Syu’bah Asa dan Kritik Sosial Melalui Tafsir Al-Qur’an
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sudah menjadi pengetahuan umum di Indonesia bahwa sepanjang rezim kekuasaan Orde Baru melakukan sejumlah penundukkan terhadap suara-suara kritis dan gerakan kontra rezim Orde Baru.
Ironinya hal tersebut dilakukan dengan dalih subversif. Istilah subversif sendiri dipakai sebagai strategi politik untuk memberangus suara-suara kritis yang dianggap sebagai ancaman penguasa.
Suara-suara pers, mahasiswa, tokoh masyarakat, ulama, akademisi, seniman, budayawan dan seluruh lapisan masyarakat yang kritis terhadap pemerintah pasti akan dibungkam dengan berbagai cara dan pendekatan.
Semuanya dilakukan rezim Orde Baru dengan tujuan membangun stabilitas sosial-politik dan mengamankan pembangunan.
Beragam kebijakan diterapkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Islah Gusmian (2018) memandang bahwa kebijakan yang dibuat, khususnya yang berhadapan dengan kepentingan umat Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar, yakni: pertama, kebijakan yang dipandang secara umum tidak sejalan dengan prinsip dan kepentingan umat Islam.
Kedua, dipandang sejalan, dan ketiga, kebijakan yang melahirkan pro dan kontra di kalangan umat Islam.
Dari sinilah kemudian muncul berbagai respon, baik yang disampaikan secara langsung maupun yang dinarasikan melalui karya, salah satunya Syu’bah Asa.
Mengenal Syu’bah Asa
Syu’bah Asa merupakan seorang jurnalis yang lahir pada 21 Desember 1941. Ia dilahirkan di tengah keluarga yang religius.
Kecintaannya pada buku sudah terjalin sejak berada di bangku Madrasah Menengah. Riwayat pendidikannya bisa dibilang bagus, ia mengenyam pendidikan Strata Satu di IAIN Sunan Kalijaga dengan jurusan filsafat.
Rihlah menuntut ilmunya di Yogyakarta juga dibarengi dengan menjadi santri kalong di Pesantren Krapyak (Islah Gusmian; 2016).
Belajar filsafat tidak kemudian membuatnya kaku, terbukti ia menunjukkan perhatiannya terhadap seni.
Beberapa track record-nya yakni pernah menjadi sutradara, menjadi penyiar radio, konduktor paduan suara, menulis cerpen, sajak, dan segenap kerja-kerja budaya lainnya.
Setelah aktif menjadi seniman, pada tahun-tahun berikutnya Syu’bah berkarir sebagai wartawan.
Berbagai lembaga pers terkenal pada waktu itu menjadi rumah bagi Syu’bah, di antaranya Tempo.
Hingga akhirnya di penghujung karirnya sebagai wartawan, Syu’bah bekerja di majalah Panji Masyarakat.
Di sinilah ia aktif menulis tafsir Al-Qur’an yang diberi judul Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, di mana tulisannya terbit sebagai sebuah serial di majalah tersebut.
Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik
Karya Syu’bah ini lahir di akhir penghujung kekuasaan rezim Orde Baru. Jika membaca bukunya secara langsung, maka ditemukan bahwa buku ini secara keseluruhan dan setiap bagiannya adalah tafsir tematik.
Menariknya, Syu’bah memberikan sentuhan unik pada tafsirnya, yang mana bagi Kuntowijoyo, tafsir tematik Syu’bah berbeda dengan Quraish Shihab maupun Dawan Rahardjo.
Jika keduanya menuliskan dengan banyak topik dan dalam setiap topik ada sejumlah ayat yang relevan, maka dalam buku Syu’bah penyajian tafsirnya memiliki khas tersendiri.
Misalnya, setiap bab dimulai dengan mengemukakan satu ayat yang relevan dengan topik bahasan.
Kemudian menyajikan kata-kata kunci berdasarkan artian kata dan penafsiran kata tersebut menurut beberapa mufasir klasik dan kontemporer.
Di samping itu Syu’bah juga terlihat memberikan berbagai pandangan dari sisi Sunni, Syii, bahkan beberapa tempat mengutip mufasir dari Ahmadiyah Lahore.
Berikutnya terkait pendekatan yang digunakan yakni semantik, komparatif dan historis.
Dari sisi historis inilah kemudian Syu’bah bisa mengkontekstualisasikan penafsirannya sesuai waktu dan peristiwa saat itu.
Maka tidak berlebihan jika Kuntowijoyo dalam pengantarnya untuk Dalam Cahaya Al-Qur’an bahwa tafsir ini sesuai dengan semangat jiwa-zamannya.
Selain itu tafsir ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu memang hidup, berbicara dan menjadi petunjuk untuk umatnya.
Dalam Cahaya Al-Qur’an sendiri menguraikan 57 tema yang diklasifikasikan ke dalam 7 bagian.
Tentunya secara keseluruhan membicarakan tentang masalah-masalah kontekstual yang terjadi di Indonesia, seperti keadilan, pelanggaran HAM, kekerasan, kekuasaan yang KKN, dan keberagamaan yang sebatas simbol.
Adapun contoh tafsirnya yang mengkritik rezim Orde Baru, salah satunya dalam kasus korupsi yang mengakar di tubuh birokrasi (Syu’bah: 2000, 173, 373). Di sini Syu’bah mengambil Q.S. al-Nisa [4]: 135, ayat ini berbicara tentang penegakkan keadilan.
Kemudian Syu’bah mengaitkannya dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan petinggi di era Orde Baru. Dengan nada menyindir khas jurnalisme, Syu’bah menulis tafsirnya:
“Padahal, berapa gaji seorang presiden? Punyakah dia perusahaan? Ke manakah, sekali lagi, dana yayasan-yayasan di bawah dia?
Atau seperti dicontohkan Abdul Hakim Garuda Nusantara, apakah sikap kerasnya untuk memberikan fasilitas buat mobil nasional (Timor), dengan memanfaatkan negara, tergolong atau tidak tergolong korupsi?
Juga, misalnya, Keppres tentang penggunaan dan reboisasi untuk IPTN? Masalahnya jadi tidak sederhana.
Presiden berhak mengeluarkan Keppres. Sementara itu lebih dari 50 Keppres, seperti ditemukan lembaga pimpinan Mar’ie Muhammad, dibuat dengan indikasi untuk kepentingan Soeharto, keluarga, dan kawan-kawan.”
Selanjutnya Syu’bah juga menghubungkannya dengan Q.S. Al-Baqarah [2]: 183 tentang berpuasa, agar para pejabat menjaga amanah yang seharusnya dijaga oleh setiap insan.
Entah ia menjadi guru, lurah, camat, menteri dan jabatan-jabatan lainnya. Uraian tersebut adalah salah satu contoh dari penafsiran Syu’bah.
Karakteristik penulisan khas jurnalis memang kuat dalam tafsirnya, dengan bahasa yang sarkas dan menyindir.
Bahkan melalui diksi-diksi yang digunakan, Syu’bah tidak hanya menyampaikan gagasan dan pesan Tuhan melalui penafsiran, namun ia juga melibatkan diri dalam ruang kontentasi wacana yang terjadi.
Nalurinya sebagai wartawan yang kritis juga menjadi landasan kuat dalam mengkonstruksi narasi-narasi tafsirnya tersebut. []