Hukum Salat Jum’at Ketika Khatib Lupa Tidak Membaca Salawat atas Nabi

 Hukum Salat Jum’at Ketika Khatib Lupa Tidak Membaca Salawat atas Nabi

Hukum Salat Jum’at Ketika Khatib Lupa Tidak Membaca Salawat atas Nabi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta –  Hari Jum’at memiliki beberapa keistimewaan dibanding dengan hari-hari yang lain.

Di antaranya, hari Jumat disebut yaum al-arubah (hari agung) dan yaum al-mazid (hari penghargaan), karena pada hari Jumat Allah membuka pintu rahmat-Nya, karunia-Nya dan membentangkan kebaikan untuk hamba-hamba-Nya.

Ada dua pendapat ulama tentang kapan salat Jum’at mulai diwajibkan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa salat Jum’at mulai diwajibkan ketika Nabi Muhamamd masih di Mekkah. Pendapat ini dinisbatkan kepada imam Abu Hamid.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa kewajiban salat Jum’at baru diwajibkan ketika Nabi Muhammad saw. migrasi ke Madinah.

Pendapat yang kedua ini dinisbatkan kepada imam Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip imam Abu Bakar Syatha’ dalam kitabnya I’anat al-Thalibin.

Imam Abu Bakar Syatha’ kemudian mengkompromikan kedua pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa barangkali yang dimaksud salat Jum’at mulai diwajibkan di Madinah adalah harapan Nabi Muhammad agar kewajiban salat Jum’at bisa dikerjakan di Madinah.

Alasannya, karena di Madinah tidak ada penghalang/penghambat bagi mereka.

ويمكن حمل قوله فرضت بالمدينة على معنى أنه استقدر وجوبها عليهم فيها، لزوال العذر الذي كان قائما بهم. (والحاصل) أنها  طلب فعلها بمكة لكن لم يوجد فيها شرائط الوجوب. ووجدت في المدينة، فكأنهم لم يخاطبوا بها إلا فيها.

Artinya:

“Barangkali yang dimaksud dengan dawuh Ibnu Hajar al-Asqalni bahwa salat Jum’at diwajibkan di Madinah maksudnya adalah harapan Nabi Muhammad agar salat Jum’at dilaksanakan di Madinah, karena di kota itu tidak ada penghambat bagi mereka.

Kesimpulannya, Nabi sebenarnya berharap agar kewajiban salat Jum’at dilaksanakan di Mekkah, namun syarat wajibnya tidak terpenuhi.

Syarat wajib tersebut baru terpenuhi ketika beliau sudah berada di Madinah. Seolah-olah mereka tidak dikhitabi (untuk salat Jum’at) kecuali ketika mereka sudah berada di Madinah.” (Abu Bakar Syatha’, I’anat al-Thalibin, juz 2, hlm. 62)

Rukun Khutbah Jum’at dalam Pandangan Fuqaha’

Dalam pelaksanaan salat Jum’at, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan karena berkonsekuensi terhadap keabsahan salat Jum’at.

Khutbah Jum’at sendiri memiliki beberapa rukun diantaranya didirikannya khutbah Jum’at sebelum pelaksanaan salat Jum’at.

Syaikh Salim bin Abdullah al-Hadhrami dalam kitabnya Safinat al-Najah membagi rukun khutbah Jum’at menjadi lima (5).

Membaca Hamdalah pada Khutbah Pertama dan Kedua

Bacaan hamdalah dalam khutbah Jum’at harus menggunakan kalimat-kalimat tertentu yang mengandung pujian dan menggunakan lafal Allah, seperti alhamdulillah, ahmadullah, ana hamidullah, atau lillahil hamdu.

Oleh karena itu, tidak cukup (tidak sah) menggunakan nama atau sifat-sifat Allah, seperti alhamdu lirrahman atau alhamdu lil khaliq.

Membaca Salawat atas Nabi

Membaca salawat atas Nabi Muhammad harus dibaca pada kedua khutbah. Kalimat salawat pun tidak disyaratkan harus menyebut nama “Nabi Muhammad”, tetapi cukup menggunakan kalimat al-nabi al-musthafa, imam al-mursalin dan lain-lain.

Tetapi tidak diperbolehkan (tidak sah) hanya menggunakan isim dhamir, seperti allahumma shalli wasallim alaihi meskipun sebelumnya telah disebutkan marji’nya.

Berwasiat untuk Ketakwaan

Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiyah al-Bajuri, bahwa redaksi wasiat tidak bersifat paten.

Artinya, yang terpenting adalah kalimat-kalimat yang mengandung pesan anjuran untuk berbuat ketaatan dan larangan untuk bermaksiat.

Membaca Ayat Al-Qur’an

Syaikh Abu Bakar Syatha’ dalam I’anat al-Thalibin menegaskan bahwa ayat Alqur’an yang dibaca oleh khatib boleh ayat-ayat yang mengandung janji, ancaman, hukum, dan kisah.

Ia melanjutkan bahwa ayat-ayat Alqur’an lebih utama dibaca pada khutbah pertama, sebagai muqabalah (pembanding/penyeimbang) do’a untuk orang-orang mukmin di khutbah kedua. (Abu Bakar Syata’, I’anat al-Thalibin, Haramain: Surabaya, juz 2, hlm. 66)

Berdo’a untuk Orang Mukmin pada Khutbah Kedua

Kandungan do’a untuk orang mukmin laki-laki dan perempuan disyaratkan mengandung nuansa akhirat seperti Allahummaghfir lil mukminan wal mukminat atau Allahumma ajirna min al-nar (Ya Allah selamatkan kami dari apa neraka).

Dengan begitu, tidak dianggap cukup bagi khatib berdo’a tentang urusan dunia, seperti Allahummar zuqna malan kasiran (Ya Allah anguerahkan kepada kami harta yang banyak).

Khatib Lupa Tidak Membaca Salawat atas Nabi

Jika merujuk pada kitab Kasyifat al-Saja bahwa salawat atas Nabi Saw. termasuk salah satu dari rukun khutbah Jum’ah, dan khutbah Jum’ah menjadi syarat sahnya salat Jum’ah, maka artinya ada satu rukun yang tertinggal.

Konsekuensinya, khutbah Jum’ah menjadi tidak sah. Karena khutbah Jum’ah tidak sah, maka salat Jum’ah pun menjadi batal.

Jika salat Jum’ah batal, maka harus i’adah salat zuhur.

فهذه الأركان الثلاثة أركان لكلا الخطبتين، لا يصح كل منهما إلا بها

Artinya:

“Ketiga rukun ini adalah rukun pada masing-masing kedua khutbah, dan kedua khutbah tidak sah kecuali dengan ketiga rukun tersebut.” (Musthafa Bugha, al-Fiqh al-Manhaji, juz 1, hlm. 206)

Oleh karena itu, agar salat Jum’ahnya tetap sah, maka konsekuensinya khutbah Jum’ah harus diulang dari awal, setelah khatib ingat atau diingatkan oleh jemaah dengan cukup membaca rukun-rukunnya saja.

Jika khatib merasa tidak ada rukun yang terlupakan, namun faktanya ia benar-benar meninggalkan satu rukun, maka harus ada satu orang dari jemaah (tentunya yang paham fikih Jum’at) segera berdiri/naik mimbar agar salat Jum’ah menjadi sah.

Meski begitu, empat mazhab fikih tidak terjadi kesepakatan dalam masalah ini.

Dalam mazhab Maliki misalnya, salawat atas Nabi tidak dimasukkan dalam urutan rukun-rukun khutbah, namun hanya bersifat sunnah.

وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ مُسْتَحَبَّةٌ كَالْقِرَاءَةِ فِيهَا وَالِابْتِدَاءِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ

Artinya:

“Salawat atas Nabi Saw. dalam khutbah Jum’ah hukumnya adalah sunnah, sebagaimana bacan-bacaan di dalamnya dan termasuk bacaan hamda Allah ketika mengawali khutbah.” (Ali bin Ahmad bin Mukrimullah al-Adawi, Hasyiyah al-Adawi ala Kifayat al-Thalib al-Rabbani, juz 1, hlm. 473)

Walhasil, hukum salat Jum’ah dimana khatib lupa tidak membaca salawat atas Nabi Muhammad saw. atau rukun-rukun khutbah yang lain, menurut mazhab Syafi’i berkonsekuensi terhadap keabsahannya.

Jika khatib ingat bahwa ia telah meninggalkan sebagian rukun khutbah, sementara salat Jum’at belum dilaksanakan, maka ia wajib mengulangi khutbhanya dari awal.

Namun jika ingatnya setelah salat Jum’at selesai, maka ia dan jemaahnya harus mengulang salat zuhur.

Berbeda dengan mazhab Maliki yang berpendapat bahwa bacaan salawat atas Nabi Muhammad saw., hanya bersifat sunnah.

Konsekuensinya, dalam kasus di atas, tidak berimbas pada keabsahan salat Jum’ah. Wallahu a’lam. []

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *