Relasi Suami Istri, Benarkah Seperti Ceramah Ustazah Oki?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Belakangan ini ceramah di media sosial yang mencuat dari Ustazah Oki Setiana Dewi menuai banyak tanggapan. Lantaran dalam ceramahnya, Ustazah Oki menyampaikan sebuah kisah nyata suami istri yang konon bermuasal dari Jeddah. Salah satu daerah di Timur Tengah yang namanya familiar di kalangan umat muslim.
Di kisah itu, si istri dipukul oleh si suami karena saking marahnya. Si istri pun menangis. Tidak lama kemudian ada tamu datang yang ternyata adalah orang tua si istri.
Hanya saja, si istri ini memilih untuk menutupi kejadian tersebut, daripada mengadu karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh si suami. Dari situ si suami lantas menaruh rasa kagum pada istrinya karena menutup aibnya. “Semakin cintalah suami itu pada istrinya,” ucap Ustazah Oki.
Beberapa pihak menganggap kisah ini sebagai ejawantah ketaatan istri kepada suaminya karena surga istri berada di bawah telapak kaki suami. Maka menjaga aib suami, termasuk tidak mengadukan tindak kekerasan kepada pihak berwajib atau kedua orangtuanya menjadi pilihan laku bijak dan berpahala.
Sementara pihak lain ada yang menilai kisah ini sebagai legitimasi dari ketidakadilan yang diperoleh istri dalam kehidupan berumah tangga. Sebab semangat ajaran Islam tidak memosisikan sesama manusia pada kedudukan mana yang lebih tinggi dan berkuasa dengan mana yang lebih rendah dan dikuasai.
Diskriminatif Bukan Bentuk Ketaqwaan
Manusia dibedakan dari sisi ketakwaannya. Lalu, relasi suami istri yang tidak adil dan diskriminatif tidak masuk indikasi pada perbuatan takwa.
Mochamad Sodik dalam bukunya Fikih Indonesia; Dialektika Sosial, Politik, Hukum, dan Keadilan (2014) mengatakan bahwa, relasi suami istri dalam keluarga terjadi didasarkan atas perjanjian spiritual-sosial. Di dalam kitab suci Alquran, perjanjian tersebut dinamai dengan misaqan galizan yakni, perjanjian yang bertanggungjawab.
Misaqan galizan tidak hanya diartikan sebagai kesungguhan pria dan perempuan dalam menjalin ikatan dalam rumah tangga. Tetapi lebih dari itu, keduanya mesti bisa memosisikan pasangannya dalam keadaan yang nyaman, aman, dan bahagia.
Maka ketika terjadi persoalan di dalam rumah tangga, keduanya bisa mengupayakan komunikasi dalam posisi yang egaliter. Suami memberi pendapat, begitu juga istri mengemukakan sudut pandangnya tanpa ada intervensi.
Pun dalam persoalan lain, mulai dari pembagian kerja domestik, siapa yang mencari nafkah, serta saling memberi pelayanan lahir dan batin. Keduanya bisa memosisikan pasangannya dalam kondisi yang egaliter.
Membentuk Keluarga Bahagia Secara Jasmani dan Rohani
Mengutip di buku tersebut: “Kemitraan pasangan suami istri menjadi kunci utama untuk membangun keluarga yang berkualitas. Yakni keluarga yang sehat lahir batin dengan kecukupan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Pasangan suami istri (saling) berkomitmen (untuk) membentuk keluarga bahagia dan menjaga kehormatan diri mereka.”
Oleh karena saya rasa, berumah tangga menjadi pijakan dasar bagi setiap orang untuk membangun kapasitas dan kapabilitas dirinya. Sederhanya, ketika suami istri dapat bekerja sama dan dapat membentuk kualitas diri yang lebih baik, maka masyarakat secara keseluruhan juga bisa mencapai kondisi yang baik.
Dalam konsep disiplin ilmu sosiologi, keluarga menjadi unit terkecil di masyarakat yang dapat memberi pengaruh bagi kemajuan ke arah yang baik atau sebaliknya, ke arah yang buruk. Oleh karena itu, masyarakat yang baik dan berperadaban tidak bisa dicapai dengan kondisi relasi dari suami istri yang timpang, tidak berkeadilan, dan diskriminatif.
Kalau menikah lantas berkeluarga dianggap sebagai jalan dari separuh ajaran agama Islam. Maka separuhnya lagi mungkin bergantung pada laku suami istri dalam berelasi baik diantara keduanya, keluarga besar, dan masyarakat secara keseluruhan.
Bahwa surga istri berada di bawah telapak kaki suami. Saya rasa tidak mesti si istri harus rela dan taat ketika peroleh kekerasan fisik maupun verbal. Sekian.