Sisi Menarik Kiai Katib: Guru Seniman dan Sastrawan
HIDAYATUNA.COM – Sisi menariknya seorang kiai kalau sudah muncul di youtube dan kemudian video-video ceramahnya dibagi-bagikan ke banyak pemirsa, akan menjadi tokoh yang perlahan-lahan terkenal. Sebut saja Gus Baha sebagai contoh nyatanya.
Beliau mulanya hanya sekali muncul, kemudian beberapa kali muncul, hingga sekarang muncul di mana-mana. Penonton video ceramah beliau di berbagai macam sosial media sudah begitu banyaknya.
Istilah populer untuk mereka adalah santri online. Benar?
Meski begitu, sepertinya penting juga untuk menilik dan mengambil ilmu kepada kiai-kiai yang tidak terkenal, tapi memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Sebab tidak terkenal di media sosial artinya harus mengikuti pengajian beliau-beliau secara langsung, dalam arti, duduk bersama jemaah lain di majelis mereka.
Kali ini kita akan membahas sosok kiai kampung yang unik. Beliau kebetulan merupakan kiai saya sendiri di Pondok Pesantren Fadlun Minalloh.
Nama beliau adalah Muhammad Katib Masyhudi. Beliau adalah putra dari KH. Masyhudi Hamid, seorang kiai yang merupakan mantan tentara antara tahun 1945-1950 di bawah pimpinan Letnan Qomarudin, juru serangnya Letkol Soeharto. Selanjutnya saya akan menyebut Muhammad Katib Masyhudi dengan sebutan “Romo Kiai”.
Seorang Kaligrafer
Romo Kiai memiliki gurat tulisan yang indah. Tulisan-tulisan tangannya, baik Arab maupun latin, banyak dipuji oleh teman-teman dan guru-gurunya. Para dosen beliau ketika dulu beliau masih kuliah di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga) pun mengakuinya.
Menurut pengakuan beliau secara langsung, keterampilan tersebut beliau pelajari secara autodidak. Beliau sering melihat tulisan-tulisan bagus dan menirunya.
Saya sendiri dulu ketika masih MA, sempat mengikuti lomba kaligrafi dalam AKSIOMA (Ajang Kreativitas Seni dan Olahraga Madrasah) tingkat Kabupaten Bantul. Rupanya, yang menjadi juri adalah Romo Kiai dan Pak Humaidi.
Dalam dunia kaligrafi, nama Pak Humaidi tentu sudah tak asing. Sebab beliau sempat memenangi lomba kaligrafi tingkat nasional.
Ketika tahu mereka menjadi juri, saya bertanya-tanya, apakah keduanya setara? Pertanyaan ini terjawab ketika suatu hari Romo Kiai bercerita bahwa beliau memang semasa dengan Pak Humaidi di dunia kaligrafi.
Mereka sempat bertemu dalam satu kompetisi dan Pak Humaidi yang beruntung karena keluar sebagai pemenang. Tulisan Pak Humaidi memang lebih berkaidah ketimbang tulisan Romo Kiai.
Mahir Membaca Kitab Kuning
Saya sendiri yang menjadi saksi mata dalam hal ini. Selama delapan tahun ngaji bersama Romo Kiai di pesantren, saya tidak ingat kapan beliau membuka kamus.
Kosa kata bahasa Arab seolah-olah sudah terdaftar semua dalam ingatan beliau. Hal itu membuat penasaran, tentu saja. Namun seiring berjalannya waktu, rasa penasaran tersebut disembuhkan oleh Romo Kiai yang sering bercerita soal masa lalunya.
Dulu, ketika kuliah, Romo Kiai adalah teman dekat Pak Yudian Wahyudi, rektor UIN Sunan Kalijaga priode sebelum sekarang. Beliau terlibat dalam proyek penerjemahan al-quran bersama Pak Yudian.
Namun, sebenarnya Romo Kiai belum paham bagaimana menerjemah yang baik dan benar. Beliau asal menerima tawaran.
Alhasil, setiap malam beliau harus menerjemah sekian lembar mushaf dengan deadline besoknya. Inilah yang membuat beliau akrab dengan kamus, akrab dengan tata bahasa Arab, dan akrab dengan pengalihbahasaan dari Arab ke Indonesia.
Di lain waktu, Romo Kiai membaca kitab kuning, kemudian merevisi tulisan dalam kitab tersebut. Menurut beliau itu salah, dan karena penasaran, saya memeriksa kitab yang sama dengan cetakan lain. Ternyata beliau benar.
Teguh Pendirian
Sejak dulu hingga sekarang, Romo Kiai teguh pada satu pendiriannya, yaitu: Ngaji. Beliau bahkan pernah berkata suatu kali dalam majelis rutinannya, “Kalau kira-kira kok sudah akan mati, saya ingin mati ketika ngaji.”
Akan tetapi, perlu digarisbawahi, Romo Kiai membantah bahwa membaca alquran adalah ngaji. Menurut beliau adat membaca alquran yang dilakoni mayoritas orang Indonesia baru sekadar membunyikan huruf-huruf saja.
Belum sampai pada tahap membaca. Membaca yang dimaksud adalah mengambil pengertian dari teks, sementara kita kalau membaca alquran tidak dapat pengertian apa-apa.
Tentu sebabnya adalah karena kita tidak tahu artinya. Kalau tahu artinya pun, belum tentu tahu maknanya. Kalau tahu makananya pun, belum tentu paham apa maksudnya.
Kalau paham maksudnya pun, bahkan ya, belum tentu mau mengamalkan. Jadi, alangkah masih sangat jauh kita dari perlakuan yang “pantas” terhadap alquran.
Menurut Romo Kiai, ngaji adalah bahasa Jawa. Kalau dalam bahasa Arab yaitu tholabul ilmi, yang artinya “mencari pengertian”. Secara sederhana, menggunakan bahasa saya sendiri, ngaji adalah belajar.
Dulu ketika kecil, saya kalau mau ke musala pamit dulu ke orangtua, “Mak, aku mau ngaji dulu, ya.” Orangtua saya tidak membetulkan atau menyalahkan.
Saya kira memang benar, sebab saya “belajar” membunyikan huruf-huruf alquran. Saya belajar mencermati bentuk alif sampai ya’ hingga hafal, sekaligus belajar melafalkannya.
Setelah mahir, saya akan dihadapkan pada huruf-huruf yang mulai bersusun. Dua huruf tiga huruf. Tiga huruf empat huruf.
Sampai kemudian saya mampu mendeteksi huruf tunggal dan huruf sambung dengan harokatnya masing-masing dan melafalkannya dengan tempo cepat. Saya selesai pada tahap “ngaji/belajar” membunyikan huruf-huruf alquran.
Sayangnya, saya belum melangkah ke arah “ngaji/belajar” Alquran. Maksud saya isinya. Pada saat itu saya bangganya setengah mati karena merasa sudah selesai. Cuma tinggal menambah kelancaran saja.
Romo Kiai berkomentar, “Itu pembelajaran kelas SD.” Ya, benar. Saya menyadarinya sekarang. Sayangnya, orang-orang tidak beranjak ke SMP, SMA, dan seterusnya.
Beliau pun memberi solusi untuk semua orang yang ada di majelisnya, “Inilah yang disebut ngaji. Seperti ini. Njenengan duduk, boleh sambil ngerokok dan nyruput kopi, selonjoran, senderan, tapi menyimak sungguh-sungguh omongan saya.”
Guru Para Seniman dan Sastrawan
Saya terkejut ketika mendengar bahwa dulu seorang sastrawan sekaligus seniman, Joni Ariadinata pernah mondok cukup lama di pesantren yang saat ini saya tempati. Saya juga terkejut ketika mendengar Romo Kiai bercerita bahwa dulu Acep Zamzam Noer sering ikut hadir di majelis-majelis ngaji beliau.
Saya terkejut lagi ketika mendengar pengakuan Romo Kiai bahwa beliau yang menikahkan Raudal Tanjung Banua dengan istrinya. Saya terkejut, untuk ke sekian kalinya, ketika tanpa sengaja melihat sebuah kliping koran bertajuk “Kiai dan Santrinya Seniman”.
Semua pernyataan tentu butuh pembuktian. Saya akhirnya membuktikan salah satu dari semua kabar tersebut.
Beberapa waktu lalu, saya menghubungi Abah Joni lewat inbox di facebook. Beliau ternyata menjawab.
Lewat sana, saya sampaikan kalau saya berniat mengunjungi kediaman beliau. Kemudian saya mendapat nomor WhatsApp beliau dan saya benar-benar sampai di sana, di rumahnya yang berada di pinggiran sungai.
Kami berbicara tentang Romo Kiai. Tak lama setelah itu, saya bahkan berhasil mengundang Abah Joni untuk hadir ke pesantren untuk bicara tentang dunia kepenulisan pada santri-santri. Dengan satu pembuktian ini, hanya yang pertama ini, saya kira saya sudah harus percaya dengan penyataan yang lain.
Gemar Bersepeda (Gowes)
Satu-satunya kiai yang seumuran Romo Kiai, saya kira hanya beliaulah yang mau dan mampu menempuh perjalanan begitu jauh, dari Jogja ke Lampung, dari Jogja ke Bali, dari Jogja ke Banten, dari Jogja ke Wonosobo, dan lain-lain. Masih banyak perjalanan gowes beliau yang sudah pernah dilakukan.
Perjalanan dari Jogja ke Lampung adalah yang paling jauh, yaitu sekitar 772 kilo meter. Terus terang kalau saya diajak pergi gowes dengan jarak tempuh sejauh itu, mungkin akan ciut nyali.
Banyak orang yang tidak percaya. Ah, pasti di tengah perjalanan sepedanya diangkut. Ah, paling-paling baru 5 kilo sudah nggak kuat, dan lain-lain.
Ada banyak komentar mengenai pengalaman gowes Romo Kiai, namun, beliau santai saja. Toh, komentar orang tidak akan mengubah kenyataan yang sudah terjadi. Sejarah sudah tercatat.
Sosok Kiai yang Sederhana dan Zuhud
Romo Kiai M. Katib Masyhudi adalah Kiai yang amat sederhana dan zuhud. Beliau bertahan sangat lama menggunakan motor RC-nya, dan baru berhenti ketika motor tersebut tidak bisa lagi dipakai.
Gantinya pun bukan motor baru dengan merek baru, melainkan motor lawas dengan merek lawas juga. Honda Jialing. Beliau tidak perpakaian yang mewah-mewah. Hanya mengenakan baju koko atau batik, dengan peci yang hampir selalu sama.
Saya kira, semua harta benda yang dimiliki beliau ada bukan karena beliau ingin, tetapi karena memang diperlukan sehingga harus ada.
Satu pesan beliau yang sejak dulu sampai sekarang tak pernah hilang dari hati dan pikiran. Beliau pernah berpesan, “Ojo pengin sugeh! Ojo wedi kere!”
Kalau diterjemah ke dalam bahasa Indonesia, “Jangan kepingin kaya! Jangan takut miskin!”
Nafa’anallohu bihi wa bi’uluumihi fi ad-daaroin. Aamiin…
1 Comment
Alhamdulillah ikut bangga menjadi santri beliau