Rufaidah Al-Aslamiyah, Perawat Perempuan Pertama dalam Islam

 Rufaidah Al-Aslamiyah, Perawat Perempuan Pertama dalam Islam

Perawat Perempuyan Pertama dalam Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Berbicara tentang perempuan tak ada habis-habisnya. Sejak Islam datang, martabat perempuan diangkat oleh derajatnya, salah satunya dengan dibolehkannya perempuan bekerja di ruang publik. Seperti halnya perempuan yang bekerja di bidang medis, misalnya sebagai perawat.

Perawat identik dengan seorang perempuan karena perempuan dengan kelemahlembutannya mampu menghadapi dan membantu pasien dengan penuh kesabaran. Ketika kita kembali kepada masa Nabi, ternyata ada perempuan yang begitu berjasa dalam merawat tentara-tentara Islam yang terluka dalam peperangan, yakni Rufaidah al-Asamiyah.

Rufaidah al-Aslamiyah adalah perempuan keturunan Bani Aslam yang bisa mengobati orang-orang yang terluka ketika peperangan pada masa Nabi. Bani Aslam adalah salah satu marga dari suku Khazraj di Madinah. Ia juga termasuk ke dalam kaum Anshar, yakni golongan yang pertama kali menganut Islam di Madinah.

Rufaidah berasal dari golongan tabib bernama Sa’ad al Aslami yang terkenal dalam hal pengobatan di Jazirah Arab. Ketika di Madinah, Rufaidah memang belum memeluk agama Islam.

Setelah ia mengetahui bahwa di Mekah ada seorang Rasul yang membawa perubahan dengan meninggalkan yang bathil dan mengajak pada kebajikan. Ia pun tertarik untuk memeluk agama tersebut, akhirnya ketika Nabi Muhammad Hijrah ke Madinah ia berbaiat kepada Nabi dan bersedia masuk Islam.

Peran Rufaidah dalam Dunia Medis Islam

Rufaidah adalah perawat yang ramah lemah lembut serta ikhlas merawat para kaum muslimin yang terluka ketika di peperangan. Menurut Ibnu Ishaq dalam kisah Sa’ad ibn Mu’az ketika ia terluka dalam perang Khandaq.

Kemudian Rasulallah bersabda, ”Tempatkanlah Sa’ad dalam tenda Rufaidah di Masjid (Nabawi) sehingga aku dapat menjenguknya dari dekat.”

Ketika Rufaidah masuk Islam, ia mengubah perubahan metode pengobatan yang diajarkan oleh ayahnya menyesuaikan dengan ajaran Islam. Salah satunya dengan mengganti jampi-jampi, jimat untuk mengobati pasien dengan salawat dan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi.

Selanjutnya ketika peperangan berlangsung sekitar tahun 623 M-630 M, ia meminta izin kepada Nabi untuk ikut menemani peperangan tersebut. Hal itu berangkat dari kekhawatirannya terhadap keselamatan para tentara Islam.

Jika ada tentara Islam yang terluka, ia langsung merawat dan menanganinya bersama perawat pembantu lainnya. Ketika peperangan berlangsung, Rufaidah pun lantas mendirikan tenda lapangan. Hal itu menjadi kebiasaan Rufaidah setiap kali ada peperangan.

Penghargaan Rasulullah untuk Rufaidah

Berkat jasa dan pengorbanan Rufaidah dalam merawat dan menangani sekaligus menemani Nabi ketika berperang, Nabi memberi penghargaan khusus kepada Rufaidah. Penghargaan itu yakni berupa kalung yang indah.

Saking senangnya ia sampai-sampai ia menyatakan, ”Demi Allah, kalung ini tidak akan terpisah dari jiwaku. Dalam tidur dan bangunku sampai aku menemukan kematian.

Praktik keperawatan yang dilakukan oleh Rufaidah pada abad ke-6 tersebut berdampak pada praktik keperawatan selanjutnya. Praktik itu kemudian digunakan oleh keperawatan modern seperti rumah sakit lapangan, sekolah perawat, kode etik perawat dan perawatan rohani Islam.

Pasca peperangan umat Islam, Rufaidah tetap aktif dalam melayani kesehatan. Ia mendirikan pelayan kesehatan di depan Masjid Nabi di Madinah.

Rufaidah sangat aktif dalam kegiatan sosial masyarakat dengan memperhatikan orang-orang miskin, anak yatim dan kegiatan sosial masyarakat lainnya. Ia juga memberikan bekal pendidikan dengan mendirikan sekolah perawat pada masa itu.

Selain itu, ia juga melatih dan menyiapkan kader-kader perawat untuk membantu umat Islam dan kenyamanan keselamatan umat Islam. Sosok Rufaidah menjadi role model tersendiri untuk para perawat.

Dari sosok Rufaidah, para perawat paham bahwa memberi pelayanan terhadap siapa pun dengan ramah itu perlu. Tidak pernah memandang pasien itu dari kalangan miskin atau kaya. Rufaidah memberikan gambaran juga khususnya kaum perempuan bahwa ketika masa Nabi mereka sudah bisa terjun di sektor publik.

Nafilah Sulfa

https://hidayatuna.com/

Penulis adalah santri aktif Pondok Pesantren Ziyadatut Taqwa Pamekasan Madura, dan Mahasiswi Ilmu Alquran dan Tafsir semester akhir di IAIN Madura. Pegiat kajian Feminisme.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *