Sangkan Paraning Dumadi Dilihat Dalam Konteks Keislaman
HIDAYATUNA.COM – ‘Sangkan paraning dumadi’ dipercaya sebagai falsafah kehidupan dari nenek moyang (suku Jawa). Falsafah tersebut dituturkan oleh nenek moyang dengan cara lisan, tulisan (lewat serat-serat), dan juga lewat pentas pewayangan.
‘Sangkan paraning dumadi’ adalah sebuah filosofi untuk memahami manusia, memahami perjalanan sejati yang harus ditempuh oleh manusia di dunia ini. Tetapi sangat disayangkan beberapa kalangan mengatakan jika falsafah tersebut sangat jauh dari nilai keislaman.
Dalam beberapa kasus, ‘sangakan paraning dumadi’ dipahami sebagai ajaran kepercayaan Jawa, dan bukan bagian dari Islam. Padahal jika merujuk kepada masa nabi, ada beberapa filosofi budaya Barat yang masih Nabi gunakan.
Peristiwa tersebut disebut sebagai sinkretisme Islam, artinya adalah Islam bisa bersinggungan dengan nilai budaya dan adat di tempat agama Islam berkembang. Hal ini sebenarnya bisa juga dipakai dalam kasus ajaran ‘sangkan paraning dumadi’, bisa berpadu dengan Islam.
Ajaran Sangkan Paraning Dumadi
Filosofi Jawa ini sudah lama digunakan oleh nenek moyang sebagai bagian dari pengajaran agar bisa menjadi manusia yang sejati. Kemudian ketika Walisongo menyebarkan agama Islam, mereka melakukan dakwah dengan sangat arif dan santun.
Budaya-budaya Jawa yang tidak bertentangan dengan Islam masih tetap ada dan bahkan dipakai oleh para Walisongo sebagai media berdakwah. Seperti wayang, dan budaya lainnya, termasuk juga adalah ajaran sangkan paraning dumadi.
Sunan Kalijaga adalah salah satu dewan Walisongo yang menggunakan ajaran filosofi tersebut untuk mengajarakan perkara sufi pada murid-muridnya. Sunan Kalijaga juga yang kemudian memberikan makna ‘sangkan paraning dumadi’ sehingga bisa bernafaskan nilai-nilai keislaman.
Pada era selanjutnya, ada Ronggowarsito, pujangga Jawa yang juga menggunakan ajaran ‘sangkan paraning dumadi’ sebagai medianya dalam berdakwah. Lewat serat Gatoloco, Ronggowarsito mengurai makna dari ajaran ‘sangkan paraning dumadi’.
Istilah ‘sangkan’ berasal dari Bahasa Jawa berarti asal, sedangkan ‘paraning’ berarti tujuan, dan ‘dumadi’ berarti menjadi. Jadi, ‘sangkan paraning dumadi’ adalah ajaran yang memberikan pemahan tentang asal, tujuan dan apa fungsi dari dirinya (manusia).
Sangkan Paraning Dumadi dalam Cerita Pewayangan
Di dalam serat Gatholoco, Ronggowarsito menjelaskan jika asal dari manusia adalah penyatuan antara lingga (simbol kelamin laki-laki) dan yoni (symbol kelamin perempuan). Penyatuan antara keduanya kemudian akan menghasilkan jabang bayi. Jabang bayi tadi kemudian harus mencari tujuan, dan kenapa dia ada di dunia ini.
Ronggowarsito menggambarkan proses pencarian tujuan dan alasan adanya didunia ini dengan karakter Gatholoco. Karakter tersebut digambarkan sebagai karakter antagonis karena sering melakukan kritik pada para tokoh agama.
Tetapi perjalanan tersebut sebenarnya adalah proses pencarian tujuan dan makna hidup seseorang. Kemudian Sunan Kalijaga melukiskan ajaran ‘sangkan paraning dumadi’ dengan cerita pewayangan dengan judul Dewa Ruci.
Dalam cerita tersebut Sunan Kalijaga menggambarkan Dewa Ruci adalah Tuhan, tetapi ketika dimaknai lebih dalam, sosok Dewa Ruci adalah manusia itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena menurut ajaran para sufi, manusia itu berasal dari Tuhan, dan kemudian ketika sudah menemukan rasa kemanusiaannya maka dia sebenarnya telah kembali kepada tuhan.
Islam dan ajaran sangkan paraning dumadi
Beberapa kalangan masih beranggapan jika ajaran Jawa ini adalah sesat, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Alasan mereka adalah bahwa konsep penyatuan antara Tuhan dan manusia itu tidak akan pernah terjadi.
Padahal jika mau melihat literatur Islam, banyak tokoh-tokoh sufi yang membicarakan hal tersebut. Lewat ajaran ‘sangkan paraning dumadi’, Sunan Kalijaga dan Ronggowarsito ingin mengajarkan amalan tasawuf tentang bagaimana caranya menjadi manusia yang sejati.
Ketika orang sudah paham tentang asal-usulnya, tentang tujuannya hidup di dunia, maka mereka akan menjadi manusia yang sejati. Ketika sudah menjadi manusia yang sejati, ini berarti sudah memahami hakikat manusia hidup didunia ini.
Sebenarnya dalam Islam ada istilah kembalinya manusia pada Tuhan, yakni “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.” Arti dari kalimat tersebut adalah “sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kita akan kembali”.
Beberapa kalangan ulama sufi mengatakan jika kalimat tersebut adalah bagian dari dasar bahwa manusia yang sudah mengenal asal-usulnya (bagian dari Tuhan). Maka dia akan paham tujuan hidupnya, adalah kembali pada tuhan sebagai pemiliknya.
Sunan Kalijaga dan Ronggowarsito ingin mengajarkan tentang perjalanan hidup manusia sehingga mereka mengenal dirinya sendiri, yakni menjadi manusia yang sejati. Ketika sudah mengenal kesejatian diri, maka manusia bisa lebih dekat dengan Tuhan.
‘Sangkan paraning dumadi’ yang diajarkan oleh sunan Kalijaga dan Ronggowarsito sebenarnya adalah konsep mengenal jati diri manusia, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam.
Ajaran tersebut tidak bertentangan dengan nilai Islam sehingga bisa memberi pelajaran bagi kita bahwa budaya nenek moyang dan ajaran islam tidaklah bertentangan. Semuanya terhubung asalkan kita memahami makna dibalik ajaran tersebut.