Standarnya Tetap Niat
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Suatu ketika Syekh Abu Bakar al-Kattani menjenguk Syekh Khidhir as-Suhaimi yang sedang sakit.
Syekh as-Suhaimi menghidangkan makanan untuk tamunya. Syekh al-Kattani tidak mau menyentuh makanan itu. Ia beralasan, “Ada hadits yang berbunyi:
إذا عاد أحدكم مريضا فلا يأكل عنده شيئا فإن ذلك حظه من عيادته
Artinya:
“Apabila kamu menjenguk orang yang sakit maka janganlah makan sedikitpun di rumahnya karena (kalau ia makan) itulah bagiannya dari menjenguk.” (Maksudnya, ia tak mendapat pahala apa-apa dari menjenguk itu selain makanan yang ia makan).
Syekh as-Suhaimi berkata, “Saya tak pernah mendengar hadits itu. Yang saya tahu ada hadits yang berbunyi:
من عاد مريضا ولم يأكل عنده فكأنما عاد جيفة
Artinya:
“Siapa yang mengunjungi orang yang sakit dan ia tidak makan apapun di rumahmya maka seolah-olah ia mengunjungi bangkai.”
Sayyid Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari mengomentari kisah ini:
“Hadits yang disebutkan Syekh as-Suhaimi adalah hadits batil, tidak punya asal. Sementara hadits yang disebutkan Syekh al-Kattani adalah hadits lemah yang tidak bisa dijadikan dasar untuk beramal.
Yang menjadi patokan sesungguhnya adalah niat. Siapa yang mengunjungi orang sakit dengan tujuan bisa makan di rumahnya maka itulah bagian yang didapatnya.
Ia tidak beroleh pahala sama-sekali. Dan siapa yang mengunjungi orang yang sakit, lalu si sakit atau keluarganya memuliakan kedatangannya dengan menghidangkan makanan, maka termasuk akhlak yang mulia menghibur hati si sakit dengan mencicipi hidangan tersebut, meskipun ia sebenarnya tidak punya nafsu untuk makan.
Inilah sunnah. Sebagaimana diriwayatkan Imam Thabarani dalam kitab Makarim al-Akhlak dari Tsabit al-Bunani, ia berkata:
“Kami mengunjungi Anas bin Malik yang sedang sakit. Kemudian ia berkata pada pembantunya, “Hidangkanlah untuk tamu kita ini meskipun sepotong roti, karena aku pernah mendengar
Rasulullah Saw bersabda:
مكارم الأخلاق من أعمال أهل الجنة
Artinya: “Akhlak yang mulia itu adalah amalan ahli surga.”
Ini juga bisa diqiyaskan pada takziah ke rumah mayat. Perbaiki niat untuk datang. Semata-mata untuk mendapat ridha Allah dan menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Tapi ketika dihidangkan makanan oleh tuan rumah, dianjurkan untuk mencicipi hidangan itu demi menjaga perasaan shahibul bait.
Tuan rumah juga tidak perlu merepotkan diri dengan menghidangkan makanan untuk para pelayat.
Mereka tentu mengerti bahwa kita dalam keadaan berduka sehingga tidak bisa melayani tamu dengan sempurna.
Cukup hidangkan apa yang bisa dihidangkan. Tak perlu menyiapkan makanan baru apalagi sampai berhutang pada tetangga.
Hanya saja, dalam hal ini yang jadi problem utama bukan pelayat yang berharap diberi makan, bukan juga tuan rumah yang memaksakan diri untuk melayani tamu, melainkan adat dan budaya yang sudah berurat-berakar dalam masyarakat.
Ada kesan yang kurang baik ketika tuan rumah tidak menghidangkan apa-apa untuk para pelayat.
Akhirnya mereka memaksakan diri untuk melayani para tamu meski dalam keadaan sedang berduka kehilangan orang tercinta.
Karena itu, mari merubah adat agar sejalan dengan tuntunan syariat.
والله أعلم وأحكم
[]