Bolehkah Mengadakan Pernikahan di Bulan Safar?

 Bolehkah Mengadakan Pernikahan di Bulan Safar?

Bolehkah Mengadakan Pernikahan di Bulan Safar? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Sebagian masyarakat Indonesia menganggap bulan Safar adalah hari yang buruk untuk menyelenggarakan pernikahan. Lalu bagaimana dasar hukumnya?

Dilansir dari laman resmi MUI, kata Safar sendiri terdiri dari tiga huruf shad, fa’, dan ra’. Bila digabung akan memiliki variasi cara baca dan memiliki banyak arti.

Dalam kamus Lisanul ‘Arab karya Ibnu Mandzur, kata ini dapat berarti warna kuning (Shufrah) dapat pula berarti kosong (Shafar). (Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Beirut, juz 4, hlm. 460-462).

Adapun penamaan Safar lebih dekat pada makna kedua yakni Safar yang berarti kosong.

Sebab pada bulan ini, orang Arab bepergian, mengosongkan rumah dan kota untuk perang, setelah tiga bulan sebelumnya merupakan bulan hurum atau haram di mana perang mutlak dilarang. (Muhammad Abu Syuhbah, as-Sirah an-Nabawiyyah ‘ala Dlauil Quran was Sunnah, Darul Qalam juz 1 hlm. 140)

Akibatnya, konon, sampai dikatakan kota Makkah kosong melompong pada bulan tersebut kecuali orang yang tidak mampu sebab miskin, tidak memiliki bekal cukup untuk melakukan perjalanan.

Orang-orang yang ditinggal ini mengeluh seraya berkata,

“Shafira an-Nasu minna shafaran (Orang-orang mengosongkon kota (meninggalkan) kita sebab kita miskin (kosong/tidak memiliki harta).” (al-Mufasshal fi Tarikhil ‘Arab qablal Islam, juz 6 hlm. 120)

Mitos Bulan Safar

Masyarakat Arab sebelum datangnya ajaran Islam memandang bahwa bulan Safar membawa petaka, kesialan dan hal negatif lainnya.

Saking mereka menganggap bahwa bulan Safar tidak ada baiknya, mereka menjuluki bulan ini Shafarul Khair (kosong dari kebaikan).

Setelah datangnya ajaran Islam, keyakinan tersebut terkikis karena Islam mengajarkan tidak ada hari, bulan, atau waktu yang membawa kesialan.

Semua hal terjadi atas izin dan kehendak Allah. (Bakar Abu Zaid, Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah, Darul ‘Ashimah, hlm 638).

Nabi, dalam salah satu riwayat hadits, dengan tegas berkata:

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak benar adanya tiyarah (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak benar adanya burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan tidak benar beranggapan adanya nasib sial di bulan Safar.” (HR. Bukhari no 5316).

Dengan hadits tersebut, rasanya sudah sangat amat terang, bahwa kesialan pada Safar hanyalah mitos.

Sebagai bukti, banyak peristiwa penting yang menunjukkan kesialan di bulan Safar merupakan keyakinan tak berdasar. []

Romandhon MK

Peminat Sejarah Pengelola @podcasttanyasejarah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *