Berbeda dengan Ijma’ Ulama Itu Bukan Hal yang Mudah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tak dipungkiri memang ada orang yang terlalu fanatik kepada mazhab. Tapi ini tidak merubah fakta bahwa mazhab adalah metode yang sangat kuat dan sudah teruji kekuatannya sepanjang sejarah.
Maka tidak mudah untuk berbeda apalagi bertentangan dengan mazhab yang sudah diakui.
Setiap pendapat yang baru, yang berbeda dengan pendapat para ulama yang mu’tabar, apalagi berbeda dengan ijma’, akan diuji apakah layak untuk diterima sehingga menjadi qaul atau bahkan mazhab yang baru, atau malah akan dicampakkan dan diabaikan seolah ia tak pernah ada.
Ketika diminta menjadi narasumber dalam sebuah FGD tentang nikah dan talak, saya kembali membuka kitab-kitab yang terkait yang sudah lama tidak saya buka.
Mungkin terakhir kali membukanya saat masih menikmati suasana indah di ruwaq-ruwaq al-Azhar yang kenangannya tak akan terlupakan.
Di antara kitab yang saya buka itu adalah Ad-Durrah al-Mudhiyyah karya Imam Taqiyyuddin as-Subki, Fathul Bari karya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Sayr al-Hats ila ‘Ilm Thalaq ats-Tsalats karya Imam Ibnu Abdil Hadi, Nizham Thalaq fi al-Islam karya Syekh Ahmad Syakir dan bantahannya Al-Isyfaq ‘ala Ahkam Thalaq karya Syekh Zahid al-Kautsari.
Fokus pembahasan kitab-kitab ini adalah tentang talak tiga yang diucapkan dalam satu majlis atau dengan satu lafaz, apakah jatuh tiga atau satu.
Perdebatan panjang tentang masalah ini tentu bukan sesuatu yang baru bagi para pencari ilmu.
Terutama antara Syekh Ibnu Taimiyyah yang mengatakan jatuh satu yang berbeda dengan jumhur ulama yang mengatakan jatuh tiga (ba`in baynunah kubra).
Menarik mengikuti diskursus ini antara yang pro dan kontra. Untuk memahami argumentasi kedua kelompok kita mesti menggali dari sumber primer dari tokoh-tokoh dua kelompok secara langsung, tidak hanya nukilan dari ‘lawan’ yang berbeda pendapat.
Durrah Mudhiyyah dan Al-Isyfaq bisa dikatakan mewakili kelompok yang pro (bahwa talak tiga dalam satu majelis itu jatuh tiga).
Sementara Sayr al-Hats dan Nizham Thalak bisa disebut mewakili kelompok yang kontra (bahwa talak tiga dalam satu majelis hanya jatuh satu), meskipun Sayr al-Hats berusaha untuk menengahi.
Sementara Fathul Bari memaparkan argumentasi kedua kelompok secara berimbang, meskipun pada akhirnya Imam Ibnu Hajar berada dalam ‘barisan’ jumhur ulama.
Tentu saja masing-masing kelompok berusaha menguatkan pendapatnya menggunakan berbagai argumen dan dalil yang dipandangnya kuat.
Tentu tidak mungkin menjabarkan dalil-dalil itu dalam tulisan sederhana ini. Tapi ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai catatan penting:
Pertama, hadits utama yang dijadikan sebagai dasar oleh pihak yang kontra (Ibnu Taimiyyah dan ulama yang sependapatnya dengannya) adalah hadits Ibnu Abbas ra yang diriwayatkan Imam Muslim :
كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبِي بَكْرٍ، وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ، طَلَاقُ الثَّلَاثِ وَاحِدَةً، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ، فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ، فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ
Artinya:
“Talak di masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan dua tahun dari kekhilafahan Umar ; talak tiga itu satu. Umar bin Khattab kemudian berkata: “Orang-orang tergesa-gesa dalam hal yang seharusnya mereka bertenang. Kalau kita berlakukan hal itu pada mereka.” Lalu ia memberlakukan hal itu pada mereka.”
Hadits ini jika dibaca begitu saja secara zhahir terlihat menguatkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa talak tiga dalam satu majlis itu hanya jatuh satu.
Karena memang itulah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, masa kekhilafahan Abu Bakar dan awal kekhilafahan Umar r.a.
Adapun talak tiga jatuh tiga, ini adalah siasat Umar untuk memberikan ‘pelajaran’ pada masyarakat yang terlalu mudah mengatakan,
“Engkau aku talak, engkau aku talak, engkau aku talak”, atau dengan redaksi “Engkau aku talak tiga”.
Tapi kalau kita baca penjelasan dari Imam As-Subki dalam Durrah Mudhiyyah dan bantahan Syekh Kautsari terhadap Syekh Ahmad Syakir, kita akan sadar betapa ijma’ ulama itu bukan ‘kaleng-kaleng’, dan betapa berbeda -apalagi bertentangan dengan jumhur itu bukan sesuatu yang ‘mudah’.
Kenapa jumhur ulama tidak memahami hadits Ibnu Abbas di atas seperti yang dipahami oleh Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh muridnya Ibnu al-Qayyim dan lain-lain?
Disini kita akan melihat bahwa pandangan para ulama tidak hanya pada satu atau dua teks saja, meskipun itu hadits shahih.
Pandangan mereka jauh lebih luas dan menyeluruh. Berbagai riwayat dikaji, pendapat dan fatwa dari sahabat dan tabi’in jadi acuan.
Hal pertama yang menjadi pertanyaan bagi jumhur adalah kenapa Ibnu Abbas sendiri dalam banyak riwayat justeru memfatwakan bahwa talak tiga dalam satu majelis itu jatuh tiga bukan satu seperti yang mungkin dipahami dari hadits yang diriwayatkannya di atas ?
Inilah mengapa Imam Ahmad bin Hanbal sendiri, dimana Ibnu Taimiyyah berintisab padanya secara fiqih, lebih memilih ‘sejalan’ dengan jumhur bahwa talak tiga dalam satu majelis itu jatuh tiga.
قال الأثرم : سألت أبا عبد الله عن حديث ابن عباس : كان الطلاق الثلاث على عهد رسول الله وأبي بكر وعمر واحدة ، بأي شيء تدفعه؟ فقال: برواية الناس عن ابن عباس أنها ثلاث
Artinya:
“Atsram berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang hadits Ibnu Abbas ; talak tiga di masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar adalah satu, dengan apa engkau menolaknya? Ia menjawab: “Dengan riwayat banyak orang dari Ibnu Abbas sendiri bahwa itu tiga.”
Memang ada perbedaan pendapat yang cukup panjang di kalangan ahli ilmu ushul, tentang pendapat sahabat berbeda dengan riwayatnya, mana yang didahulukan, pendapatnya atau riwayatnya?
Oleh banyak ulama, ketika sahabat yang meriwayatkan suatu hadits memfatwakan sesuatu yang berbeda dengan hadits yang diriwayatkannya.
Ini berarti hadits yang diriwayatkannya mesti ditakwil atau dikompromikan dengan fatwanya dan hadits-hadits lain yang sejalan dengan fatwanya.
Imam Syafi’i bahkan mengambil langkah yang ‘tegas’. Beliau mengatakan bahwa hadits Ibnu Abbas di atas adalah mansukh (dihapus hukumnya).
Kedua, tidak hanya fatwa Ibnu Abbas saja, banyak riwayat lain yang secara tegas menyatakan bahwa talak tiga dalam satu majelis itu jatuh tiga (baynunah kubra), di antaranya hadits Ali bin Abi Thalib ra:
إن رجلا من قريش طلق امرأته مائة تطليقة فأخبر بذلك النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : بانت منه بثلاث وسبع وتسعون معصية فى عنقه
Artinya:
“Ada seorang laki-laki dari Quraisy mentalak isterinya seratus kali. Hal itu diberitahukan kepada Nabi Saw. Beliau bersabda: “Jatuh tiga, dan sembilan puluh tujuh lagi dosa baginya.”
Dalam kitab Al-Atsar karya Imam Muhammad bin al-Hasan, dari ‘Atha`:
“Ada seorang laki-laki datang menemui Ibnu Abbas, lalu ia berkata: “Aku mentalak isteriku tiga kali.” Ibnu Abbas berkata: “Ada orang yang melumpuri dirinya dengan tanah lalu datang pada kami untuk dibersihkan. Pergilah! Engkau telah mendurhai Rabb-mu. Isterimu haram terhadapmu. Ia tidak halal untukmu sampai ia menikah dengan orang lain.”
Riwayat lain dengan substansi yang sama juga datang dari Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Usman bin Affan, Zaid bin Tsabit dan lain-lain.
Karena itu perkara ini (talak tiga dalam satu majelis dihukum tiga) dinilai sudah menjadi ijma’ para ulama.
Di antara ulama yang menyatakan bahwa hal ini ijma’ adalah Imam Ibnu al-Mundzir, Imam Ibnu Abdil Barr, Imam al-Jashshash, Imam Abu al-Walid al-Baji, Imam Abu Bakar bin al-‘Arabi dan lain-lain.
Imam Al-Jashshash berkata:
فالكتاب والسنة وإجماع السلف توجب إيقاع الثلاث معا وإن كان معصية
Artinya:
“Al-Quran, Sunnah, dan Ijmak Salaf menghendaki talak tiga sekaligus itu jatuh meskipun ianya maksiat.”
Imam al-Baji berkata:
فمن أوقع الثلاث بلفظة واحدة لزمه ما أوقعه من الثلاث وبه قال جماعة الفقهاء والدليل على ما نقوله إجماع الصحابة لأن هذا مروي عن ابن عمر وعمران بن حصين وعبد الله بن مسعود وابن عباس وأبي هريرة وعائشة رضي الله عنهم ولا مخالف لهم
Artinya:
“Siapa yang menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz maka ia terikat dengan apa yang ia jatuhkan (yaitu tiga). Ini yang dikatakan oleh banyak ulama. Dalilnya adalah ijmak para sahabat karena ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Imran bin Hushain, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Aisyah ra, dan tidak ada yang berbeda dengan mereka.”
Menarik mencermati apa yang dipesankan Imam as-Subki dalam Durrah Mudhiyyah:
ليس لغير المجتهد إذا سمع آية أو حديثا أن يترك به أقوال العلماء فإنه إذا رآهم قد خالفوا ذلك مع علمهم به علم أنهم إنما خالفوه لدليل دلهم على ذلك
Artinya:
“Seorang yang bukan mujtahid ketika mendengar sebuah ayat atau hadits, ia tidak berhak meninggalkan perkataan ulama hanya karena itu. Karena ketika ia mendapati para ulama berbeda dengan itu (ayat atau hadits) sementara mereka mengetahui ayat dan hadits tersebut, ia (orang yang bukan mujtahid) mesti tahu bahwa mereka berbeda karena ada dalil yang melatarbelakanginya.”
Syekh Zahid al-Kautsari ketika membantah Syekh Ahmad Syakir memang terkesan agak keras, sampai-sampai beliau menjuluki Syekh Ahmad Syakir dengan sebutan ‘mutamajhid’ (متمجهد).
Namun syair yang dinukilnya dalam al-Isyfaq patut menjadi renungan bagi siapapun yang ingin berbeda dengan para ulama mujtahid, apalagi kalau sudah menjadi ijma’ mereka.
ما العلم مخزون كتب لديك منها الكثير
لا تحسبنك بهذا يوما فقيها تصير
فللدجاجة ريش لكنها لا تطير
Artinya:
“Ilmu itu bukan tumpukan buku yang banyak kau miliki
Jangan kira dengan itu kau menjadi seorang faqih
Ayam juga punya sayap, tapi ia tak bisa terbang tinggi.”
والله تعالى أعلم وأحكم
[]