereka digaji jauh di bawah upah minimum regional (UMR). Tidak sedikit di antara mereka yang bergaji di bawah Rp300 ribu dan tak jarang penghasilan mereka tidak menutupi kebutuhan sehari-hari.
“Saat ini kita akan berikan untuk 25 guru dulu, 10 orang ini simbolisnya. Tidak menutup kemungkinan 185 guru prasejahtera akan menerima bantuan ini,” katanya.
Melalui program Sahabat Guru Indonesia, Renno berharap seluruh elemen masyarakat di Indonesia tergerak untuk jadi insan dermawan.
“Sukses kita saat ini tidak dipungkiri karena peran guru. Sementara, jumlah guru honorer prasejahtera tidak sedikit jumlahnya di Indonesia. Karena itu kita harus memuliakan guru,” ujarnya.
Sekadar informasi bahwa Pesantren Ash Shalahudin tersebut didirikan 54 tahun yang lalu. Sudah banyak santri yang telah mengenyam pendidikan agama Islam di pesantren yang berdiri di Kampung Bojongtangkal, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat ini.
Pesantren ini berjarak hampir 45 kilometer dari Kota Bandung. Selain diajarkan pendidikan agama, para santri di pesantren ini juga diberikan materi pembelajaran kewirausahaan. Salah satunya berjualan makanan dari olahan ikan lele.
Ialah Asep Marwan, sosok pemimpin di Pesantren Ash Shalahudin. Dia bersama santri yang notabene adalah kaum yatim dan duafa, rutin berjualan produk yang dinamakan kerupuk lele.
Pembudidayaan ikan lele di lingkungan pesantren diolah menjadi produk makanan ringan. Hasil penjualan kerupuk itu digunakan untuk operasional pesantren. Sisanya, dipergunakan para santri untuk uang jajan.