Sultan Sulaiman Al-Qanuni

 Sultan Sulaiman Al-Qanuni

Sejarah mencatat, Sultan Sulaiman Al-Qanuni merupakan sosok negarawan muslim yang paling ulung di zamannya. Kiprah dan perjuangannya dicatat dengan tinta emas, sebagai penguasa Muslim yang sukses   menyebarkan Islam sampai Balkan di Eropa.

Sultan Sulaiman AL-Qanuni adalah penguasa Turki Utsmani kedua yang mengenakan gelar Khalifah. Pada masa kepemimpinannya, Turki Utsmani menjelma menjadi negara adikuasa yang memiliki peran sangat penting di panggung dunia, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun militer.

Sultan Sulaiman memiliki kharisma yang sangat kuat sehingga ia dikagumi oleh kawan maupun lawan. Pada masa kekuasaannya, Turki Utsmani memiliki  armada militer yang sangat kuat dan tangguh sehingga tidak ada negara yang mampu menandinginya.

Penguasa Turki Utsmani yang mendapat gelar Solomon the Magnificent atau Solomon the Great dari barat ini lahir di Trabzon, sebuah kawasan pantai di Laut Hitam pada tanggal 6 November 1494. Sewaktu dilahirkan, ayahnya masih menjabat sebagai gubernur di daerah tersebut. Sang ayah, yaitu Sultan Salim, sangat peduli terhadap perkembangan kepribadian Sulaiman kecil. Oleh sebab itu, sejak kecil ia sudah dididik oleh sang ayah tentang ilmu seni berperang dan seni berdamai.

Pada usia 7 tahun, Sulaiman dikirim ke sekolah di Istana Topkapi, Istanbul untuk mempelajari sastra, sains, sejaraah, teologi dan taktik militer. Perhatian ayahnya yang demikian besar membuat Sulaiman tumbuh dalam suasana keilmuan yang kuat. Ia dikenal sebagai pribadi yang menyenangi sastra serta dekat dengan para sastrawan dan fuqaha. Sejak muda ia telah tampil sebagai sosok pemuda yang serius dan tenang dalam menghadapi berbagai masalah.

Sebelum menduduki takhta Turki Utsmani, Sulaiman pernah ditunjuk oleh sang ayah untuk menjadi gubernur pertama Provinsi Kaffa (Theodosia) saat masih berusia 17 tahun. Setelah itu ia menjadi gubernur Sharukhan (Manisa) dan memimpin masyarakat di daerah Edirne (Adrianopel).

Meski berdarah ningrat dan menjadi putra mahkota sebuah kesultanan  besar, Sulaiman muda adalah sosok yang rendah hati dan merakyat. Ia tidak melihat derajat seseorang dari keturunannya. Sahabat dekatnya adalah seorang budak bernama Ibrahim, yang kelak menjadi penasihat yang amat dipercayainya. Mengenai kepribadian Sulaiman, seorang utusan dari Venesia, Bartolomeo Cortalini dalam catatan perjalanannya ke Istanbul, mengatakan “ia adalah pemimpin yang bijaksana dan sangat cinta ilmu pengetahuan sehingga semua orang berharap banyak dari kepemimpinannya.

Sultan Sulaiman naik ke singgasana kekuasaan delapan hari setelah sang ayah tutup usia, tepatnya pada tanggal 30 September 1520. Ia menjadi penguasa ke-10 dari Kesultanan Turki Utsmani. Ketika itu umurnya baru 26 tahun.

Meski berkuasa pada usia yang masih muda, Sultan Sulaiman dikenal sebagai sosok yang sangat berhati-hati dan tidak terburu-buru dalam mengambil sebuah tindakan. Sebelum mengambil keputusan, ia akan memikirkannya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, setiap keputusan yang diambilnya senantiasa terukur dan sesuai dengan kebutuhan.

Sebagai pemimpin, yang menarik dari kepribadian Sultan Sulaiman, ia tidak akan pernah menarik kembali keputusan yang telah diambilnya. Ia sangat konsisten dan tidak mudah berubah-ubah hanya karena mendengar masukan dari kiri-kanan. Dengan gaya kepemimpinan seperti inilah, ia berhasil membawa Turki Utsmani mencapai puncak kejayaannya.  

Pada awal masa kekuasaannya, Sultan Sulaiman mendapat cobaan yang sangat berat. Terjadi pemberontakan yang berlangsung secara bersamaan. Pemberontakan ini membuat energinya terkuras sehingga ia tak mampu meneruskan gerakan jihad ke berbagai daerah di kawasan Balkan. Pemberontakan ini ditimbulkan oleh ambisi para gubernur wilayah untuk menjadi penguasa tunggal. Mereka melihat pergantian kepemimpinan di tingkat pusat dan tampilnya sultan yang masih muda sebagai kesempatan untuk memerdekakan diri.

Pembertontakan pertama dilakukan oleh Jan Bardi al-Ghazali, gubernur Syam. Ia menyatakan memberontak terhadap pemerintahan Sultan Sulaiman dan secara terang-terangan berusaha menguasai Aleppo. Pemberontakan Gubernur Syam ini berhasil dipadamkan oleh Sultan Sulaiman dalam waktu yang tidak lama. Pasukan Sultan Sulaiman berhasil memenggal dan mengirim kepala pemimpin pemberontak ke Istanbul sebagai bukti bahwa pemberontakan di Syam telah berhasil dipadamkan.

Pemberontakan kedua dilakukan oleh Ahmad Syah, seorang pengkhianat yang berasal dari Mesir, pada 1524 M/930 H. ia dikenal sebagai orang yang sangat tamak akan kekuasaan. Ahmad Syah berusaha mengambil alih tampuk kepemimpinan Turki Utsmani tetapi tidak berhasil. Pasukan Turki Utsmani berhasil menumpas dan membunuhnya.

Pada awalnya Ahmad Syah meminta bantuan sultan Turki Utsmani untuk menduudki posisi gubernur di Mesir. Sultan kemudian menobatkan dirinya sebagai gubernur Mesir. Namun setelah sampai di Mesir, ia berusaha mempengaruhi opini publik dan menyatakan dirinya sebagai sultan yang independen. Perbuatannya ini kemudian mendapat penolakan dari pada ulama sehingga pasukan Turki Utsmani dengan sigap segera melakukan pencegahan terhadap pembankangan ini.

Pemberontakan ketiga dilakukan oleh kaum Syiah Rafidhah yang dipimpin oleh Baba Dzunnun pada tahun 1526, di wilayah Yuzaghad. Ketika itu Baba Dzunnun berhasil mengumpulkan sekitar tiga sampai empat ribu pasukan pemberontak dan menetapkan pemungutan pajak atas wilayah yang dikuasainya.

Dari waktu ke waktu Baba Dzunnun terus menghimpun kekuatan sehingga pasukannya berhasil mengalahkan beberapa pasukan Turki Utsmani yang berusaha untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukannya. Pemberontakan Dzunnun pun berakhir seiring dengan terbunuhnya Baba Dzunnun. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Istanbul sebagai bukti bahwa pemberontakan ini telah berakhir.  

Pemberontakan keempat juga dilakukan oleh orang-orang Syiah Rafidhah. Kali ini terjadi di dua wilayah sekaligus. Yaitu di Qowniyyah dan Mar’asy, di bawah pimpinan Qalandar Jalabi yang memiliki pengikut sekitar 30.000 orang Syiah. Mereka membunuh orang-orang Sunni yang berada di dua wilayah tersebut. Sebagian sejarawan mengatakan, Qalandar Jalabi mendoktrin pengikutnya bahwa siapa pun yang berhasil membunuh seorang muslim Sunni, ia telah meraih pahala yang amat besar.

Untuk menghadapi pemberontakan ini, pada awalnya Sultan Sulaiman mengirim pasukan di bawah pimpinan Bahram Pasya. Namun pasukan ini berhasil dikalahkan oleh kaum pemberontak dan Bahram Pasya sendiri mati terbunuh. Pemberontak ini akhirnya berhasil setelah Ibrahim Pasya membujuk kaum pemberontak untuk berpihak kepadanya dan ia kemudian membunuh Qalandar Jalabi.

Setelah masalah dalam negeri selesai, barulah Sultan Sulaiman melanjutkan ekspansi Turki Utsmani ke wilayah Eropa. Dia segera mengatur siasat untuk menaklukkan beberapa wilayah di Eropa yang belum tunduk kepada Turki Utsmani.

Pemimpin di Hati Rakyat

Sultan Sulaiman mendapat gelar Al-Qanuni atas jasanya mengkaji dan menyusun sistem perundang-undangan Kekhalifahan Turki Utsmani. Ia berhasil melaksanakan undnag-undang itu secara teratur dan tanpa kompromi, meskipun masyarakat Islam ketika itu memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Ia menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam terhadap seluruh rakyat Turki Utsmani yang tersebar di berbagai wilayah, mulai dari Eropa, Persia, Afrika hingga Asia Tengah.

Sultan Sulaiman adalah seorang penguasa yang merakyat. Dalam pandangannya, setiap rakyat memiliki hak yang sama. Baginya tidak ada perbedaan seseorang berdasarkan pangkat maupun derajatnya. Selain itu, ia juga menjamin kebebasan dan toleransi kehidupan beragama. Pada masa kekuasaannya, umat Islam, Yahudi dan Nasrani dapat hiduo secara berdampingan dengan aman dan damai.

Selama berkuasa,  Sultan Sulaiman melakukan berbagai upaya untuk menjaga pemerintahannya agar tetap kuat dan dicintai oleh rakyat. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah memilih gubernur yang benar-benar berkualitas. Ia sangat selektif dalam menunjuk gubernur yang mewakili setiap provinsi. Baginya, popularitas dan status sosial tidak menjadi syarat untuk menjadi gubernur.

Hasilnya, setiap gubernur yang dipilih dan dilantiknya adalah sosok pemimpin yang bersih dan benar-benar berkualitas. Dengan demikian, wilayah kekuasaan Turki Utsmani yang begitu luas bisa bersatu dan tumbuh dengan pesat menjadi sebuah kekuatan yang sangat diperhitungkan di seluruh dunia.

Sultan Sulaiman dikenal pula sebagai pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap kemajuan budaya. Ia sangat mencintai seni dan budaya dan bahkan dikenal pula sebgai salah seorang penyair yang hebat dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa kekuasaannya, Istanbul, ibu kota Turki Utsmani menjelma menjadi pusat kesenian visual, musik, penulisan, serta filsafat. Kecintaan Sultan Sulaiman terhadap seni dan budaya terlihat dari berbagai proyek arsitektur dan budaya yang dibangun pada masa kekuasaanya.

Istanbul pun menjelma sebagai kota yang paling inovatif di bidang arsitektur di seluruh dunia. Ia memerintahkan pembangunan berbagai mega proyek, seperti jembatan, masjid, istana, dan universitas. Pembangunan yang berdenyut di Istanbul ketika itu tercatat sebagai proyek yang terbesar di dunia.

Masa pemerintahan Sultan Sulaiman terbilang sangat panjang. Ia berkuasa selama 46 tahun. Selama masa itu ia berhasil meraih banyak kemenangan dalam berbagai peperangan sehingga wilayah Turki Utsmani terbentang dari timur hingga barat.

Kecintaan Sultan Sulaiman kepada ilmu pengetahuan diwujudkannya dengan mendirikan Universitas Sulaimaniah. Sama seperti pembangunan masjid Agung Sulaiman, pembangunan perguruan tinggi itu dilakukan oleh arsitek ulung bernama Mimar Sinan. Sultan Sulaiman pun sempat menulis salinan Al-Qur’an dengan tangannya sendiri. Salinan itu kini disimpan di Masjid Agung Sulaiman,

Sultan sulaiman meninggal dunia pada usia 71 tahun. Ia meninggal di Szgetvar, Hungaria, pada 5 juni 1566. Ia dimakamkan di komplek Masjid Agung Sulaiman, Istanbul. Kehebatannya selama memimpin Turki Utsmani tetap dikenang sampai sekarang.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *