Bincang Tafsir: Memahami Qu’an Surah An-Najm Ayat 4
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di antara ciri seorang pembelajar adalah selalu menggali dan mendalami sesuatu serta terbuka terhadap pemahaman yang baru dan berbeda.
Tak jarang sesuatu yang sudah dianggap sebagai hal musallam (diterima banyak orang) mengandung sisi lemah yang terabaikan atau sengaja diabaikan.
Karena itu, merubah pendapat bukanlah sebuah aib ketika menemukan pendapat baru yang jauh lebih kuat dan argumentatif.
Justru yang tercela itu jika bertahan dengan pendapat yang lama padahal sudah terbantahkan oleh pendapat lain yang lebih bisa diterima.
Masalah apakah sunnah Nabi itu seluruhnya wahyu ataukah ada yang bersifat wahyu dan ada yang bersifat ijtihad beliau, sesungguhnya adalah masalah khilafiyah sejak dulu.
Sebagian kalangan ahl al-hadits lebih cenderung kepada yang pertama (dan ini juga yang dipakai oleh tokoh-tokoh salafi saat ini).
Sementara kalangan Ushuliyyin lebih cenderung kepada yang kedua; bahwa tidak semua hadits Nabi itu adalah wahyu.
Ada juga yang berupa ijtihad dari beliau. Walaupun tentunya ijtihad itu tetap ‘diawasi’ oleh wahyu.
Artinya, seandainya ijtihad itu ‘keliru’ wahyu akan turun untuk meluruskannya.
Tapi yang menjadi poin kita dalam tulisan ini adalah dalil yang digunakan oleh kalangan yang mengatakan bahwa sunnah adalah wahyu.
Dalil utama yang sering dijadikan sebagai pijakan adalah Q.S. An-Najm ayat 4:
وَما يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحى
Artinya:
“Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya. Tidak lain ia adalah wahyu yang diturunkan padanya.”
Benarkah ayat ini bisa menjadi dalil bahwa semua yang Nabi Muhammad ucapkan adalah wahyu?
Syekh Thahir Ibnu ‘Asyur mengatakan:
“Lafaz an-Najm di awal surat yang dijadikan sebagai objek sumpah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah al-Quran yang diturunkan secara bertahap-taham (munajjam).
Digunakan kata ini sebagai media sumpah karena ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa al-Quran itu adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt.”
Syekh Ibnu ‘Asyur tidak menepis kemungkinan bahwa yang dinafikan dalam ayat itu (bahwa ia berasal dari hawa) tidak hanya al-Quran saja, tapi juga semua yang keluar dari mulut Nabi Saw.
Tentu saja Nabi Saw tidak mungkin berbicara karena hawa nafsu. Petunjuk, nasehat, dan apapun yang keluar dari mulut Nabi Saw, tidak didasarkan pada hawa nafsu. Tetapi pada akhirnya…
وَلَكِنَّ الْقُرْآنَ هُوَ الْمَقْصُودُ لِأَنَّهُ سَبَبُ هَذَا الرَّدِّ عَلَيْهِمْ
Artinya:
“Al-Quran yang dimaksud dalam ayat ini karena memang ia yang menjadi sebab turunnya bantahan terhadap mereka…”
Artinya, ayat ini pada dasarnya turun untuk membantah orang-orang kafir yang meragukan sumber al-Quran.
Ada yang mengatakan al-Quran itu diajarkan oleh seseorang kepada Muhammad Saw.
Ada yang mengatakan ia sihir, ucapan orang gila dan sebagainya. Maka turunlah ayat ini untuk menolak semua tuduhan itu dan menegaskan bahwa al-Quran itu wahyu dari Allah Swt.
Karena itu Ibnu ‘Asyur mengatakan:
وَضَمِيرُ هُوَ يَعُودُ إِلَى الْقُرْآنِ
Artinya: “Dhamir هُوَ kembali kepada al-Quran.”
Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam tafsirnya juga mengatakan:
وَما يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى أي وما ينطق بهذا القرآن عن هواه ورأيه. وفيه تعريض بهم أيضا إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحى أي ما هذا القرآن إلا وحي من الله يوحيه إليه
Artinya:
“Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya” artinya al-Quran yang ia ucapkan tidaklah datang dari hawa dan pendapatnya.
Ini menjadi ta’ridh (sindiran) juga untuk mereka. “Tidak lain ia adalah wahyu yang diturunkan padanya” artinya tidaklah al-Quran ini melainkan wahyu dari Allah yang disampaikan kepadanya (Muhammad).”
Imam Ibnu ‘Athiyyah pengarang kitab al-Muharrar al-Wajiz bahkan mengatakan dengan tegas:
وقوله: إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحى يراد به القرآن بإجماع
Artinya:
“Firman Allah: “Tidak lain ia adalah wahyu yang diturunkan padanya” yang dimaksud adalah al-Quran secara ijmak.”
Mengenyampingkan sunnah tentu sebuah kesalahan. Tapi mengatakan bahwa sunnah sama posisinya dengan al-Quran adalah sebuah kelancangan.
Maka mari mengkaji sesuatu dari para ulama yang kredibel dan diakui kedalaman bahasannya.
Dan jangan takut merubah pendapat dan pemahaman kalau menemukan argumentasi dan dalil yang jauh lebih kuat.
والله أعلم وأحكم
[]