Wajah Keber-agamaan di Mimbar Jumat
HIDAYATUNA.COM – Hari Jumat kaum Adam disyari’atkannya kewajiban salat Jumat. Semestinya wajah Islam yang ramah bisa kita lihat dari balik mimbar salat Jumat ini. Namun penulis punya kisah yang berbeda. Supaya kita saling belajar, begini kira-kira kisahnya.
Beberapa waktu yang lalu — kira-kira satu bulan lalu — penulis melaksanakan salat Jumat di salah satu masjid. Ukurannya tidak begitu besar seperti umumnya masjid di kota-kota.
Nah, ketika khotbah ke-2 dalam salat Jumat, setelah amma ba’du, sang khotib dengan pede mengutip salah satu ayat QS. Al-Maidah [5]: 17, “laqod kafarolladzina…….. (ila akhirihi)”. Lantas dengan entengnya mengatakan “Mengucapkan selamat Natal diharamkan sebagaimana dalam QS. Al-Maidah [5]: 17”.
Tidak sampai disitu, nahasnya lagi, ia dalam khotbah Jumatnya mengkafirkan orang yang mengucapkan selamat Natal ataupun perayaan hari-hari besar non-muslim yang lain. Ia tidak memberikan keterangan para ulama, setidaknya para mufassir, terhadap ayat yang ia bacakan.
Alih-alih pengetahuan keislaman yang ramah terhadap non-muslim, yang ada malah mengkerdilkan Islam itu sendiri. Tentu ini menjadi problem, satu sisi peran khotib sebagai pendakwah haruslah mengedukasi melalui mimbar Jumat. Disisi lain, masyarakat harus mendengar apa yang khotib sampaikan melalui khotbahnya.
Terus terang saja, miris mendengarkan khotbah Jumatnya. Islam hanya dipahami hitam-putih. Logika hitam-putih ini, meminjam istilahnya Pak Aksin Wijaya, adalah logika khawarij.
Logika khawarij ini bahaya. Sebab, imajinasinya adalah siapa saja yang bukan kelompoknya adalah kafir. Ketika kafir maka ia halal darahnya. Lalu ketika halal darahnya maka ia boleh dibunuh. Sudah begitu ia malah menyampaikannya secara implisit di dalam khotbah Jumatnya. Miris.
Menyemai Islam Ra(h)mah melalui Khotbah Jumat
Sebagai agama kasih sayang (rahmah), Islam tentu melarang kita untuk merasa paling benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Semestinya, minimal, sifat merasa paling benar itu tidak ditunjukkan dalam khotbah Jumat yang di dalamnya terdapat banyak malaikat.
Ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 107. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.
Terkait ayat tersebut, dalam tafsir yang diterbitkan oleh Kemenag disebutkan tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad. Tak lain ialah membawa agama-Nya dalam menyampaikan petunjuk dan peringatan agar mereka bahagia di dunia dan di akhirat. Khotib dalam salat Jumat barangkali lupa akan hal ini.
Rahmat Allah bagi seluruh alam meliputi perlindungan, kedamaian, kasih sayang dan sebagainya, yang diberikan Allah terhadap makhluk-Nya. Baik yang beriman maupun yang tidak beriman, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Sampai disini sudah jelas bahwa, rahmat pada ayat tersebut tidak terbatas pada apakah ia muslim atau non-muslim. Tidak pula terbatas beriman ataupun tidak beriman, kulit putih atau atau kulit hitam.
Tidak pula terbatas kepada kelompok tertentu. Ini artinya Islam sebagai agama rahmah harus mengayomi semua dengan memberi kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan kepada siapa saja.
Merasa paling benar dan menganggap orang lain salah saja tidak boleh. Apalagi mencaci maki, mengkafirkan, serta men-judge orang lain atau kelompok tertentu masuk neraka. Lebih-lebih itu disuarakan dalam khotbah Jumat dengan toa yang menggelegar. Bagaimana tidak menimbulkan salah paham, jika umat agama lain tidak terima.
Islam sebagai Agama Ketundukan dan Kepasraharan
Islam adalah agama kepasrahan dan ketundukan kepada Allah SWT. Di dalam Alquran banyak ayat yang menyebutkan terkait makna tersebut. Diantaranya adalah QS. Al-Baqarah [2]: 131, Allah berfirman:
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.
Dalam ayat lain Allah juga berfirman,
“Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datangnlah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” QS. An-Naml [27]: 31.
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa makna Islam sebagai relasi personal dan basis bagi relasi antar manusia. Ketika kita mampu tunduk dan pasrah kepada Tuhannya, sudah barang tentu akan menghasilkan perilaku keberislaman yang mendamaikan kepada sesamanya. Entah itu dalam bentuk perbuatan maupun perkataan.
Begitu juga dengan para pemangku agama, khususnya kepada para khotib. Sudah seyogyanya mimbar Jumat adalah ajang untuk mengajak para umat muslim, melalui toa-toa masjid, agar tunduk dan pasrah terhadap Allah SWT.
Penulis meyakini bahwa masih banyak khotib yang mengajak kepada Islam ra(h)mah bukan marah. Mengasihi bukan mencaci maki. Merangkul bukan memukul. Mengajak bukan mengejek. Wallhua’alam bish-showab.